-->

Aku Tidak Ingin Belajar - Sevilla E. Azzahra - Lomba Menulis Cerpen

Aku Tidak Ingin Belajar
Sevilla E. Azzahra

            Aku adalah sosok wanita yang apa adanya dengan kepribadian yang cuek. Karena kepribadianku itulah, tak jarang aku sering dikatai sombong dan tak peduli dengan sesama. Itu semua karena mereka memang tak tahu sosok asliku yang sebenarnya. Disetiap langkahku, aku selalu menyembunyikan semuanya tanpa diketahui siapapun. Kecuali satu, hanya kamu.
            Apa kau akan meninggalkanku begitu saja?” tanyanya padaku. “Ya, aku akan segera pergi dari sini” jawabku tanpa melihat wajahnya. “Ah, kamu ini! Tidakkah kamu mau memberikan sesuatu untukku?”
            Aku melihat-lihat apa yang aku bawa. Karena aku tidak menemukan sesuatu yang cocok untuknya, dengan terpaksa aku melepas gantungan kunci berbentuk lumba-lumba. “Ini untukmu” ucapku dengan menaruh gantungan kunci itu padanya.
            Ia memperhatikan apa yang kutaruh ditangannya dengan mata yang berkaca-kaca. Sepertinya ia senang hanya dengan sebuah gantungan kunci itu. “Baiklah, waktumu hanya besok saja. Aku akan menunggumu dirumah pamanku, kamu harus menerima tawaran dari sekolah Bhineka Tunggal Ika”
            Tepat aku selesai mengucapkan kata-kata itu, bus sudah berhenti didepanku. Aku pun langsung menaiki bus itu dan meninggalkan lelaki itu sendirian disana, membiarkan ia memikirkan apa yang aku ucapkan tadi.
            Bus yang kunaiki mulai berjalan. Ah, sial! Pulang nanti aku pasti akan dimarahi oleh paman. Pamanku adalah seorang kepala sekolah yang memang ia sudah mengincar Jason dari dulu. Jason adalah lelaki tadi. Kata paman, ia sangat pintar. Tapi aku tak percaya.
            Sampai didepan rumah, aku berusaha tenang dengan menarik dan menghembuskan napas berkali-kali. Huft, aku grogi jika berhadapan dengan pamanku ini. Aku muali mengetuk pintu.
            Pintu perlahan terbuka. Sekarang, pamanku berdiri tegak tepat didepanku. “Dimana anak itu, Yesi?” tanya paman. “Setelah aku membujuk dia, dia bilang bahwa dia akan kemari besok pagi-pagi” jawabku berbohong.
            “Apakah benar? Kamu sedang tidak berbohong kan?” kata paman penuh selidik. “Tidak paman!, aku sangat capek sekali jauh-jauh pergi hanya untuk memenuhi keinginan paman, sekarang aku mau tidur” ucapku untuk mengalihkan perhatian dan menerobos masuk kedalam rumah.
            Didalam kamar, aku langsung berjongkok dibelakang pintu. Ahh, kenapa aku tidak berkata jujur saja? Kalau besok dia tidak datang, apakah aku akan tetap hidup? Argh! Aku berharap bahwa Jason akan datang besok. Semoga.
            “Kenapa kamu tidak makan?” .Kini didepanku sudah ada sajian makanan berupa susu dan roti. “Aku sedang tidak enak badan paman”, ucapku asal-asalan. “Benarkah?” ucapnya sambil menyentuh dahiku. “Suhu tubuh kamu normal kok. Oh ya, Jason pasti akan datang kan nanti disekolah?”. Aku mengangguk pelan.
            “Baiklah, kalau begitu kamu berangkat duluan saja”. Aku mengangguk lagi dan membawa tasku menuju luar rumah. “Sampai jumpa disekolah Yesi!” kata paman bersemangat. Aish, Jason harus datang! Tak peduli apapun itu.
            Sampai disekolah, aku hanya diam saja dibangku pinggiran lapangan basket ini. Hari ini adalah acara penyambutan murid baru. Alasan paman untuk membawa Jason adalah untuk mengikutkan Jason pada ajang Olimpiade Matematika Internasional.
            Padahal kemarin saat aku mendatanginya, ia tak terlihat pintar sama sekali. ‘Apa paman yakin memilih dia?’, pertanyaan itu yang selalu terlontar didalam hatiku ketika paman sedang membicarakannya. Ah, aku tak peduli. Aku melihat jam yang menempel ditanganku. “Aduh, kurang lima menit lagi... kemana sih Jason itu” gumamku penuh keraguan.
            “Tes mic.. tes mic..” seseorang didepan sana sedang mengecek nyala mic untuk acara ini. Aduh, ini tambah membuatku semakin bingung sekali. Kakiku gemetaran tak karuan. Karena tak tahan lagi, aku langsung berlari menuju depan gerbang sekolah.
            Berjalannya waktu, halaman gerbang sekolah semakin sepi oleh para murid yang datang kesekolah. Aku sangat khawatir sekali jika saja Jason tidak akan datang dan nyawaku akan berakhir hari ini karena tak bisa memenuhi permintaan paman itu.
            Aku melihat dengan tatapan yang lurus dan tajam, seperti ada seseorang yang berlari kemari. Karena tanjakan itu, aku tak bisa melihat siapa yang sedang berlari dengan melambai-lambaikan tangannya padaku. Ah, itu Jason! Ya, aku yakin itu Jason!. Aku pun segera menjemputnya dengan berlari kearahnya. “Maaf.. aku- terlambat..” ucapnya patah-patah.
            Aku mengangguk dan menarik tangannya untuk berlari secepat mungkin menuju lapangan. Sampai disana, aku dan Jason berhenti untuk mengatur napas kami masing-masing. Ini adalah hari pertama pergi kesekolah dengan timing yang buruk.
            Aku melihat paman yang sudah berbicara apa saja disana dan aku mendengar kata-katanya, “Mari, kita sambut Jason dan Yesi lulusan terbaik dari sekolahnya!!!” sambut paman. Jason langsung menatapku lekat-lekat, nampaknya ia bingung. Kutarik kembali tangan Jason untuk berjalan dan berdiri dihadapan semua calon teman seperjuangan. Banyak yang memperhatikan kami berdua, namun mataku tetap fokus tertuju kedepan.
            Sekarang, kami berdua menghadap kepada semua yang hadir hari ini. Aku menoleh kearah Jason dan memberinya isyarat untuk mebungkuk memberi hormat, ia mengangguk. Dengan ucapan yang pelan-pelan dan hati-hati, aku menghitung supaya kami terlihat kompak.
            “1..”, desisku pelan. Jason melirikku, “2.. 3..”. Dengan gerakan cepat, aku langsung menepuk pundak Jason untuk membungkuk memberi hormat pada mereka semua. Ah, Jason melihatku tanpa melaksanakan apa yang aku ucapkan tadi.
            Selesai penyambutan tadi, aku dan Jason duduk berdua dipinggiran lapangan basket. “Apa yang membuatmu mau menerima untuk datang kesekolah ini?” tanyaku padanya. “Aku tidak tahu kenapa, setelah kamu memberiku gantungan kunci itu, aku ingin memberinya kembali padamu” jawabnya yang aneh menurutku. “Kenapa? Hanya dengan itu kamu menerimanya?” tanyaku heran.
            Ia mengangguk. Hm, seharusnya aku sudah memberikan itu saja tanpa membujuknya bagaikan mengemis padanya. “Itu untuk kamu saja, aku tak butuh itu”, ucapku. Ia tak menjawab.
            Sudah beberapa hari aku bersekolah disekolah ini. Dan juga sudah ada beberapa anak yang mengajakku mengobrol namun aku selalu menjawab seolah aku tak ingin berbicara dengannya lagi. Aku tak punya teman. Memang sih, aku tak bisa bergaul dengan cepat. Apalagi aku yang cuek.
            Tapi aku tetap bersyukur karena ada Jason yang menyebalkan itu. Ia juga tinggal dirumah pamanku, aku selalu bertengkar dengannya hingga tak jarang membuat paman angkat kaki dari rumahnya sendiri karena kekacauan yang kami ciptakan.
            “Hei ratu songong, nanti ada jadwal tambahan kita untuk Olimpiade bulan depan”. Aku tak menjawab pernyataan Jason. “Hei, jawab dong” sentaknya padaku. Aku memalingkan wajahku padanya.
            Terkadang, aku seolah-olah tidak mendengarkannya agar aku bisa mendengar ocehannya padaku lebih lama. Intinya, itu memang aku sengaja. Jadi, seringkali Jason merasa tak didengarkan olehku dan ia selalu kesal padaku.
            Sekarang kami berdua berada diruangan kosong untuk jadwal tambahan itu. “Ah, aku capek sekali.. kenapa kita tidak libur satu hari saja? Padahal pembimbing sedang tidak ada dan dia hanya memberi kita soal untuk dikerjakan. Bagaimana kalau kita pulang saja dan mengumpulkan jawabannya esok pagi-pagi?” tawarnya. “Aku mengerjakannya sekarang saja” ucapku datar sambil mengerjakan soal yang menyulitkan ini.
            “Sepertinya hidupmu membosankan sekali.. apa kamu tidak capek setiap hari mengerjakan soal matematika? Oh ya, apa kamu punya sebuah mimpi?”, lagi-lagi ia bertanya. “Kamu cerewet sekali sih” kataku risih padanya. Ia memegang daguku untukku menatap wajahnya, “Jawab pertanyaanku, apa mimpimu?”
            Kini aku kesal padanya. Aku melepas paksa tangannya dariku, “Aku tidak ingin belajar! aku ingin mengikuti kompetisi melukis bulan depan! Tepat pada hari Olimpiade itu!” teriakku lalu meninggalkannya.
            Aku menangis dikoridor. Aku menangis keras-keras. Aku benar-benar ingin melukis daripada belajar! selama ini paman selalu menekanku untuk menjadi yang terbaik! Aku capek sekali menjalankan hidupku dengan jalan yang paman tujukan. Aku ingin menjadi diriku sendiri.. aku ingin memilih hidup dijalanku sendiri.. aku ingin menggapai mimpiku. Aku tidak ingin belajar.
            Aku menutup kedua mataku dan menangis tersedu-sedu disana. Bahkan, aku menyesal pada diriku sendiri yang selalu menuruti permintaan paman. “Aku tahu perasaanmu. Menangislah lebih keras lagi.. lalu aku akan menolongmu”
            Itu suara Jason. Karenanya, aku jadi menangis setelah beberapa tahun aku tidak menangis. Terakhir kali aku menangis, ketika aku kehilangan kedua orang tuaku yang mengalami kecelakaan hebat. Ia mendekapku erat. Aku merasakan kehangatan yang selama ini kurindukan dari sosok ayah.
            Aku melepaskan pelukannya padaku. Ia memegang kedua bahuku dan membantuku berdiri dan duduk disisi koridor. “Apa kamu benar-benar ingin kompetisi itu?” tanyanya. Aku mengagguk pelan padanya. “Jangan memberitahu pamanmu. Kamu hanya jangan datang pada Olimpiade nanti, sebenarnya, aku juga tidak ingin mengikuti Olimpiade itu.. aku ingin menjadi fotografer.. dan aku juga tidak ingin menjadi seseorang yang terlalu pintar”
            Setelah sesenggukanku berhenti, aku menoleh kearahnya. “Kenapa kamu tidak ingin terlalu pintar?” tanyaku penasaran. “Karena dengan begitu, pasti banyak orang yang akan memanfaatkan kepintaraanku. Dan aku tidak suka dengan hal itu”. Aku hanya tersenyum kecil padanya. Mendengar apa yang dikatakannya, itu benar-benar konyol sekali. Sekarang, perasaanku sedikit lebih baik.
            Kini adalah hari penting itu. Aku berangkat pagi-pagi memakai seragam sekolah lengkap dan beralasan pada paman kalau buku rumus-rumusku ketinggalan disekolah dan aku akan mengambilnya. Itu bohong.
            Aku memberanikan diri dengan mengganti baju ditoilet umum. Setelah selesai, aku langsung membeli semua peralatan lengkap melukis. Dan juga, aku mematikan handphoneku agar paman tidak bisa melacakku dengan GPS yang ia pasang di hanphoneku.
            Aku melihat jam, sudah sekitar setengah jam yang lalu Olimpiade dimulai. Untunglah tidak ada siapapun ditaman ini yang kenal denganku. Itu karena aku memakai topi. Aku pun memilih posisi untuk tempat melukisku dan langsung mengeluarkan semua peralatan melukisku. Aku kaget, ketika ada tangan yang memegang tanganku, ia mencengkeramku kuat sekali.
            Aku menoleh perlahan, “Pa.. paman.. bagaimana paman bisa..?”, aku hampir kehabisan kata-kata. “Kenapa kamu melakukan ini?! Aku melacak GPS mu, dan inilah tempat terakhir yang tertera di GPS mu”, paman terlihat marah padaku. Aku tak berani menatap wajahnya. “Aku.. aku ingin memilih jalan hidupku sendiri” ucapku ragu.
            “Buktikanlah, kalau kamu tidak memenangkan kompetisi kecil ini, biarkan paman yang menentukan semuanya dan bersiap-siaplah belajar kembali untuk menjadi yang terbaik”, lalu ia melepaskan tangannya padaku.
            Aku gemetaran sekali. Aku takut dengan paman. Paman memperhatikanku dari kejauhan sana. Aku bertekad dan akan membuktikan pada paman kalau aku akan menang dikompetisi yang kecil ini. Ini semua berkat perkataan Jason.
            Aku memulai kegiatan melukisku. Aku memperhatikan detail demi detail apa yang kugoreskan pada kanvas bewarna putih ini. Aku mewarnai menggunakan warna-warna yang gelap dan hanya menggunakan satu warna yang cerah.
            “Dengan ini, kami akan mengumumkan juara satu pada kompetisi ini..”, ucap pembawa acara itu. Apakah aku akan mendapatkan juara itu? Aku sangat ingin. Tapi rasanya tidak mungkin. Aku mencari-cari seseorang disekelilingku. Tampaklah Jason disana, ia sedang tersenyum padaku, aku pun membalas senyumnya tulus.
            “Juara satu ini, lukisannya sangat berbeda dengan peserta kebanyakan. Lukisannya unik dan sangat mewakili perasaan. Dan pemilik lukisan itu adalah... Yesi Agesia!!!”. Aku tercengang mendengar namaku di panggil.
            Aku langsung menuju panggung dan MC itu memberiku mic. “Ya, aku sangat bersyukur sekali bisa mengikuti kompetisi hari ini. Sebenarnya, hari ini adalah hari Olimpiade matematikaku..”, peserta langsung heboh dengan perkataanku itu.
            “Aku meninggalkan Olimpiadeku hanya untuk ini.. karena aku ingin memilih jalan hidupku dengan melukis ini. Paman, aku ingin memilih jalanku sendiri..”,aku menghela napas sebentar. “Paman, lukisanku ini artinya aku selalu berharap ada suatu kemungkinan diantara ketidakmungkinan didalam hidupku..”
            Semua yang melihat langsung memberiku tepukan yang bergemuruh. Aku menerima piala itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Dipanggung itu, aku melihat paman yang melihatku seolah –olah tak percaya bahwa akulah pemenangnya.
            “Bagaimana perasaanmu?” tanya Jason. “Terima kasih Jason, kamu membuatku jadi begini. Oh ya, bagaimana dengan Olimpiade hari itu?” tanyaku mengingat itu. “Ah, sekolah kita didiskualifikasi karena anggota yang tidak memenuhi” jawabnya. Aku hanya menghela napas panjang saja.
            “Ini” Jason memperlihatkanku gantungan kunci yang aku beri padanya dulu. “Kenapa?” tanyaku. “Aku mengembalikan ini untukmu.. terimalah”, aku menerimanya. “Tapi kenapa?” tanyaku lagi.

            “Aku akan pindah sekolah dan hari ini aku akan pergi. Sama seperti kamu dulu, aku akan menunggumu disana...” ucapnya lalu pergi meninggalkanku. Aku meneteskan air mata mendengar hal itu. Jason, semoga kamu baik-baik saja disana. Hal terakhir yang kulihat darinya adalah punggung yang semakin menjauh dariku.
0 Comments for "Aku Tidak Ingin Belajar - Sevilla E. Azzahra - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top