Selamat sore sahabat semua. Kali ini saya akan membegikan cerpen karangan saya sendiri dengan tema Persahabatan. Persahabatan begitu dalamnya ditunjukkan dalam cerpen ini. Selamat menikmati.
Untuk mendownload klik link di bawah ini!
Sungguh Aku Tidak Bisa
Tertawa
Sungguh
aku tidak bisa tertawa. Mengingat semua kilatan masa yang membuat mataku silau
akan kenang-kenangan lama tentangmu, kawan. Begitu indah untuk dikenang dan aku
yang menitikkan air mata setiap kali mengingat itu semua. Apakah kau melihat
langit yang sama saat aku mengenangmu. Kau bukan Ibu yang memberiku makan dan
minum setiap hari. Kau bukan pacar yang membuatku merindu setiap kali kita
berpisah. Kau bukan dewa yang mengharuskanku untuk memuja dan mengikuti setiap
titah yang kau berikan. Kau hanya teman. Hanya
teman. Yang selalu membuat mulutku lepas untuk tertawa.
“Ayo, Rama!”
“Iya. Aku akan segera kesana.”
Hanya dia yang dapat membuatku
melupakan tentang kesahku. Cuma teman. Kisah yang terlalu manis, barangkali.
Bahkan melebihi manisnya buah arbei.
“Sudah berapa lama kita bersahabat?”
tanya Desta. Teman sekelasku –menurutku- yang kuanggap sebagai teman.
“Ehmm, sudah lama.”
“Tidakkah semua itu membuatmu jenuh?
Hanya berkutik dengan kenangan masa lalu. Tidakkah kau ingin memandang langit
malam ditempat yang lebih berwarna. Di dunia nyata, barangkali.”
“Kau tak akan mengerti perasaan
orang yang sudah terkungkung. Mungkin seperti aku ini.” Jawabku pasrah.
“Tapi, aku sudah mati!”
“Meskipun kau bilang seperti itu,
kau tetap menjadi temanku, bukan?”
“Aku tak ingin kau hanya memandang
hal semu dan melupakan semua hal yang dapat kau raih dengan tenaga yang
tersisa. Sungguh, kau sudah menyia-nyiakan itu semua.”
“Ya! Aku tahu kau sudah mati dan aku
tahu aku menyia-nyiakan masaku. Aku tahu semua itu, karena aku memandang langit
yang sama dengan mu.” Desahku.
“Jika itu yang membuatmu bahagia
saat ini, cukup kau lakukan. Tapi, aku akan selalu ada bersama.” kata Desta
setengah berbisik. Kata-kata itu kontan membuatku sadar akan sesuatu. Sesuatu
yang benar-benar telah aku sia-siakan.
Ya, Destalah yang menjadi tempat
bagiku untuk meluahkan semua sedu-sedan. Mulai dari urusan sekolah yang
mendera, rumah yang menolak saat aku singgah, sampai dunia yang tak menerima
hawaku. Tak jarang, dia memberikan nasihat yang menurutku lebih dari cukup.
Dengan aksen dan tata bahasa yang terbilang berlebihan, tapi semua itu yang
membuat setiap perkataannya terlihat berbobot. Bahkan titik dan koma yang
terkandung dalam perkataannya memilki arti.
“Oh ya. Sangat jarang sekali kamu
pergi ke sekolah pagi-pagi sekali. Seperti sekarang misalnya. Kenapa?” tanyaku untuk melerai kebuntuan.
“Biar aku juga bisa menjadi anak
rajin seperti mu.” Selorohnya.
“Dasar. Kalau begitu aku harus tiba
duluan di sekolah dari pada kamu.” Segera aku berlari meninggalkan Desta.
“Aku tidak akan kalah!”
Desta ikut berlari mengejarku yang
ingin tiba terlebih dahulu disekolah.
“Aku akan mengalahkanmu!”
“Coba saja kalau bisa”
“OK. Tapi kali ini aku yang akan
sampai duluan di sekolah.”
Begitulah persahabatan yang terjalin
antara kami. Sungguh indah, bukan?
Sore
itu, saat aku dan Desta pulang dari sekolah yang sungguh melelahkan. Begitu
banyak tugas yang diberikan oleh guru dan ditambah dengan badanku yang kurang
sehat. Bagaimanapun juga, ini adalah salah satu fase untuk menjadi dewasa,
bukan? Merasakan begitu banyak perasaan dan situasi yang kita belum pernah
hadapi sebelumnya. Baik itu menyangkut keluarga, teman, sampai kepada
pendamping hidup nantinya. Aku yakin, suatu saat akan datang masa dimana aku
harus memilih. Memilih yang terpenting bagiku, hidupku dan orang-orang
disekitarku.
“Seperti biasa, kau membuat Pak
Komar salut akan kepintaranmu. Belum lagi dia membahas tentang Hukum Relativitas,
tapi kau sudah melangkahinya. Seakan dunia melayang di dalam kepalamu.” Celoteh
Desta.
Aku hanya diam saja sambil memberikan
sedikit senyum tanda kepuasanku akan pujiannya.
“Oh ya. Nanti sore kamu ada acara
atau tidak? Di toko buku depan rumahku ada koleksi komik baru.” Tanya Desta.
“Maaf! Kali aku merasa kurang enak
badan. Maaf ya, Ta.” Ucapku dengan wajah memelas. Sungguh, aku kurang enak
badan sekarang.
“Tidak apa-apa. Nanti, kalau kamu pingsan,
aku juga yang repot ditengah jalan.”
“Ada temanku disana, bukan?”
“Tapi, aku sudah mati?” Kesahnya
datar.
“Terima kasih ya.”
“Untuk apa?”
“Untuk semuanya!”
“Dasar. Kebanyakan baca buku barang
kali.”
“Mungkin.”
Didepan
gerbang kamipun berpisah. Jalan rumah kami yang saling bertolak belakang
membuat kami harus jalan berpisah setiap kali pulang sekolah. Pikirku. Dimanapun aku berada, pasti
disana ada Desta. Dimanapun itu.
“Sampai jumpa besok!” salam Desta.
“Ya.”
Kembali aku mengayunkan langkah
untuk kembali pulang ke rumah. Tubuh terasa lunglai tak bertenaga. Terkuras
habis semua tenaga yang kumilki.
“Mungkin
aku demam.” Bisikku dalam hati.
Kulangkahkan kaki untuk terus
berjalan dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki. Sungguh aneh saat membuat teman
yang sudah begitu dekat denganmu, merasakan kekecewaan. Meskipun
ia sudah mati. Tapi, ku yakin dia akan mengerti dan selalu mendoakanku.
Kecewa akan sesuatu yang tidak bisa kau lakukan bukanlah sesuatu yang membuat
dirimu jatuh ke dalam lembah, tapi proses yang nantinya membuatmu tahu akan
sesuatu. Sesuatu yang sebelumnya belum kau kenal apalagi sentuh dalam hidup yang
sungguh membosankan ini.
Aku
berpikir akan sikapku yang membut orang lain kecewa. Dan aku juga berpikir
tindakan apa yang harusnya aku berikan. Tapi, aku tidak pernah berpikir apa
yang terbaik untukku selama ini. Apakah ini bisa mendatangkan kebahagiaan
bagiku? Dan tentunya kebahagiaan ini juga mendatangkan kebahagiaan bagi
orang-orang disekitarku.
Dalam
lamunan panjang ini. Aku merasa ada seseorang yang sedari tadi memperhatikanku.
Ya, ada seorang gadis yang duduk di kursi dekat pohon akasia itu. Dia memegang
sebuah buku tapi tidak membacanya. Sedangkan ia asyik terus memandangku yang
tengah berjalan. Seketika, ia menyongsongku dengan tatapan pasti.
Dia
menyodorkanku sebuah surat. Surat yang ditulis disebuah kertas putih
bergaris-garis dan dilipat dengan sangat rapi. Mungkin karena surat ini ditulis
oleh seorang gadis. Kuraih surat itu dan seketika gadis itu meninggalkanku. “Apa ini?”
Gadis
itu berjalan gontai seketika meninggalkanku dengan sebuah surat. Surat yang
menurutku tidak tahu asal usulnya. Meskipun ku tahu ada seorang gadis yang
memberikannya, tapi aku tidak tahu siapa gadis itu dan untuk apa surat ini. Aku
hanya bisa meraih dan menyimpan surat itu di dalam saku. Sepeti sebelumnya,
kembali kuayunkan langkah untuk pulang kerumah. Ya, rumah.
Tempat
yang menurut orang-orang sebuat tempat yang terlalu indah. Penuh dengan suka
duka dalam proses tumbuhmu. Dikelilingi oleh mereka yang menyayangimu dan
setiap harinya melihatmu melakukan hal-hal baru dalam hidup. Mereka yang
nantinya melihatmu menitikkan air mata kala senang tak tertahankan atau
sebaliknya. Sungguh indah sebuah rumah bagi orang lain. Tapi tidak bagiku. Sungguh
menyakitkan.
“Kenapa
pulang terlambat?” Tanya Mama saat aku baru tiba di pintu rumah.
“Ada
ujian susulan.” Jawabku singkat.
“Kenapa
kamu sendirian yang ujian?”
“Satu
kelas, ma!”
“Satu
kelas?” Teriak Ibu sambil melayangkan sebuah tamparan di pipiku. “Zainab sudah
dari tadi dia pulang ke rumah. Dan kamu bilang ada ujian susulan satu kelas?”
Gadis
yang bernama Zainab itu tidak kukenal. Apa
dia teman sekelasku?
Aku
hanya diam menerima tamparan itu. Tubuhku tetap berdiri dengan kokohnya sambil
menundukkan kepala. Sungguh, kebencian sudah bersarang di benak kepala setiap
kali menerima tamparan dari Mama. Mungkin sudah terlalu sering tamparan itu
singgah di pipiku. Berapa kalipun tamparan itu meyinggahiku, aku tak akan
bergidik.
“Kamu
sudah menjadi anak yang suka berbohong sekarang, ya? Sudah berani kamu
membohongi Mama yang membesarkanmu sendirian saat tidak seorang Ayah yang kau
anggap sebagai manusia. Mamamu ini bekerja setiap malam hanya untukmu. Untukmu!
Dan kau yang mengecewakannya.” Mata Mama terus membera di depanku. Semua
kata-kata itu sudah puluhan kali terucap di depanku.
“Tapi,
kenapa mama harus bekerja seperti ini. Melayani pria-pria yang tidak tahu asal-usulnya
dan kau yang mendapat uang dari mereka setiap malam. Aku hanya ingin hidup
normal dan orang tua yang normal juga. Tidak bisakah kau mengerti?”
Sebuah
tamparan kembali bersarang dipipiku. “Kembali ke kamarmu!”
Menyakitkan!
Sungguh semua ini membuatku ingin melupakan dunia tempat aku tumbuh selama ini.
Hanya kamarku yang menjadi satu-satunya tempat yang membuatku nyaman. Tempat
semua keluh dan kasah ku simpan rapat-rapat.
Saat
tiba di dalam kamar.
“Desta?”
“Oh,
kamu sudah datang. Sudah dari tadi aku menunggumu.”
“Ya!”
Jawabku dengan nada sedikit bingung. “Apa
yang dilakukan Desta di kamarku dan bagaimana cara ia masuk ke kamarku?”
“Ternyata
komik yang tadi aku beli, ada bonusnya. Saya dapat edisi spesial dengan jumlah
terbatas. Kamu tahu, di kota ini, hanya lima orang yang punya edisi spesial
ini.”
“Oh,
ya? Boleh aku lihat. Sungguh rugi aku tidak ikut denganmu, tadi.”
“Tenang.
Ada temanmu ini, bukan?”
“Ya!”
Aku tersentak. “Kau temanku.”
Sungguh
menyenangkan saat ada orang lain yang selalu membuatmu melupakan dunia. Dunia
yang sungguh tidak ingin bersahabat denganmu. Tidak menerima hawamu dengan
sepenuh hati. Ku teringat surat dari gadis yang diberikan gadis saat aku pulang
sekolah tadi. Perlahan kuraih surat itu dari dalam saku baju. Kembali ku amati
surat dengan lipatan yang rapi itu.
Untuk Rama,
Rama, selama ini aku
yang memperhatikanmu. Melihatmu meraih dunia dengan caramu sendiri. Tahu kah
kau, kadang aku tidak mengerti saat kau memandang langit dengan cara yang tidak
aku mengerti. Mungkin aku yan terlalu sara melihatmu selama ini. Yang
terpenting, aku mengerti apa yang kau rasa dan pikirkan. Rama! Selama ini kau
hanya memandang sesuatu yang semu. Sesuatu yang membuatmu melupakan hal
terpenting. Menyia-nyiakan hidup yang tak akan kau dapatkan diwaktu luang.
Rama! Masih ingatkah kau dengan teman sekelas kita. Teman yang kau anggap
sebagai teman –dan aku teman yang kau anggap sebagai manusia- dengan hari-hari
yang indah untuk dilihat.
Desta, ya Desta. Desta
sudah mati. Sekali lagi, Desta sudah mati. Saat kita liburan sekolah semester
tiga, dia meninggal dalam kecelakaan. Dan kau yang bersedih setiap kali
mengingatnya. Tapi kau yang berbicara setiap hari dengannya, membuatku melihat
sosok Desta di sampingmu.
Aku hanya mau
mengatakan, kau sudah menyia-nyiakan dunia dan mulailah menerima dunia tempat
kau tinggal. Rumahmu, Mamamu, sekolahmu dan teman-teman baru yang bangga akan
keberadaanmu. Sekali lagi, Desta sudah mati
Temanmu,
Zainab
Ku
tutup surat itu dengan menerawang. Menerawang semua yang sudah aku lalui.
Menyia-nyiakan dunia dan bertindak seolah-olah aku adalah manusia teraniaya di
dunia. Seolah-olah dunia tidak menerimaku. Tapi, aku yang tidak pernah membuka
hati untuk dunia ini.
“Rama,
kau sudah paham sekarang?” Tanya Desta yang duduk disampingku.
“Ya!”
“Aku
sudah mati. Dan sekarang kau akan baik-baik saja tanpaku. Teman yang kau anggap
teman, bukan. Selamanya akan tetap seperti itu.”
“Ya,
kita adalan teman”
Perhalan,
sosok pria yang selalu menemaniku selama ini menghilang secara perlahan.
Meninggalkanku dengan dunia yang baru. Dunia yang akan kucoba untuk merangkul.
“Terima
kasih, Desta!” Air mataku menetes di atas surat ang tengah aku baca. “Semuanya
sudah berubah, bukan?”
Tanjung
Gadang, 26 Desember 2015, 8:51 WIB
Tag :
Cerpen
0 Comments for "Cerpen : Sungguh, Aku Tidak Bisa Tertawa"