-->

Cerpen : Penghabisan



Kali ini saya akan membagikan sebuah cerpen yang bertemakan poligami. Poligami yang dilakukan oleh pihak wanitanya. Cerpen ini tidak menyatakan bahwa poligami sesuatu yang baik atau sebaliknya, tapi penulis hanya ingin berbagi cerita. Selamat menikmati!
Untuk mendownload, silahkan download dibawah ini



Penghabisan


Sedih benar hati wanita itu. Antara bimbang, sedih, takut, dan senang. Sudah tak terhitung dia mondar-mandir di pelantaran depan rumahnya. Terkadang dia berhenti sekedar memandang bulan dan melanjutkan kesibukannya kembali. Beberapa menit dia mondar-mandir, kemudian duduk di atas kursi rotannya. Hawa dingin mulai menusuk tulangnya. Dia segera merapatkan kerudung yang sekedar dililitkan dileher dan yang terpenting dia telah memakai kerudung. Meskipun rambutnya banyak yang terlihat.
“Kamu harus mengenakan kerudung!”
            Itu pesan yang disampaikan Abidin, suami keempat yang dimiliki oleh Sulastri. Didetik-detik kematiannya, Abidin sempat meminta tolong kepada tetangganya untuk membelikan istrinya itu sebuah kerudung. Meskipun itu hanya sebuah selendang merah muda yang cocok untuk dijadikan alas meja, tapi Abidin berharap melihat istrinya memakai kerudung.
            Harapan terakhirnyapun tercapai. Saat Sulastri mengenakan kerudung di depan suaminya itu, nyawa Abidin langsung melayang. Ajaib. Masih banyak cerita unik yang dimiliki oleh sulastri bersama ke-enam suaminya yang lain. Sekarang akan memasuki babak ketujuh.
            Perasaan sulastri campur aduk. Seorang pria, dosen universtas yang berumur 39 tahun, sepantaran dengannya ingin mempersuntingnya. Pria yang dia sama sekali belum pernah lihat wajahnya dan tiba-tiba melayangkan pinangan. Masalahnya bukan itu, tapi menyangkut hidup dan mati. Puitis. Tapi ini benar-benar terjadi pada Sulastri. Wanita kembang desa yang menikah pada masa keemasannya.
            Hal ini berawal saat Sulatri di bangku Sekolah Menengah Atas. Sekolah Menengah Atas satu-satunya yang ada disebuah desa terpencil dengan penduduk tujuh puluh kepala keluarga. Sekolah Dasar ada tiga sekolah dan Sekolah Menengah Pertama hanya ada satu sekolah.
            Bangunan SMA-nya Sulastri cukup bagus dan sarana preasarananya cukup memadai juga. Kenapa tidak, bantuan pemerintah yang ditargetkan untuk pendidikan SMA hanya tertuju pada satu sekolah. Seberapa korupsinya pihak sekolah, pasti ada perkembangan dalam hal sarana prasarana. Tapi, lain halnya dari segi kualitas dan jumlah siswa.
            Sulastri yang sudah kelas tiga SMA dengan jumlah siswa tinggal sebelas orang akan menghadapi Ujian Nasional satu bulan lagi. Dengan jumlah siswa hanya empat orang dan selebihnya adalah siswa, Sulatri menjadi idaman para pria di kelasnya. Tidak hanya di sekolah, di kampungnya Sulastri menjadi kembang desa. Mulai dari dandanannya yang enak dilihat, hidungnya yang tidak mancung dan tidak pesek, pipinya yang kemerahan bak udak rebus, rambut lurus sebahu, sampai lekuk tubuh seperti jam pasir yang menjadi alasan para pria yang menyukai Sulastri
            Dengan kesempurnaannya, Sulastri sudah banyak memilki pacar. Bahkan semua laki-laki di kelasnya sudah dia pacarin, kecuali dua orang. Burhanudin dan Komarudin. Siswa yang duduk tepat dibelakangnya.
            Yang cukup menaraik perhatian Sulastri adalah Burhanudin. Tampangnya cukup tampan dan nilainya bagus juga. Tidak ada yang spesial dari Burhanudin, kecuali sepeda jengki Phoenix yang selalu dia bawa ke sekolah. Badannya lebih tinggi dari Sulastri. Kulitnya hitam mengkilat dan tubuhnya berisi.
“Cukuplah untuk dijadikan pacar.” Pikir Sulastri
Komarudin yang parewa dan tergila-gila pada Sulastri sangat jauh berbeda dengan Burhanudin. Sudah cukup menunjukan Burhan lebih baik dari pada Komar.
Entah kenapa, Burhan tidak pernah melirik Sulastri. Bahkan suatu kejadian, Sulastri yang pulang sekolah saat hari hampir gelap karena ditinggalkan oleh Siti –teman akrab Sulastri-, Burhan melewati Sulastri dengan sepeda jengkinya tanpa melirik apalagi menawarkan untuk menaiki sepedanya.
“Siti, kenapa Burhan tidak pernah melihatku, ya?” Tanya Sulastri kepada salah satu temannya itu.
“Nggak tau. Memangnya kamu mau nambah lagi?”
“Ya, selagi masih muda.”
“Muda sih boleh, tapi harus jaga diri juga. Kamukan perempuan, harus pilih-pilih sedikit. Sekali kita rusak tidak bisa diperbaiki lagi dan...”
“Oh ya, jangan-jangan dia nggak suka sama cewek?” Sulastri mencoba mengalihkan pembicaraan supaya Siti tidak bicara panjang lebar lagi.
“Kamu tanya saja langsung. Siapa tahu dia pacaran sama Komar.” Timpal Siti.
Sulastri yang sudah sangat tertarik dengan Burhan, tapi tidak mendapat balasan, bertekad untuk menyatakan cintanya langsung kepada Burhan.
Saat pulang sekolah, Sulastri bergegas mengemas buku-bukunya. Sesaat dia melihat ke Burhan dan kebetulan Burhan juga memandangnya. Segera Burhan menurunkan pandangannya. Sulastri hanya bisa mengulum senyum dan bergegas keluar kelas. Dia melangkah ke pintu gerbang dan berharap Burhan akan memboncengnya.
Saat ini, sekolah sudah cukup sepi. Hanya tinggal beberapa siswa yang mondar-mandir sibuk dengan tugas piketnya dan beberapa guru yang keluar dari kelas setelah mengajar. Sudah sepuluh menit Sulastri menunggu Burhan tapi dia tidak kunjung keluar. Tiba-tiba...
“Ayo naik!”
Ternyata Siti yang mengajaknya. Dengan wajah kesal dia menolaknya.
“Kamu duluan saja. Aku lagi nunggu Burhan, eh kamu yang keluar.”
“Makan itu cinta. Tapi, semangat!” siti terus mengayuh sepedanya. Sulastri terus memeperhatikan Siti sampai ditikungan. Sahabat yang sudah dia kenal saat kelas SD.
Sulastri dan Siti sudah seperti adik kakak. “Dua Kopi Susu.” Begitu orang-orang menyebut mereka. Bukan karena yang satu berkulit putih dan satu lagi sebaliknya, tapi kepribadian mereka yang jauh berbeda. Sulastri dengan feminimnya dan Siti dengan ketegasannya. Kedekatan ini, mereka dapat saat Sulastri diganggu oleh dua anak laki-laki di saat Sekolah Dasar. Tiba-tiba Siti menghantam kedua anak laki-laki itu. Tanpa disangka, Siti menang melawan mereka walaupun ada lecet di pipi dan matanya. Tapi, itu yang menjadi awal pertemanan mereka.
Dalam lamunannya, Burhan dengan sepeda jengkinya sudah melewati Sulastri beberapa meter.
“Tunggu! Burhan, tunggu!” Teriak Sulastri setengah berlari.
Burhan menghentikan sepedanya dan melihat kebelakang. Rona wajahnyapun berubah, antara senang dan takut.
“Oh, Sulastri. Ada apa?”
“Tadi.. siti.. meninggalkan aku.. jadi.. nggak ada teman pulang.” Sulatri mencoba mengatur nafas setelah berlari. Wajahnya menunduk tersengal-sengal.
“Jadi?” Tanya Burhan.
Sulastri mengangkat wajah dan melihat Burhan. “Apa dia tidak mengerti?” Kata Sulastri dalam hati.
Saat Sulastri melihatnya, tiba-tiba Burhan memalingkan wajahnya dan pipinya memerah.
“Apa kamu mau pulang bersamaku? Itupun kalau kamu mau. Kalau kamu...”
“Ya, saya mau!” Sergah Sulastri.
Dia langsung menaiki sepeda Burhan dan merangkul pinggang Burhan yang membuat Burhan sedikit terkejut. Tapi, Burhan juga tidak melarangnya.
Ditengah perjalanan, mereka tidak berbicara satu sama lain. Sulastri malu untuk memulai dan Burhan canggung untuk untuk membuka mulut. Selama itu pula, mereka sibuk melihat pemandangan alam yang asri dikampung mereka. Pemandangan yang setiap harinya mereka pandang, tapi kali ini terasa berbeda. Lebih berwarna.
Rumah Burhan yang satu arah dengan Sulastri, tapi jaraknya cukup jauh membuat mereka kurang akrab. Sekitar tiga kilometer lagi mereka akan sampai dirumah Sulastri. Cukup jauh.
“Burhan!” Sulastri memulai.
“Ya.”
“Ehmm, kamu kenapa pendiam?”
“Ya, aku begitu.” Jawab Burhan singkat.
“Nanti nggak dapat teman, apalagi pacar!” Sulastri mencoba lebih akrab.
“Kalau pacar atau jodoh nanti datang sendiri.”Burhan sudah sedikit bicara santai.
Sulastri hanya mengangguk dan semakin mengeratakan pegangannya ke pinggang Burhan, walaupun Burhan tidak canggung lagi.
“Bagaimana menurut kamu perempuan-perempuan di kelas kita?” tanya Sulastri setelah terdiam beberapa saat.
“Menurutku baik-baik, cantik-cantik, dan... yang penting baik-baik.”
“Kalau begitu, apa tidak ada yang kamu suka?”
“Kalau wanita yang aku suka, ada. Tapi, mungkin dia tidak pernah memandangku. Aku yakin tidak ada jodoh diantara kami. Aku usahakan untuk tidak memilihnya.”
“Kenapa?”
“Kami para lelaki tidak pernah suci, maka kami membutuhkan kesucian. Kesucian dari wanita yang kami pilih untuk mendampingi. Kesucian itu yang belum aku lihat pada wanita-wanita di kelas kita.” Kata Buthan dengan nada serius.
“Oh! termasuk aku?” Tanya Sulastri dengan ragu.
Burhan hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan Sulastri. Sikap Burhan itu membuat Sulastri tersinggung dan mengartikan kata-kata itu tertuju padanya yang sudah memiliki banyak pacar. Hilang semua rencana Sulastri untuk menyatakan perasaannya. Tiba-tiba...
“Berhenti!” Bentak Sulastri
Burhan bingung karena rumah Sulastri masing sangat jauh. “Kenapa? Kan rumah kamu masih jauh?”
Sulastri turun dari dari sepeda tanpa memeberi penjelasan. Dia melangkah menjauhi Burhan dengan wajah kesal. Ini bukan main-main. Burhan mengayuh sepeda mendekati Sulastri.
“Kenapa? Apa ada yang salah?” tanya burhan bingun.
Burhan menghentikan sepedanya dan memandang Sulastri yang terus menjauhinya. “Mungkin dia butuh ketenangan.” Pikir Burhan. Dia mengayuh sepedanya meninggalkan Sulastri.
Apakah ini keputusan yang terbaik bagi Burhan dan Sulastri? Tapi ini yang menjadi awal bagi petaka yang menimpa mereka. Burhan dengan sikapnya yang menganggap semua hal akan baik-baik saja dan Sulastri dengan sikapnya yang bertindak tanpa pikir panjang.
“Kurang ajar betul itu laki-laki. Apa dia pikir, dia orang yang sempurna dan menuntut kesempurnaan dari para wanita? Memang apa salahnya dengan berpacaran. Aku hanya menikmati apa yang ada di depan mata. Kalu bisa, tidak hanya pacar, tapi suami juga harus banyak sekalian. Dasar!” Gerutu Sulastri dalam hati. Dia terus melangkah.
Tiba-tiba, Komarudin sudah berdiri di depannya bersama dua orang temannya. Komar terus memandang Sulastri dengan pandangan tajam dan senyum lebar. Sulastri membalas pandangannya dan mendekati Komar dengan maksud mengantarkannya pulang.
Secara mendadak, Komar merangkul tubuh Sulastri yang membuatnya terkejut. Dia mencoba melepaskan rangkulan itu, tapi kedua teman Komar memegang kedua tangannya. Ada sesuatu yang menyumbat mulutnya untuk berteriak. Setelah itu, tidak tahu lagi apa yang terjadi. Semuanya gelap.
Setalah dia bangun dari pingsannya, Sulastri sudah dalam keadaan tidak memakai sehelai benangpun. Dengan perjalan yang panjang dan musyawarah yang panjang juga, Komar menjadi suami pertama Sulastri yang menjadi awal petaka ini. Ditambah lagi, dia tidak bisa mengikuti Ujian Nasional karena hamil diluar nikah.
Pernikahan Sulastri dan Komar yang berakhir dengan kematian Komar setelah tiga tahun pernikahan. Sulastri terus menikah dengan pria-pria lainnya dan berakhir dengan kematian juga. Komarudin, Jamiludin, Salaudin, Abidin, Tamrin, dan Haji Sudin. Semuanya berakhir dengan kematian. Tapi, para pria masih banyak yang ingin menikah dengannya

***
Dimalam bertemankan bulan tanpa bintang, wanita itu masih dengan kebimbangannya diatas kursi rotan. Sudah puluhan kali dia memikirkan ini. Dia tidak mau., pria yang mendampinginya pergi meninggalkan dirinya lagi. Demi mencari jodoh yang cocok baginya. Terlintas semua laki-laki yang pernah singgah dihidupnya. Segera lamunan itu terbuyarkan oleh pinangan yang menantinya.
            Dalam kebimbangannya, muncul suatu kekuatan yang menguatkan hatinya untuk mengambil keputusan terakhir. Entah dari mana kekuatan itu menucul. Yang terpenting, kekuatan itu meneguhkan hatinya untuk menerima pinangan itu. “Ini akan menjadi penghabisan bagi perjalanku.”
            Seminggu setelah itu, datanglah hari yang nantinya akan mengubah hidup Sulastri. Kala itu, kaluarga laki-laki yang akan meminangnya datang kerumah Sulastri untuk meminang Sulastri secara langsung ke pihak keluarga. Laki-laki yang akan meminangnya berada dibarisan paling depan. Saat laki-laki itu memasuki pintu rumah sulatri...
            “Burhanudin?” wajah itu membuat Sulastri tak mengenal cahaya senja.
            “Iya! Ini aku.”
            “Tapi...”
            “Aku sudah melihat kesucian dihatimu. Ini akan menjadi penghabisan bagi kisah kita, bukan?” kata Burhan dengan wajah yang sejernih air hujan yang menetes di jendela kamar Sulastri.
            “Iya! Ini pengahabisan kisah kita.” Kata Sulastri dengan matanya yang berkilau oleh air mata yang berlinang di bola matanya yang bulat.



Tag : Cerpen
0 Comments for "Cerpen : Penghabisan"

Back To Top