-->

BERLIAN LAPUK - Tiara Cahyani Ayu Ningrum - Lomba Menulis Cerpen

BERLIAN LAPUK
Tiara Cahyani Ayu Ningrum

“Rapi amat pakaiannya mbak,” rupanya teguran yang baru saja kulontarkan kepada teman satu SMA-ku dulu, telah membuat bola matanya sedikit membesar.
“Eh Carla. Iyanih, kan mau ke STAIN. Kamu sendiri gak daftar kuliah?”
Aku mengumpulkan sedikit udara di dalam mulut hingga terlihat seperti balon kecil. Lalu, kukeluarkan kembali ke daerah asalnya. Beberapa waktu kemudian, aku pun kembali membuka mulut untuk mengeluarkan beberapa jawaban. Percakapan itu tetap kulanjutkan walau tak begitu menarik.
“Ya. Aku akan ikut denganmu, tapi…,” tapi aku tak ingin menghadapi kegiatan membosankan itu! Tak kulanjutkan. Bukan karena takut dengannya, namun hanya sedikit menghindari percakapan yang semakin panjang dan menyiksaku.
“Tapi?”
“Tapi, aku harus bertemu dulu dengan lelaki itu dan membicarakan hal ini kepadanya.” lagi-lagi aku tak ingin terlalu berterus terang akan tujuan dari kata tapi barusan.
“Maksudmu, kau ingin meminta izin dulu kepada ayahmu? Pergilah, aku akan menunggumu di sana.” Ujarnya sembari mengarahkan jari telunjuknya menuju sebuah kursi panjang yang terletak di salah satu sudut taman kompleks rumahku.
Ya, dia telah di sana. Menunggu aku yang belum saja kembali ke hadapannya. Dan memang ku takkan kembali. Seharusnya aku peduli terhadap Azura yang kubuat menunggu sedari tadi.
***
Hari ini aku kembali tenang. Ayah telah mendaftarkan diriku ke salah satu tempat kuliah di kotaku ini. Kurasa Azura telah menyebut nama tempat itu, dan tentu tak perlu kusebut kembali.
Namun, sayangnya keberuntungan tak berpihak padaku kali ini. Tuhan telah mengutukku. Mengutuk keluargaku. Lelaki itu sangat terpuruk di hadapanku kali ini. Tak pernah kulihat ia meneteskan air mata, kecuali pada detik ini.
“Aku telah gagal,” gumamnya lirih.
Kesedihan telah menyelimuti dirinya dengan begitu rapat namun hangat. Penyesalan. Hanya itu yang dapat kudeskrepsikan kepada lelaki yang telah tertunduk kaku di hadapanku sejak beberapa waktu lalu. Awalnya, pertanyaan-pertanyaan aneh nan bernada tengah bersorak di kepalaku. Penyesalan? Mengapa? Ia menangis? Ada apa ini? Seperti itu. Peri Tanya telah menatapku dengan mata membelalak. Sesaat setelahnya aku belum juga paham.
“Aku sudah menyogok petugas, guru, hingga kepala di sana. Namun, tak ada yang peduli. Bagi mereka pengetahuan bukanlah uang. Dan memang selayaknya seperti itu. Kau sabar ya nak, perusahaanku juga sudah tak ada lagi yang dapat diharapkan darinya.”
“Kau lihat? Ayahmu telah berkorban begitu banyak untukmu! Tapi kau? Kau tak pernah menghargai sedikit pun dari apa yang telah ia korbankan terhadapmu! Sekarang tak ada harapan lagi. Jika aku dan ayahmu terus membiarkan dirimu berada di sini, kami akan ikut hancur. Kami tak ingin hancur bersamamu. Kau tak punya apa-apa.”
Suara melengking itu nyaris membuat diri ini terhempas hingga ke luar angkasa bersama space rubbish yang akan dilenyapkan. Melihat tentang siapa yang telah berani membentakku tadi, refleks saja diriku melakukan eye rolling.
***
Aku kewalahan di tengah hujaman titik-titik air yang mengarah kepadaku. Perempuan itu telah mengenyahkan bayanganku dari sana, di rumah itu. Satu-satunya tempat di mana aku mengenang almarhum ibu, kini telah lenyap dari kehidupanku. Tak ada lagi bayang-bayang ibu yang sering kali kulihat di pojok kamar. Tak ada lagi wajah cantiknya yang tersenyum kepadaku. Ya sudahlah, aku pun tak dapat mengulang waktu kembali.
***
Kini usiaku telah melewati masa remaja. Masa yang kulalui dengan suka cita. Di mana suka, duka, kebahagiaan, kesedihan, kepiluan, dan kepedihan telah menghujamiku dengan sebukit pertanyaan yang aneh meski nyata. Akupun memutuskan untuk memilih profesi layaknya orang yang tengah berputus asa. Menyodorkan tangan kosong yang berharap diberi selembar uang, mengeluarkan nada pilu, serta kadang kala aku memasang kecacatan palsu demi menarik rasa kasihan dari orang-orang itu. Hari semakin terik. Kusandarkan bahu lemasku menuju kursi plastik di tepi jalan.
“Apa yang kau lakukan di sini wahai nenek manis?” tanya seorang gadis kecil sembari sedikit menepuk pundakku. Suaranya yang lantang bin lembut nyaris membuat bola mataku membesar, namun kutahan.
“Eh, ti-tidak. Aku hanya sedang menatap indahnya kota,” jawabku terkaku.
“Mengapa kau meminta uang kepada orang-orang itu?”
“Aku membutuhkannya…” sekali lagi aku menjawab dengan nada pelan. Sangat pelan.
“Untuk apa?”
“Makan.
“Mengapa kau tak memilih pekerjaan yang lebih berwibawa?”
“Kau ini banyak tanya sekali. Baiklah, aku tak punya pekerjaan. Aku tak punya modal untuk itu. Aku tak menyelesaikan kuliahku. Tepatnya, aku gagal mendaftarkan diri.
“Mengapa tak kau coba lagi? Well, aku tahu usiamu sudah lewat dari masa kewajaran. Ingat, ilmu tak pernah memandang usia. Maukah kau ikut denganku?”
“Ke mana?”
“Perpustakaan kota.”
“Tempat apa itu? Aku tak pernah ke sana sebelumnya…”
“Kali ini kau akan ke sana,” ujarnya meyakinkan. Ia menarik tanganku dengan kuat hingga aku sedikit tersentak kemudian berlari.
Tak lama aku menyusuri tiap bagian kota ini, di hadapanku telah terlihat bangunan sederhana namun besar kelihatannya.
“Yuk nek, kita masuk.”
Aku menuruti perkataannya. Kupandangi seisi bangunan itu, menyusuri tiap lemari yang berisikan deretan buku-buku tebal dan tipis, meraba tiap lembaran buku-buku itu. Buku yang dahulu kuhina, kucaci, dan kumaki tampak berbeda di sini.
***
Setahun berlalu. Aku merasa bahwa diriku telah menguasai materi ‘Sastra dan Bahasa’ yang tiap hari kuamati di perpustakaan kota itu. Entah apa yang telah menarik kakiku menuju salah satu tempat yang tak asing bagi mahasiswa di kota ini, STAIN. Aku memang pernah mendaftar di sini sejak puluhan tahun silam. Namun, aku tak pernah menyimpan dendam pada tempat ini. Kucoba memberanikan diri untuk masuk menyusuri tiap gerbang di sana. Aku mencoba mengambil salah satu dari selebaran formulir itu, kubawa pulang hingga mengisi poin demi poin pertanyaan tersebut. Kemudian, kukumpulkan selebaran itu esok pagi.
Hari uji pengetahuan pun tiba. Aku diletakkan pada ruangan tiga dan duduk paling depan. Sesaat aku merasa malu. Mereka mengejek keadaan fisikku, memerhatikan lapisan kulitku, menatap setiap helai rambutku, lalu tertawa terbahak-bahak.
“Hai nenek manis…,” cemooh salah satu dari mereka sembari tertawa.
Ilmu tak pernah memandang usia. Aku terkesiap. Kalimat itu seakan mengageti batin. Tanpa menoleh ke arah mereka yang mengolok-olokku, dengan lincah pena di tanganku seakan menari di atas kolom-kolom tempat jawaban yang telah disediakan.
“aku yakin sekali, ini benar-benar tepat!” gumamku bangga.
Tak puas dengan semua itu. Aku kembali membaca, meneliti setiap kata dan kalimat yang telah kugoreskan di atasnya hingga benar-benar yakin akan apa yang telah kutuliskan di sana, kemudian kuserahkan kepada pengawas ruangan.
“Luar biasa…” ia bergumam sembari menatapku dalam-dalam
“Ada apa? Ada yang salah dengan jawabanku? Ataukah penulisan namaku? Biarkan aku merevisinya. Maklum, mata ini sudah tak layak pakai tanpa kaca mata.”
“Tak ada yang salah, kalimatnya terpotong oleh gerakan kepala. “Baik, semuanya harap mengumpulkan pekerjaan lima menit lagi. Dan kau, nenek. Silahkan pulang dan menunggu hasilmu.”
***
Aku berada di tengah kerumunan jiwa yang penasaran. Badanku terbilang rapuh. Namun, tak menggoyahkan semangat yang membara di dada. Aku menatap selebaran yang direkatkan pada papan pengumuman yang berisi nama-nama calon mahasiswa baru di sini. Tak kutemukan namaku. Beranjak pada selebaran kedua di sebelah kanannya, hingga menemukan nama Sania Carla Renata. Ya, Tuhan! Aku berhasil? Tell me if I’m dreaming! Kucubit kulit pipiku yang kerut. Ah! Ini sakit. Aku tak bermimpi.

Sejak keberhasilan itu menyapaku, kini aku sadar bahwa perbuatan itu adalah perbuatan terbodoh yang pernah dilakukan oleh manusia sepertiku. Gadis itu telah membangunkan raga ini dari indahnya mimpi sesat itu. Ia telah menemukan julukan yang pas untukku. Namun sayang, aku tak sempat menanyakan nama dan tempat tinggalnya. Tapi aneh, semenjak ia meninggalkanku pada hari itu, ia tak pernah lagi kutemukan dalam bangunan kokoh itu. Tiap hari kusempatkan untuk ke sana. Menyusuri tiap lemari. Lemari yang telah membuka mataku dari seruan gadis kecil manis. Tak pernah kusangka, ending kehidupanku akan secerah ini. Secerah berlian. Berlian yang telah lapuk akan kikisan kecurangan.
0 Comments for "BERLIAN LAPUK - Tiara Cahyani Ayu Ningrum - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top