Antara Aku, Dokter dan Sampah
Karya
: ROHMAT Universitas Sriwijaya
Suasana yang cerah berselimutkan hawa
dingin menyambut pagi ku hari ini, awan biru bersahabat dengan cahaya mentari
menghiasi langit nan indah. Tak jarang kulihat burung berterbangan melintasi
Khatulistiwa. Nyayian merdunya memecah kesunyian alam. Mata ini di manjakan
dengan suguhan panorama alam yang setiap hari jadi pemandangan. Di pinggiran
koridor nan elok tak tertandingi keindahan rupa parasnya taman hijau. Aku
berdiri di bawah pohon mangga yang rindang,merebahkan tubuh di antara rumput
yang empuk tempatku berpijak, melipat kedua kaki dan menjadikan reruntuhan daun
sebagai alasnya. Mencoba menjernihkan pikiranku di atas kepenatan yang selama
ini mendiami saraf-saraf otakku.
Dan walaupun hembusan angin timur yang
dingin menusuk tulang,Aku akan terus berjuang hingga mendapati gelar lulusan
sarjana pendidikan. Di tahun kedua Aku menimbah ilmu, setidaknya semakin banyak
hal yang Aku alami. Buku-buku tebal sudah melambaikan tangannya menyambut
kehadiranku. Tiba-tiba bel sekolah memangil-mangil para siswa untuk masuk ruangan.
Semuanya sudah berlarian, Aku mulai mengayunkan kaki menuju pintu yang setengah
tertutup. Pelan-pelan Aku mendorongnya, kelas yang terdengar berisik langsung
sepi. Mereka mengira yang datang itu Ibu Sariyani. Teman-teman melihat jijik ke
arahku, begitu hinakah tingkahku sehingga mereka membenciku. Terbesit tanya di
hati, Apa yang salah padaku?. Keheranan yang menyesakkan dada setiap orang yang
mengalaminya. Semuanya tertawa terbahak-bahak seperti mendengar lelucon aneh.
Aku hanya bisa terdiam. Menatap kosong pintu ruangan.
Aku sandarkan tubuhku pada kursi favoritku,
sekarang sedih mulai membayangiku. Terlintas dalam benakku. Bagaimana esok Aku
akan menjalani kehidupanku kalau Aku mudah putus asa?. (Huuu...) ku hembuskan
nafas panjang menatap langit-langit kelas. Aku memikirkan hal yang baik. Bukan
menuruti emosiku yang mengebu-gebu. Saat itulah seseorang telah mendekatiku.
Ibu Sariyani membuyarkan lamunan ku. Dia menatapku heran dan langsung mengintrogasi layaknya anggota Polisi.
“Ada apa denganmu?”
Akumenoleh
saat tangannya pelan menyentuh bahu.
“Kamu sakit ya?”. Menatapku tidak mengerti .
“Tidak Bu, Aku baik-baik saja.” Jelasku.
“Dasar dia tuh cari muka Bu.” Kata Lesmana.
“Kamu tidak boleh begitu sama temanmu, sekarang push
up sepuluh kali!” Tegas Ibu Sariyani.
Lesmana push up tergesa-gesa, setelah itu ia kembali
ketempat duduknya namun Ibu Sariyani menyuruhnya menghampiriku.
“Lesmana, cepat minta maaf pada temanmu!”
“Tapi, Bu.” Lesmana
membantah.
“Tidak ada tapi-tapian, cepat! atau ?... mau ibu
keluarkan?”
“Ya iya deh Aku minta maaf.” Dengan raut wajah merah
Lesmana terpaksa menghampiriku. Lesmana menggerutu “ini semua salahmu” dan
meremukkan jari tanganku.
Sebuah tepukan tangan menyadarkanku dan
mengembalikan ingatanku.
“Kamu yang sabarya”. Sambung Ulpa mengelus pundakku.
“Ya, terima kasih sudah mengingatkanku.” Aku berbisik
“Itu sudah kewajibanku teman.” Ulpa mengangguk,
bergegas melangkah di lorong antar kursi.
Pelajaran kami pun di mulai dengan hikmat.
Seraya membolak-balikan lembaran-lembaran materi. Bunyi keroncongan terdengar dari
perut Lesmana, itu pertanda telah mendekati waktu istirahat. Setelah bel
berbunyi, semua siswa mulai balapan menuju kantin, kecuali Aku yang hanya
berada di kelas.
“Nak, boleh Ibu tahu apa yang ada di pikiranmu?”
“Ini... masalah pribadi Bu.” Suaraku bergetar.
“Mungkin Ibu punya solusinya. Coba kamu ceritakan!.”
Aku mencurahkan semua isi hatiku pada
Ibu Sariyani segala unek-unek dalam otakku di keluarkan. Sebenarnya beban ini
sudah lama kutanggung sendiri.Sekarang Aku merasa plong. Setelah beliau
memberikan motivasi dan menyemangatiku. Dan mengatakan “Hidup seperti sebuah pohon,
jika setiap hari pohon itu disiram dengan kasih sayang maka akan tumbuh menjadi
pohon yang besar dan berwibawa.
Ditengah pembicaraan kami tiba-tiba
terdengar suara orang menabrak benda plastik. Aku dan Ibu Sariyani tekejut
ketika melihat tanaman berjatuhan dari pot yang berserakan.
“Rasain Loh ngapain juga ngehalangi gue. Hahaha...”
“Lesmana kamu sudah keterlaluan” Sambung Ibu
Sariyani.
“Orang nggak sengaja kok. Aduh sakit nih.” Jawab Lesmana sambil menggosok lututnya.
“Banyak alasan kamu.”
“Mungkin Lesmana tidak sengaja Bu.” Aku berusaha
meyakinkan Ibu Sariyani.
Perbuatan Lesmana membuatku kesal karena pot itu
sudah kuanggap sebagai temanku sendiri selainitu, Aku mencemaskan keindahan
Bumi yang makin lama makin terkikis oleh tangan-tangan yang tak bertanggung jawab.
Aku berlari menyelamatkan sahabat kecilku
itu. Pot itu tidak bisaku manfaatkan lagi, karena telah hancur
berkeping-keping. Hatiku juga ikut hancur lebur, tapi yang sudah terjadi
biarlah terjadi. Tak usah di ungkit lagi. Sekarang apa yang harus Aku lakukan ?.
Aku jadi teringat pelajaran kewirausahaan kemarin. Akhirnya sebuah botol plastik
air mineral menjadi penolongku saat itu. Kumasukan tanah dengan sepenuh hati.
Abra kadabra rumah barunya sudah selesai.
“Dan semoga ini pas untukmu teman, juga air ini
cukup untuk menghilangkan dahagamu.”
“Ibu kagum pada pelajar sepertimu nak.” Menatap
bangga padaku
“Aku sudah biasa melakukannya Bu.” Aku tersenyum.
“Biasa aja kale, dia kan mao jadi dokter Bu, gila
kan apa hubunggannya dia, dokter dan sampah itu?.” Lesmana menimpali dan mulai
melangkah jauh dengan kaki memar.
Karena di era modernisasi banyak orang
tidak perduli lagi terhadap lingkungannya. Itu aneh bagi mereka. Memang benar
apa yang dikatakan Lesmana. Dokter adalah impianku. Walaupun itu belum tercapai
tapi setidaknya Aku telah menjadi dokter bagi lingkunganku. Tumbuh-tumbuhan
sebagai pasiennya. Dengan cara merawat dan menjaganya paling tidak Aku telah
mengusir penyakit yang dapat menyerang bumi secara tiba-tiba, salah satunya
Global Warming. Ini bukanlah istilah yang baru bagi masyarakat umum. Karena
mencegah lebih baik dari pada mengobati.
Segala usaha yang Aku lakukan ini adalah
salah satu bentuk balas budiku pada alam. Kira-kira dua tahun yang silam Aku
terselamatkan oleh daun saga. Ketika itu Aku mengikuti Lomba Pidato di tinggkat
Provinsi. Tinggal menghitung menit menjelang penampilanku, tenggorokanku terasa
gatal di tambah lagi batuk berdahak yang tak kunjung reda.Untunglah Ibu ku
memberikan ramuan obat tradisional itu.Rebusan daun saga yang berasa manis ini
ternyata mampu mengeluarkan dahak dan melegakan tenggorokanku yang membuat Aku
meraih mendali. Selain itu daun saga juga telah menolong Ibu ku dari penyakit
darah tingginya. Sungguh daun saga telah banyak berjasa pada keluargaku. Sejak
itulah Aku mulai tergugah (Hmmm...) “GO GREEN” akan Aku terapkan, entah itu di rumah, di sekolah,
dimana pun pokoknya. Kini bola mataku berwarna hijau deh.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
3 Comments for " Antara Aku, Dokter dan Sampah - ROHMAT Universitas Sriwijaya - Lomba Menulis Cerpen"
menarik dan keren
Keren dan sangat menarik jugs menginspirasi pembaca
isi cerita ini keren sekali, menarik untuk dijdikan bacaan saat santai karena sangat inspiratif