Ini
merupakan cerpen pertama yang pernah saya karang. Dengan cerpen pertama
ini pula saya mengikuti lomba menulis cerpen secara online. Tapi
sayangnya tidak mendapat hasil yang memuaskan.
cerpen menceritakan kehidupan seseorang yang dia sendiri menganggap hidupnya jauh dari "Kebahagiaan" dan berakhir dengan kisah pembunuhan.
Penasaran? Silahkan di download dibawah ini
Selamat menikmati. Silahkan kirim saran dan komennya ke email saya. Atau bisa juga meriquest cerpen dan/atau puisi. Insyaallah akan saya buatkan.
cerpen menceritakan kehidupan seseorang yang dia sendiri menganggap hidupnya jauh dari "Kebahagiaan" dan berakhir dengan kisah pembunuhan.
Penasaran? Silahkan di download dibawah ini
Selamat menikmati. Silahkan kirim saran dan komennya ke email saya. Atau bisa juga meriquest cerpen dan/atau puisi. Insyaallah akan saya buatkan.
Mati,
Mati, Mati
Karya : Bagus Yulianto
Apakah aku pantas untuk mendapatkan
malam ini? Malam yang sangat dinantikan dan diharapkan oleh orang-orang yang
khusuk beribadah kepada Tuhannya. Siang dan malam selalu beribadah kepada
Junjungannya. Sedangkan diriku sendiri, manusia yang dipenuhi ketidakpantasan
dalam menerima kebaikan, apalagi malam yang begitu mulia. Aku sudah terlanjur
melakukan dosa besar. Dosa
besar yang kulakukan sudah tak terampunkan lagi. Tersungkurpun untuk memohon ampun, Tuhan tak akan
mengampunkannya. Bahkan melebihi Malin Kundang yang durhaka kepada Ibunya.
Dikutuk menjadi batu tidak akan menghanguskan kesalahanku.
Pada malam itu, tanpa kusadar pada
malam ganjil Ramadan, suasananya
sangat berbeda dari malam-malam lain. Suasana lebih tenang, langit tidak
berawan, udara sangat sejuk, tidak panas dan tidak dingin. Mataharipun juga
tampak lain, tatkala Bulan muncul yang
berukuran separuh nampan, menambah
ketenangan pada malam itu. Suasana malam tenang yang sangat tidak pantas untuk
kuterima dari sang Maha Pencipta.
***
Awalnya kami adalah keluarga yang
bahagia. Dimana pada akhirnya keluarga kami berubah menjadi keluarga yang
menyedihkan tanpa secercah cahaya. Disuatu hari yang baik, aku seorang anak
laki-laki berumur empat tahun dengan Ayah dan Ibu yang masih menyayangiku.
Meskipun dalam kemiskinan, serba kekurangan dan Ayah juga jarang pulang karena
sIbuk bekerja, tapi kami tetap bahagia. Setiap hari dipenuhi kebahagiaan dan canda
tawa, setiap Ayah pulang kerja selalu membeli makanan dari uang yang Ayah
sisihkan sendiri. Ibu dengan senyum hangat akan menanti di rumah dan memasak
makanan untuk kami.
Tapi, semuuanya
tiba-tiba berubah. Kemalangan yang tidak pernah terpikir sebelumnya, merenggut
cahaya kami genggam. Semuan berawal saat Ibu hamil anak yang kedua atau calon
adik baruku. Ini Bukan kesalahan adikku yang masih dalam kandungan tapi seuatu
yang lebih rumit dari itu. Ayah harus meminjam uang kepada majikannya untuk
memenuhi biaya persalinan Ibu. Lebih Buruk lagi, sesudah dilahirkan, adikku itu
tidak bisa bertahan dan hanya bisa hidup tiga hari saja.
Semua
berubah. Kehidupan yang bahagia yang kami rasakan terbang diterpa badai
penderitaan tanpa belas kasih. Canda tawa yang menghiasi kebersamaan hangus
terbakar api tak tersisa. Hanya kesengsaraan yang datang dan menimpa. Ibu
merasa terpukul kerena kehilangan anaknya, harus menerima hantaman yang lebih
keras lagi dengan kepergian Ayah. Ayah yang seharusnya menjadi kekuatan bagi
kami disaat-saat sulit, pergi meninggalkan rumah dengan alasan-alasan yang
tidak aku mengerti.
Aku tidak
tahu lagi apa yang ada dalam benak kepala Ibu saat itu. Ibu berubah menjadi orang
lain yang tidak ku kenal. Setiap hari hanya bekerja, bekerja dan bekerja untuk membayar
hutang. Kami jarang bahkan tidak pernah berbicara satu sama lain. TuBuh wanita
yang dulunya dalam kebahagiaan, sekarang sudah kurus kering, hitam terbakar
matahari, mata cekung dan uban menghiasi ramButnya.
Tatapan mata
Ibu yang kosong menyimpan sejuta luka. Luka yang tidak pernah terjamah olehku.
Setiap kali aku bertanya tentang Ayah, Ibu hanya diam. Dia akan terus diam dan
rona wajahnya berubah seketika. Rawut wajah itu yang selalu memBuatku takut.
Kebeliaan yang membatasiku untuk menilai hidup memBuatku berpikir tanpa alasan.
Dimataku, Ibu adalah seseorang yang jahat dan tidak pernah menyayangiku lagi.
Pikiran itu berlanjut sampai saat sekarang. Ibu tidak pernah memandangku lagi.
Dia hanya memikirkan anaknya yang sudah mati dan suaminya yang pergi jauh.
Bayanganku tidak pernah terlintas dipikirannya. Pikirku.
Usiaku sudah
menginjak enam tahun. Tapi, kondisi keluarga kami masih seperti dulu. Sudah dua
tahun sejak musibah yang bertubi-tubi menimpa keluarga yang dulunya bahagia.
Kehangatan yang dulunya ada masih belum kembali. Dirumah, aku sIbuk dengan
urusan sendiri dan Ibu sIbuk dengan pekerjaannya. Ibu masih tetap dengan serIbu
lukanya. Entah apa yang dia cari dan perlukan saat ini. Kalau dia memButuhkan
sesuatu, paling tidak bisa menceritakannya padaku.
Bulan
ramadan yang seharusnya kami lewati dengan suka cita, terasa tak berarti dan
tidak meninggalkan kesan apa-apa untuk dikenang selama dua tahun ini. Tidak terkecuali
pada ramadan kali ini. Mengumbar tawa disaat berBuka. Bergandengan tangan untuk
pergi shalat tarawih. Saling membangunkan saat sahur. Dan yang terpenting,
setiap orang tua membelikan anaknya baju baru. Tapi, semua itu tak tergambar
sedikitpun diantara aku dan Ibu. Kerena Ibu tidak menyayangiku lagi.
Suatu ketika
dihari yang kurang baik, tepatnya pada tanggal 24 ramadan, Ibu pulang bekerja
disaat senja sudah berlalu. Tentu saja Ibu terlambat berBuka puasa dan tidak
membawa bekal apa-apa.
Setibanya di
rumah, wajah Ibu sudah terlihat tidak menyenangkan. Aku tidak tahu apa yang
terjadi. Dengan dingin, Ibu langsung duduk ditengah rumah tanpa senyum
tergambar dibibirnya. Spontan, aku menghidangkan makanan didepannya. Raut wajah
Ibu sudah terlihat agak tenang. Kucoba memberanikan diri untuk bertanya.
“Memangnya
ada apa, Bu?” tanyaku lemBut
Ibu
menghentikan makannya. Aku takut dia akan marah, tapi…
“Tidak ada
apa-apa. Kamu sudah makan?”
“Sudah, Bu!”
jawabku gugup
Kucoba untuk
memperpanjang obrolan dengan Ibu, “Tadi aku yang masak.”
Ibu tidak
menanggapi apa-apa lagi. Keheningan kembali hadir diantara kami. Sudah beberapa
menit kami tidak saling bicara. Ibu asik dengan makanannya dan aku asik dengan
pikiran sendiri. Pikiran tentang obrolan apa yang cocok untuk disampaikan,
supaya kami kembali seperti dulu dan Ibu menyayangiku lagi.
“Apa jadinya
kalau masih ada Ayah, ya Bu?”
Sejenak, Ibu
menahan suapannya dan memandangku dengan dalam. Tatapan yang selalu dia berikan
setiap kali aku bertanya tentang Ayah. Dan tatapan itu juga yang selalu
membuatku takut akan sosok Ibu. Setelah memandangku dengan tatapan dingin, dia
melanjutkan makannya. Ku coba melanjutkan.
“Ibu akan
menyayangiku lagi dan akan ada baju baru setiap lebarannya. Lebaran yang patut
kita kenang bersama-sama. Setiap pulang kerja, Ayah akan membawakan makanan
untuk kita. Makanan yang selalu membuat kita tersenyum setiap harinya. Oh iya,
paling tidak Ayah membeli mie instan. Dengan senyuman, Ibu akan menyambut Ayah.
Meskipun sedikit uang yang dibawa Ayah. Kita bertiga akan bersama dalam
kesederhanaan. Apalagi kalau ada adik baru, pasti kebahagiaan kita akan lengkap
dan…”
Plak!
Tamparan Ibu menghampiri pipiku. Tamparan tadi menghentikan ucapanku seketika. Ibu
beranjak dari tempat duduknya dan segera menghampiriku. Tamparan kedua mendarat
dipipi sebelahnya lagi. Rasa perih yang tersisa dari tamparan itu belum pernah
aku rasakan sebelumnya. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Selama ini Ibu
tidak pernah memukulku. Sudah sangat bencikah Ibu padaku? Tidak ingatkah Ibu bahwa
aku anaknya? Masih pentingkah suami dan anak yang telah mati itu? Tidak adakah
arti keberadaanku dirumah ini? Apa Ibu ingin aku mati, mati, mati, dan mati?
Ibu yang
dari tadi berdiri di depanku seakan-akan berubah menjadi makhluk yang
menakutkan. Mataku sudah berkunang-kunang. Bukan kerena dua tamparan dari Ibu,
melainkan amarah yang sudah meluap-luap dalam hati dan pikiran. Amarah itu
seketika berpindah ketanganku yang sudah mengepal tinju. Tinju yang dipenuhi
amarah itu menghantam kepala Ibu.
“Aku tidak
akan mati olehmu, Ibu. Tidak akan!”
Kupukul
kepala Ibu berkali-kali. Bahkan sampai Ibu tergeletak dilantai, aku tetap
memukulnya. Belum puas rasanya, kuambil garpu yang baru Ibu gunakan untuk makan
dan kutancapkan diperut wanita malang itu. Berkali-kali kutusuk sampai nafas
tak berhembus lagi dari hidung Ibu.
“Mati. Mati.
Mati. Kau tidak menyayangiku lagi. Kau sudah berubah. Kau hanya memikirkan
suami dan anak yang sudah meninggalkanmu. Kau hanya memikirkan bayang-bayang
yang kapan saja bisa pergi meninggalkanmu. Kau…”
Ibu sudah
tak bergerak lagi. Nafas tidak berhembus lagi dari hidungnya. Denyut nadi sudah
tak terasa.
“Apa Ibu sudah
mati?”
Amarah yang
dari tadi menyelimuti seketika berubah menjadi perasaan yang belum pernah aku
rasakan. Pikiran sudah menerawang tentang apa yang akan terjadi nantinya. Dadaku terasa sesak dan sulit bernafas. Kucoba
menenagkan diri dan menjauh dari cairan merah kental yang keluar dari perut
Ibu. Nafasku sudah tak beraturan lagi. Apakah ini penyesalan?
***
Aku terus
memandang mayat Ibu yang terbujur kaku ditengah rumah. Ramadan yang sebelumnya
terasa menyedihkan sekarang menjadi menyakitkan. Terlalu sakit ditanggung oleh
anak yang berusia enam tahun. Keheningan menjadi akrab dalam hari-hari.
Kesendirian begitu menenangkan dalam malam. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri.
Pikiran tentang apa yang akan terjadi antara aku dan Ibu. Wanita malang yang
dibunuh oleh anak semata wayang.
Entah sudah
berapa lama aku terduduk memandangi Ibu yang sudah tidak kukenal lagi. Tubuhnya
mengeluarkan bau yang menyengat, ulat mulai muncul dari dalam tubuh, wajah
pucat pasi dan dingin. Tidak seperti Ibu yang aku kenal.
Mungkin
sudah dua hari sejak Ibu meninggal. Tepatnya tanggalnya 24 ramadan dan sekarang
tanggal 27 Ramadan. Aku yang sudah dua hari dengan kesendirian dirumah, mencoba
mencari ketenangan disaat hari mulai gelap. Aku tidak tahu kemana harus
melangkahkan kaki. Yang terpenting aku menjauh dari rumah sejauh-jauhnya.
Tiba-tiba langkahku terhenti oleh suara malam yang begitu menenangkan. Suara
yang belum pernah aku dengar sebelumnya, yaitu suara imam membawakan shalat
tarawih.
Ada sesuatu kekuatan
yang mendorongku untuk mendekat. Kulihat banyak orang yang sedang melaksanakan
ibadah. Ibadah sunnah pada Bulan ramadan. Terlihat anak-anak kecil mengganggu Ibunya
dengan rengekan. Sang Ibu terus melaksanakan shalat dengan kekhusukan yang
terganggu oleh anak tercinta. Di barisan yang agak depan, terdapat anak
laki-laki yang khusuk dengan shalatnya. Anak laki-laki paruh baya berpeci
hitam. Begitu menenangkan.
Kucoba untuk
mendekat, tapi enggan untuk masuk. Kutarik diri kebelakang mesjid. Entah apa yang
harus aku lakukan disana. Aku hanya terduduk dan mendengarkan suara imam.
Mengenang apa saja yang sudah berlalu. Menerawang kemalangan yang menimpa
keluarga bahagia. Menyesali penyesalan yang telah dilakukan anak durhaka.
Menyisakan kenangan wanita tua. Aku sadar bahwa aku yang salah dan
berselimutkan kegegelapan yang tidak ku kenal. Membunuh orang yang sudah
membesarkan dan menyayanyiku.
Aku terduduk
sampai orang-orang selesai shalat. Bahkan aku tetap disana sampai malam berubah
menjadi hitam pekat. Mungkin sekitar jam satu malam. Pada malam itu, suasananya sangat berbeda dari
malam-malam lain. Suasana lebih tenang, langit tidak berawan, udara sangat
sejuk, tidak panas dan tidak dingin. Mataharipun juga tampak lain, tatkala Bulan muncul yang berukuran separuh nampan,
menambah ketenangan pada malam itu. Dimalam yang tidak kukenal itu,
kucoba untuk menyesali dan mengadu kepada Zat yang Maha Segalanya.
“Ya
Allah, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hamba yakin akan kebesaran yang
engkau miliki wahai Allah. Tidak ada tempat bagiku didunia ini selain tempat
yang engkau kehendaki bagi manusia hina ini, ya Allah. Engkau lah yang
mengusasi langit dan bumi dan juga apa yang ada diantara keduanya, ampuni dosa
hamba. Hamba yang tidak mengerti akan keadaan orang-orang disekitar hamba dan
melakukan perbuatan yang engkau laknat wahai Allah. Kumohon kepada engkau untuk
selalu memberi kasih kepada hamba…..” doa tiada hentinya kusampaikan kepada
Tuhan yang hanya kuingat disaat-saat yang menyakit. Betapa hinanya diriku ini.
Disaat
pagi mulai menjelang, burung-burung beranjak dari sarangnya dan matahari terbit
dengan cerahnya. Matahari yang memancarkan sinar tak terasa panasnya dikulit
anak laki-laki dengan langkah gontai menuju rumahnya. Anak itu sudah menerima
apa yang akan terkadi pada kehidupannya nanti. Karena ia yakin, kesalahan yang
dilakukannya akan menambah kekuatan dalam menjalani setiap langkah.
Apalagi ini semua mememang
kesalahan yang ia lakukan sendiri. Seakan-akan hidup memang tak adil menimpa
dirinya. Bersembunyi dibalik bayang-bayang dan menyalah orang-orang
disekitarnya. Betapa naifnya jika ia masih menyalahkan keadaan dan Tuhan yang
selalu disampingnya. Untuknya, semua itu tidak lagi membebani punggung anak
laki-laki itu.
Dengan langkah pelan tapi
pasti, aku kembali kerumah kami. Rumah yang penuh dengan cerita dengan berbagai
kisahnya. Kisah yang sudah memberikan pelajaran hidup buatku. Kerena Allah memiliki
berbgai cara untuk membuat makhluknya mengingat kebesarannya. Hanya orang-orang
beruntung yang mendapatkan itu. Diantaranya adalah diriku sendiri.
Setibanya dirumah,
orang-rang sudah memadati rumah kami. Semua mata tertuju padaku. Tapi, aku
bersyukur akan semua ini. “Terima Kasih, ya Allah!”
Tag :
Cerpen
0 Comments for "Cerpen : Mati, mati, mati"