Setengah
Chapter
3
Sudah lama sejak hari itu, seperti semua
sudah terbiasa dengan tubuh tanpa kekuatan ini. Tapi aku memiliki banyak teman
dan berharap memilik banyak teman lagi, aku hanya ingin dikeramaian dan melihat
senyum-senyum bahagia mereka sehingga memaksa ku untuk tersenyum juga. Bukankah
pasir digurun tidak akan terbawa badai sendiri ? prinsip ini akan terus aku
gunakan, aku tak ingin menderita sendirian walaupun hanya aku yang merasakannya
ditengah keramaian yang diinginkan.
Begitu terik hari ini, malas rasanya
berjalan pulang kerumah. Mencoba mencari tumpangan dan sama seperti manusia
lain, tentu saja aku mencari yang gratisan. Yakin takkan ada yang mau yang
memberi tumpangan, “Ah sudahlah lanjut jalan ajalah,” mendesah malas. Mungkin
kalau jalan pulang nantik dirumah mintak uang sama ayah buat es dikasih, aku
sampai nyengir-nyengir sendiri memikirkan bagaimana cara minta uangnya sama
ayah.
Belum lama aku berjalan ditengah
teriknya matahari cuaca langsung berubah gelap, sungguh aneh. “kalau seperti
ini aku harus menambah kecepatan kayaknya.” Bukan berlari bukan pula berjalan
itulah yang aneh dari apa yang aku lakukan.
“rasanya kok udah berjalan jauh sekali
ya.” Cepatku tak dapat mengelakkan hujan, hanya ada dua pilihan, memilih pulang
basah atau pulang lama. Aku memilih pulang lama dan mencari tempat perteduhan.
Hanya aku sendiri yang berteduh disana dan tak ramai pula orang yang lewat
karena lingkungan ini sudah tidak terlalu jauh dengan rumah milik orang tuaku,
dilingkungan ini memang agak sepi tapi warga yang menempatinya cukup ramah.
Ditepi jalan aku melihat seseorang yang memakai seragam yang sama denganku
dengan membawa kucing didepannya yang dia tutupi dengan jilbab penutup
kepalanya. Dia datang menghampiriku lebih tepatnya menghampiri perteduhanku,
dia tersenyum.
“maaf mengganggu, aku takut kucing ini
basah,” dengan senyum basah wajahnya.
“itu kucing kok dibawa-bawa ? trus
bawanya pake seragam pula lagi kan kotor.”
“kasian kucingnya, tapi aku nemuin dia
kehujanan sendiri trus kucingnya masih kecil lagi. Lebih baik dirawatkan ?
kalau kotor kan nantik bisa dicuci,” dia masih menjawab dengan senyum.
Dia cantik dengan senyumnya dan aku
tidak mau dia senyum terus menerus seperti itu. Aku memalingkan wajah kesamping
“serius dia cantik, tapi jangan senyum terus dong,” aku menggerutu sendiri.
“kamu suka kucing ?,” mencoba meneruskan
topik.
“ini kucing kedua kalau aku bawa ini
kerumah, dirumah sudah ada satu kok dan sudah besar juga. Kalau soal kucing aku
gak terlalu suka hanya saja kasian melihatnya hidup tak terawatt. Kedua kucing
yang kupunya aku dapat dari jalan alias kucing jalanan.” Dia tak senyum lagi.
Setelah dia menjawab tanpa senyum entah
kenapa aku agak merasa sedikit kecewa, langsung aku juga ikut muram. “Kalau
kayak gini bagus dia senyum aja deh,” kembali aku menggerutu sendiri. Entah dia
melihatku menggerutu entah tidak, tapi pasti dia akan mengira aku anak aneh
yang pertama dia temui karena gerutuanku.
“oh perhatiannya. Aku juga punya kucing
dirumah dan hanya ada satu, aku punya kucing selalu yang jantannya karena takut
kalau melihara yang betina ntar dia punya anak banyak dan aku gak bisa
ngurusnya. Tapi asik gak punya kucing?”
“kalau perempuan tentu harus punya
perhatian lebih kan?. iya juga sih kalau
punya banyak kucing ntar mereka malah terlantar tapi punya banyak kucing asik
kok jadi punya banyak teman main, bukankah kucing asik kalau diajakin teman
mainkan.?”
“haruslah, perempuan memang harus
perhatian. Kalau dirumah orang tuaku kucing tu tugas utamnya sebagai hunternya
tikus sih tapi kadang-kadang dia juga lucu kalau diajak main,” aku menjawab
dengan tertawa kecil.
Dia juga ikutan tertawa, tapi dia
tertawanya lama. Mungkin lucuanku memang lucu sampai dia tertawanya lama.
Melihat dia tertawa aku hanya tersenyum untuk meunnggu dia bicara lagi, tapi
sayangnya dia malah makin tertawa dan buat aku jadi ilfill. Aku bertanya lagi
“kok ketawa terus ? jadi merasa aneh akunya.”
“habisnya kamu lucu, cara kamu bilang
kalau kucing tu sebagai hunternya tikus trus kamu bilang rumah orang tua kamu,
itu yang bikin aku ketawa. Tapi bener juga sih kalau kita seumuruan kayak gini
pasti rumah milik orang tualah kan ?hahaha,” dia menjawab masih dengan tawanya.
Bukannya hanya senyumnya yang membuatnya
cantik tapi tawanya juga, aku hanya kembali tersenyum melihatnya. Dia berkata
“kalau gitu kamu tinggal dirumah aku aja, aku udah punya rumah biar kamu gak
jadi penumpang dirumah orang tua kamu.”
Serentak aku terkejut “maaf deh aku
belum siap kamu lamar, umur seginipun kamu udah sanggup lamar ya, trus cewek
lamar cowok lagi. Tapi serius kamu udah punya rumah?”
“hahaha gak apalah kan harus dicari dari
seumuran kayak gini. Serius aku udah punya rumah,’’ dia menjawab dengan
terlihat serius.
“wah keren, dapat duit darimana bangun
rumah,” aku hanya pura-pura terkejut karena tak percaya.
“duitnya gak pake duit aku, aku diberi
hadiah ulang tahun sama orang tua aku waktu umur 15 tahun kemaren. Jujur aku
gak juga gak percaya tapi inilah kenyataannya.”
Aku mulai percaya apa yang dia katakana
karena dia menunjukkan beberapa foto di HP nya waktu ulang tahunnya tersebut
dan aku baru sadar kalau dia orang kaya karena udah punya rumah walaupun masih
siswa.
“tapi rumahnya dimana? kamu tinggal
dilingkungan sini?.”
“rumahnya bukan disini dan aku juga
bukan tinggal didaerah ini. Aku berasal dari tempat yang jauh dari sini, aku
baru sampai tadi untuk mengunjungi nenek disini.”
“trus kok pake seragam sekolah? Trus
kucing yang kamu ceritain gak dapat dari daerah sini?,” aku masih heran.
“iya soalnya langsung kesini siap
sekolah karena orang tua aku mendesak gitu. Kucing yang ada dirumahku bukan
dari daerah sini tapi kucing yang sedang kugendong ini pastinya dari daerah
sini,” dia berbicara serius sambil melihat kucing yang dia pegang.
“ooh jadi kamu orang asing disini ya,
pantesan kamu cantik,” frontal aku katakan.
“iya orang asing hehe. Kamu bilang aku
cantik tapi tadi aku ajakin serumah kamu gak mau, cowok emang sering bohong
deh.”
“aku bukan bohonglah emang aku gak mau,
kita ni masih mudalah haduuh.” Aku agak menjawab dengan cemberut sedikit.
“iya aku becanda kok, jangan jawabnya
kayak gitulah. Oh iya dari tadi ngobrol kok formal kali ya pake aku kamu gitu,”
dia tertawa seperti mengajakku tertawa juga.
“nama aku nazwar dan tinggal disektiar
lingkungan sini, aku masih siswa juga seperti kamu.”
“oke, nama aku suci dan terserah nazwar
mau memanggil dengan panggilan apa.”
“sip deh, suci sepertinya hujan gak
deras kali lah nazwar pulang ya. Yok barengan ?”
“oke suci juga, bye nazwar kita pulang
beda arah.”
Dia melambaikan tangannya kepadaku
sambil berbalik badan melihat kepadaku. Dia tersenyum dan sangat tersenyum
hingga tanpa sadar aku juga membalas senyumannya. Dia berjalan perlahan aku
berlari perlahan dan terdengar “nazwar besok aku sudah tak disini lagi soalnya
besok aku balik, senang bisa mengenalmu,” mengatakannya kuat.
Aku lantas terhenti “balik kemana?,”
suaraku lebih kuat mengatakannya.
“kerumahku yang jauh dari sini.”
Dia mengakhirinya dengan senyum yang
terakhir aku lihat darinya “senang bisa mengenalmu juag.”
Ada satu hal yang mengganggu pikiranku,
rumahnya yang jauh itu dimana dan kenapa dia pulang kearah dimana dia datang?
Kenapa dia datang dan pulang kearah yang sama? Ini hari ini dengan terik yang
berubah hujan dan membuatku kenal dengan seorang suci dalam perkenalan singkat.
Sejak saat itu aku tak pernah melihat suci lagi.
Aku pulang kerumah dengan baju yang
lembab karena hujan “Ayah aku pulang.”
Aku langsung masuk kekamar dan ganti
baju, langsung kutemui ayah yang sedang duduk diteras depan. “yah, kasih nazwar
duit yah buat beli eskrim,” dengan manjanya aku meminta dan padahal sudah siswa
aku sekarang.
“jangan beli eskrim sekarang, tadi ayah
liat kamu pulang panas-panasan dari sekolah dan terkena hujan ditengah jalan.
Kalau makan eskrim sekarang ntar sakit, jadi gak uang buat beli es ya.”
“nah ayah kok gak bawa aku pulang naik
motor juga?”
“ayah sengaja biar kamu olahraga,
dirumah kerjaan kamu cuman tidur sambil nonton TV. Itu aha terus gak pernah
yang lain makanya ayah gak ajak kamu,” ayah menjawabnya senyum.
“yahhhh ayah, kalo gitu kasih uangnya ya
yah? Ya ya ya?.”
“ayah gak ada uang buat beli eskrim.”
Karena usaha manja ku gagal akhirnya aku
menyerah untuk meminta uang kepada ayah. Seperti yang ayahku tadi katakana aku lalu melakukan kebiasan setiap
hariku dirumah.
Sekolah hari ini tak begitu berat karena
lagi aku terus memikirkan pulang jalan kaki dengan terik matahri yang setia
menemaniku. Lelah berjalan pulang sekolah ini rasanya lebih melelahkan dari
bekerja seharian, aku selalu mensugesti otakku dengan pemikiran seperti itu dan
mungkin memang karena sugesti itulah yang membuatku menjadi pemalas
berolahraga. Diperjalanan pulang aku selalu memikirkan apakah hari ini aka nada
orang baru yang akan aku temui dan akan menjadi kenalanku seperti yang hari
dimana aku mengenal suci.
Baru sebentar aku berjalan Isa datang
menyapa dari belakang dan menghampiriku “nazwar tungguin, jalan bareng ya.”
“asssst panggil kakak aku bilang, aku
lebih tua dari kamu.”
“iya kakak nazwar,” isa menjawab dengan
lembutnya.
Jarang sekarali Isa pulang berjalan
kaki, karena setiap harinya isa selalu diantar jemput oleh supir ayahnya. Isa
masih seperti biasanya orang yang periang dan merubahku untuk menjadi periang
juga walau aku masih memikirkan bagaimana hari ibuku pergi. Tapi karena isa
selalu memberiku rasa riangnya dan sekarang aku harus mengikuti rasa riang itu
sendiri.
Isa pun telah jarang membahas tentang
ici karena dia juga merasa bersalah kepadaku, dia merasa dialah yang membuatku
mendapat penyesalan seumur hidupku. Memang sudah lama aku tak melihat ici dan
tak membahas ici dengan siapapun. Aku tau ici masih mengingatku dan pasti ici
mau bertemu denganku, tapi entah kapan waktunya itu.
“isa ikut kerumah nazwar ya, nantik
antarin isa pulang pake motor.”
“iya iya mampir aja dulu kerumah, tapi
ntar bayar ongkosnya ya.”
“oke pak ojek,” dia menertawaiku.
“asem -,-’’
Dalam perjalanan kerumah aku jadi lupa
tentang sugesti panas yang aku buat karena isa yang selalu mengajakku berbicara
dan membuatku kesal. “ayah aku pulang.”
Isa pun masuk kerumah “ayahnya nazwar
isa pulang.” Dia tersenyum seperti biasa.
Isa memang memanggil ayahku dengan
sebutan ayah nazwar dan ayah pun selalu senyum mendengar isa mengatakan itu dan
kadang tertawa. Isa sudah sangat dekat dengan ayah karena dia sering bermain
kerumah untuk mengajakku bernain keluar. Anehnya akulah yang selalu dihampiri
isa kerumah dan satu kalipun belum pernah aku menghampiri isa kerumahnya untuk
mengajaknya bermain.
Aku lalu membuka kulkas ternyata didalam
sudah ada eskrim, ayah pasti membelinya tadi. Walaupun kemaren tidak dapat tapi
sekarang tanpa memintapun ayah sudah belikan, memang benar ayah tidak pernah
melarangku melakukan apapun hanya saja aku selalu mengadu kepada ayah tentang
segala hal yang aku lakukan dan ayah selalu memberiku nasihat. Aku harus
berusaha lebih keras lagi agar bisa mendatangkan senyuman diwajah ayah.
Aku memakan eskrim lalu duduk disamping
tanpa mengatakan apapun, dan tampaknya isa mulai merespon “ayah nazwar,
nazwarnya gak mau bagi isa es,” dia berteriak.
“buset, ini ini ambillah. Ampun deh ya
sama anak ni, udah dibilang panggil kakak masih aja panggil nama ntar kualat
lo.”
“terima kasih kakak nazwar,” jawab isa
lembut.
Tidak berapa lama isa dirumah aku
langsung mengantarkan isa pulang kerumahnya yang 10 menit perjalanan dari
rumah. Dia mengajakku mampir kerumahnya tapi aku selalu merasa malu untuk masuk
kerumahnya, entah kenapa aku selalu seperti itu kepada isa. Tapi isa tak pernah
marah ataupun terlihat kecewa atas seringnya kutolak ajakan isa.
“ayah besokkan libur, nazwar besok bawa
motor mau ajak isa main yah. Boleh yah?”
“iya boleh asal mainnya jangan ketempat
sepi ya.”
Malam ini hujan deras disertai angin
yang kencang, aku sengaja kekamar atas karena lebih bisa mendengar benturan air
hujan diatas atap. Ini hal yang sering kulakukan untuk mengatasi rasa suntuk.
Aku rasa dengan selalu mendengarkan sesuatu yang bising bisa menghabiskan semua
rasa kosong yang aku miliki.
Paginya dingin bukan main, aku langsung
bersiap untuk mengajak isa pergi main dan ini akan menjadi pertama kalinya aku
mengajak isa dan menjemputnya kerumah. Anak laki-laki tak butuh waktu lama
untuk bersiap-siap, aku pamit pada ayah dan langusng pergi kerumah isa.
Aku bunyikan bel “assalamualikum om…”
Kalau aku kerumah isa aku pasti mencari
orang tuanya isa terlebih dahulu, takut dikira gak sopan main masuk aja tanpa
sepengetahuan pemilik tumah walaupun aku temn anaknya.
Pintu terbuka “oh nazwar, masuk nak.
Cari isa ya? Isanya belum bangun soalnya tadi malam dia gak bisa tidur katanya.
Biar om bangunin isa dulu,” jawab papanya isa dengan ramah.
“iya om, maaf repotin.”
Aku sering kerumah isa seperti isa
sering kerumah aku, tapi aku agak malu malu dirumah isa mungkin karena rumahnya
memang besar atau karena segan ada orang tuanya. Mungkin dua-duanya. Yang tidak
pernah aku lakukan sebelumnya itu ialah datang kerumah isa dan mengajaknya
bermain belum pernah aku lakukan. Sama sepertinya isa dirumah orang tuaku dia
terbiasa dengan segala sesuatu disana dan begitu juga yang selalu merasa
terbiasa dengan segala hal dirumah isa.
Papa isa lewat “duduk dulu nak, isa baru
bangun tuh. Remot Tv ada dibawah meja ya.”
“iya om, makasih.”
Dihari liburpun papa isa masih tetap
sibuk sepertinya dan pergi kekantor untuk bekerja. Papa isa adalah orang
pebisnis yang terkenal dilingkungannya. Sayangnya dilingkungan isa tak seramah
lingkungan sekitar rumahku. Tetangga isa pernah memarahiku karena waktu aku
datang kerumah isa aku teriak-teriak memanggil papanya isa sering kali. Bukan
hanya itu saja beberapa blok setelah rumah isa aku pernah temui kakak beradik
yang sedang berkelahi dan saat aku melihat kearahnya dia malah melotot lalu
“apa liat-liat? Mau juga kayak gini?” dia menunjukkan wajah adiknya yang sudah
lembam akibat dipukuli. Tentu saja aku tidak mau seperti itu dan lari. Seperti
itulah lingkungan sekitar rumah isa yang aku tau.
“nazwar tumben pagi kesini?” Suara isa
lesu berserak.
“pergi main yok, sana mandi dulu. Udah
lama ni nazwar nungguin.”
Tanpa pikir panjang nampaknya isa
semangat untuk pergi main dan langsung pergi kekamarnya lagi da berteriak
“tungguin agak lama ya, jangan kemana-mana dulu,” isa mulai blak-blakan.
Menunggu cewek berdandan itu rasa menuua
ditempat duduk, tapi ditempat isa banyak hiburannya jadi bagiku menunggu
dirumah isa bagaikan bermain digudang bermain. Aku memakan kue yang ada dimeja
depanku dan menonton TV. “nak mau minum apa biar mama buatin,” mama isa datang
dengan senyum.
Mama isa adalah orang yang sangat ramah
dan bahkan mama isa menganggap aku seperti anaknya sendiri. Hal inilah yang
membuat aku malu kerumah isa, seharusnya aku senang tapi aneh dengan diriku
yang malu dengan kondisi seperti ini.
“gak usah repot-repot ma, nantik kalau
nazwar haus biar nazwar ambil aja kedapur ma.”
“iyalah nak, kalau mau sesuatu liat aja
dikulkas ya.”
“oke ma, jangan terkejut kalau nantik
isi kulkasnya habis ya ma,” aku tertawa.
“iya nak gak apa asal jangan habisin
kulkasnya juga,” mama isa juga bermaksud melucu tapi lucuan ini tidaklah lucu
lagi. Hahaha
Bener yang dibilang isa, dia minta
tungguin agak lama dan itu jadi kenyataan sekarang. Dirumah isa tidak ada hewan
piaraan seperti kucing, kelinci atau hewan berbulu lainnya karena isa alergi
terhadap hal itu. Yang ada hanyalah box yang didalamnya ada 3 ekor semut
ditutupi tanah. Semut inilah piaraannya isa yang selalu dia sirami dan kasih
makan setiap hari.
“yok kakak nazwar kita main,” isa sok
imut.
“gak usah panggil kakak kalau kamu kayak
gitu.”
“kakak nazwar pemalu ya ternyata,” isa
mulai lebay lagi.
“ah sudah yok berangkat.”
“mama isa pamit ya pergi main sama
nazwar,” teriak isa dari ruang depan dan aku pun melakukan hal yang sama.
Kami pergi agak menjelang kesiang karena
lamanya menunggu isa, kami pergi ketaman bermain dan berbagai tempat yang ada
festifalnya. Sepertinya isa senang dengan hal ini dan aku juga tak perlu
khawatir untuk memikirkan hal yang akan membuatnya senang. Sudah banyak tempat
keramaian yang kami kunjungi seperti yang ayah katakan, aku sudah tidak punya
tenaga lagi dan lesu. Berbeda dengan isa yang masih semangat keliatannya. Aku
mengajak isa pulang “isa pulang lagi yuk, udah capek trus udah sore pun.”
“apalah ganggu orang lagi senang aja,
yoklah pulang huh,” sepertinya dia ngambok.
“kita pulang kerumah nazwar dulu ya,
ntar diantar naik sepeda biar romantic,” aku berusaha melucu.
“kamu gak ada romantisnya dikitpun.”
Akupun terdiam dan melanjutkan perjalanan
pulang, sore terlewati oleh perjalan pulang kami dan malam menunggu kami
dirumah.
“ayah nazwar pulang, nazwar ambil sepeda
buat antar isa ya yah.”
“iya hati-hati,” ayah menjawab dari
kamarnya.
Isa tak mengatakan apapun seperti ini
adalah masalah yang serius, akupun mulai kehilangan akal untuk membuat isa
riang lagi. Isa naik dibagian belakang sepeda dan hal lucunya isa tidak bisa
naik sepeda. Aku mencoba menghibur isa dengan berbagai lucuan tapi tak berdaya
melawan isa yang sedang bermata tajam.
“isa kalau jadi pacar nazwar mau?,”
bermaksud bercanda.
“serius nih serius?,” isa bertanya-tanya
dengan cepat. Nampaknya isa menganggap ini serius matilah aku yang bermaksud
bercanda. Aku terhenti sebentar, melihat terus kedepan tanpa kedipan. Benar itu
adalah ici yang lewat. Aku turun dari sepeda dan meninggalkan isa.
“nazwar mau kemana?”
“tunggu aja disitu.”
“ini udah turun hujan cepetan,” teriak
isa.
Hujan mulai turun dan aku meninggalkan
isa yang tak bisa bersepada, aku mengejar ici dan mendapatinya.
“ici, kamu benar ici ternyata.”
“(terdiam)..”
“kemana aja, kok ngilang kayak anak
hilang aja. Gak mau temenan lagi sama aku kah?” dengan sesak aku mengataknnya.
“kamu adalah nazwar. Nazwar adalah orang
bodoh pertama yang aku jumpai dan bisa aku manfaatkan.”
“...apa yang kamu katakana?”
Aku langsung mencerna apa yang ici
katakan, dan aku masih belum menemui maksudnya. Tapi dari apa yang pernah isa
katakan padaku sepertinya sekarang aku sudah tau dan aku sudah mengerti. Inilah
ici yang sebenarnya.
“tapi nazwar, aku ingin berada
disampingmu lagi menemanimu tertawa,” ici berbicara lembut.
Aku benar-benar marah dengan kenyataan
ini atas apa yang ici perbuat dan katakana padaku, tanganku gemetaran dan
gigiku menggeretak. Tak tau apa yang mau aku katakana, seluruh emosiku tertelan
kemarahan perkataan ici.
“berhenti ada disini, pergi sana. Aku
menyesal mengenalmu aku tidak akan mengenalmu lagi. Pergi dari sini tak usah
melihatku lagi tak usah datang kesini lagi.”
Aku berteriak kepada ici “pergi dari
sini, kamu adalah orang jahat. Aku tidak pernah mengenalmu dan tidak akan
pernah. Pergi dari hadapanku.” Suaraku kuat.
Aku menundukkan kepalaku “pergi dari
sini, pergini dari sini. Enyahlah dari hadapanku, kamu adalah orang jahat, aku
tak pernah mengenalmu.”
“pergi dari siniiiii….” Ini adalah
teriakanku yang paling kuat.
Air mataku langsung keluar, nafasku
sesak rasanya. Aku masih menundukkan kepala dan berkata dengan kuat “enyahlah,
aku tak akan mengenalmu lagi. Lebih baik mati saja, kamu telah mengahncurkan
masaku yang tak akan aku dapati sekarang.”ini adalah kata yang paling kasar
seumur hidup keluar dari mulutku.
Isa ternyata berada dibelakangku, dia
sudah basah kuyup karena hujan. Isa terlihat heran dan melihat lama kearahku,
nampaknya dia terkejut mendengar kata-kataku. “nazwar bicara sama siapa? Itu
tadi apa yang nazwar bilang?.”
Aku mengangkat kepala ku, ici sudah
tidak didepanku lagi. Isa memegang bahuku, aku masih terlahap emosi dan
menghempaskan tangan isa.
“nazwar kenapa?,” isa ketakutan,
suaranya gemetaran.
“(diam)..”
“tadi nazwar udah buat isa senang,
sekarang kok nazwar gini?.”
Dalam emosiku “berhentilah bicara, aku
muak mendengar suaramu aku juga membencimu dan semua yang aku katakan adalah
bohong. Pergi sana, pulang sana.”
Aku tersadar akan apa yang aku katakana
kepada isa, aku juga gemetaran. Aku merasa bersalah seketika. Isa menangis dan
berjalan pulang kearah rumah. Hujan semakin lebat, aku gemetaran. Tak tau apa
yang harus aku lakukakn, emosiku membuatku hilang kendali. Aku merasa bersalah
tapi aku tak tau apa yang harus aku lakukan. Isa semakin jauh berjalan, aku
berlari menuju sepeda dan mengayuh mengejar isa. Pandanganku terhalang air
hujan, cahaya terang dengan cepat mendatangiku dan semakin melesat datang dan
sekarang tepat didepanku. “itu mobil……”
Aku merasa diriku terlempar, aku tak
dapat melihat apapun. Aku merasa ada sesuatu yang mengambil ingatanku. Suara
bergema “nazwar…nazwar…nazwar.”
Itu suara teriakan seseorang “apakah itu
isa?,” tapi aku tak dapat melihat apapun. Aku mendengar sesorang menangis. Lalu
aku teringat apa yang isa katakana padaku tentang ici.
“ici adalah orang jahat nazwar dan
nazwar adalah orang baik, ici memanfaatin nazwar. Karena itu ici tak peduli
tentang nazwar sekarang, dia membiarkan nazwar melakukan hal jahat demi dia
karena nazwar orang yang baik. Dia bukan orang baik nazwar dan dia bukan dari
lingkungan yang baik juga. Papa isa juga korban dari keluarganya ici juga.
Percaya sama isa,” itu yang isa katakana padaku dihari aku marah-marah kepada
ibu.
Entah kenapa itu yang aku ingat, aku tak
dapat melihat sesuatu mengambil ingatan dari ku dan aku tak mengetahui apa-apa
lagi. Aku serasa tak sadarkan diri.
Beberapa lama aku tak sadar, aku terkejut
dan hanya hitam yang disekelilingku. Aku mengingat apa yang terjadi padaku
terakhir kali, kepalaku pusing. Aku coba membuka mata dan aku melihat ayah. Aku
sudah terbaring dikursi ruang tamu dengan Tv menyala. Ayah melihat kepadaku
“nazwar mimpi ya nak?”
“iya yah, nazwar mimpi.”
…END…
Baca Juga
Tag :
Cerbung "Setengah"
0 Comments for "Chapter 3 Cerbung "Setengah" Karya M Nazwar Ali S"