-->

Kasih Untukmu, Ayah - Amin Arifin - Lomba Menulis Cerpen

Kasih Untukmu, Ayah
Amin Arifin

Senja ini, aku menanti kedatangannya. Hanya harmoni angin yang menari bersama daun yang menemaniku. Aku mendongak mencoba merasakan setiap tetes air hujan di hati ini. Cahaya-cahaya lampu yang berbaur dengan tirai hujan sungguh menakjubkan. Nuansa itu menjadi pelipur sendiri, namun semua itu masih tak setimpal dengan keresahanku untuk menunggunya.
            Hati ini selalu tergigit tengkulap sendiri di tengah kesepian kalau belum mendengar suaranya. Beribu-ribu cara telah kulakukan agar hati ini mendapat sebutir cahaya yang menenangkan hati. Tiba-tiba sebuah suara menyelani kesepian hati ini.
“Rifin.... kamu makan dulu ya! Nanti Ayah juga pulang.” ucap ibu
“Tapi biasanya kita makan sama-sama Bu.” sanggahku
“Iya, tapi untuk kali ini, kamu makan sama Ibu dulu ya!”
Akhirnya aku menyanggupi permintaan ibu. Aku melangkah menuju meja makan, namun pandanganku masih suka menatap jendela berharap ayah memanggil dari sana. Jiwa ini ingin sekali meraih kembali kasih sayang ayah seperti dulu.
            Waktu itu, ayah selalu pulang jam tiga sore seiring dengan kepulanganku dari bermain bersama teman-teman. Beliau selalu mengecup dahi ini serta melukis kasihnya. Namun ketika KTSP diubah menjadi kurikulum 2013, aku jarang bertemu ayah. Aku hanya bertemu beliau ketika malam hari. Kurasa seluruh jiwa ini bagai terkurung di angka dan tulisan pelajaran.
            Beberapa waktu kemudian, ayah mendapat tugas. Beliau sangat sibuk dan selalu pulang larut malam. Aku sering merintih menapaki kasih sayang ayah. Rindu, rindu, dan rindu. Hanya itu yang dirintihkan hati ini.
***
            Malam menyambut. Lampu kamarku pun telah padam. Satu hari terlewati lagi tanpa mendapatkan sebutir kasih seorang ayah. Tetapi ketika sebuah bibir mengecup dahi, hati ini serasa merdeka. Saat langkah kaki terdengar menjauh, aku membalikan badan mengintip siapa gerangan orang yang mengecup dahi ini. Namun ku tak kuasa melihat ayah yang telah mengecup dahiku, masih mengenakan seragam dan bersimbah darah di lengannya.
            “Mas, mas kesini dulu! Aku obati dulu lukanya.” seru ibu
Aku beranjak dari ranjang mencoba mengintip percakapan mereka dari balik pintu.
“Mas Arya, lengannya kok bisa kaya ini?” tanya bunda
“Tadi penjahat yang ku tangkap menyerangku dengan pisau.”
“Mas, kalau bisa besok Mas di rumah ya! Besok ulang tahun Mas lho. Habiskan waktu Mas dengan Rifin!” pinta ibu
“Akan kuusahakan. Aku juga kangen bermain dengannya.”
            Aku meloncat-loncat kegirangan ketika jawaban ayah terdengar di telinga ini. Mataku menatap tabungan di atas meja belajar. Dengan itu, kuharap akan datang secercah kehangatan seperti dulu.
***
            Langkah kaki ini tak sabar melintasi jalan berhias dedauan kering untuk sampai ke rumah. Terbayang di pikiran ini betapa bahagianya ketika kasih itu menyentuh kembali hatiku. Mataku tak pernah lepas memandangi hadiah yang kubeli dengan tabungan.
            Kali ini lilin menyala bagai semangatku. Suaraku dan ibu, bergema-gema menyanyikan lagu ulang tahun di rumah.
“Selamat ulang tahun Ayah, semoga panjang umur dan sering-sering di rumah ya!” seruku
Seketika itu, apa yang pernah kuharap terwujud. Dekapan hangat dari ayah menyelimutiku. Namun yang paling menyejukkan hati adalah pelukan dari ayah dan ibu serta ciuman dari mereka. Oh rasanya batin yang telah lama terkurung sekarang bebas. Kerinduan itu akhirnya dapat terbalaskan.
            “Aku punya hadiah buat Ayah....” seruku
Tetapi suara HP ayah menyela kata-kataku. Ayah langsung menuju pintu dan menjawab panggilan. Sementara aku hanya menatap ayah dengan beribu keresahan di hati. Tiba-tiba ayah menoleh menatapku. Beliau mendekat dan kembali mendekap tubuh ini.
“Maaf Anakku, kita buka hadiah darimu lain waktu ya! Ayah harus pergi sebentar.” kata Ayah perlahan
Aku hanya mengangguk walau hati ini serasa teriris-iris pilu. Ayah berlalu dari padanganku. Ketika beliau muncul kembali, beliau telah memakai seragam cokelatnya. Ibu mencium tangan ayah, kamudian beliau menghampiriku mencoba menenangkan hati ini.
            Air mataku tumpah ketika ayah masuk ke mobil dan melambaikan tangan dari sana. Tak perlu waktu lama, ayah menghilang. Aku meletakkan hadiah lalu mengelusnya. Ibu melihatku dan mencoba untuk menghibur.
“Kenapa sih Ayah selalu mementingkan tugas daripada Aku!” protesku
“Rifin tak boleh berkata begitu. Ayah pergi karena ada yang harus diselesaikan dengan cepat” nasehat ibu
“Aku kan juga butuh Ayah.” kataku sambil menangis
Aku menangis sejadi-jadinya lalu pergi menaiki sepeda kemanapun ayunan kaki ini membawa. Sedangkan ibu hanya menatapku di ambang pintu.
***
            Dor, dor, dor. Bunyi peluru terdengar menggelegar. Aku berhenti dan menyelinap menatap baku tembak. Namun mata ini seketika membelalak menatap salah satu polisi yang sedang bertempur. Ayah, ada di pertempuran. Tanpa ragu aku mencoba mendekat.
“Ayo kawan-kawan, demi keluarga kita, kita kalahkan mereka! Jangan sampai mereka membunuh orang-orang yang kita sayang.” seru seseorang yang sangat kukenal suaranya
            Kata itu seakan menyadarkanku. Aku yang selama ini menutup hati akan makna perjuangan ayah, kini tersadar. Kata-kata itu, membenam di hati ini. Ternyata dengan melawan penjahat, beliau melindungiku agar tidak dilukai oleh mereka. Namun sekarang ayah menyadari keberadaanku. Beliau langsung belari ke arahku.
            Dor. Suara tembakan memekik di telinga.
“Ayah!!!” teriakku
***
Hari-hari keresahan menatap ayah terbaring tanpa bersuara, akhirnya terlampaui. Tugas untuk mengusut penjahat juga sudah terselesaikan ketika beliau di rumah sakit.
“Ayah maafkan Aku, sekarang Aku mengerti.” kataku perlahan
Ayah mengisyaratkan supaya aku memeluknya. Ku berikan hadiah ulang tahun yang belum dibuka. Ketika beliau membuka, wajahnya berseri tersenyum dan memeluk tubuhku erat.
“Aku sayang ayah.” paparku

“Aku juga menyayangimu anakku. Maafkan ayahmu ini yang tak sempat menghiburmu!”
0 Comments for "Kasih Untukmu, Ayah - Amin Arifin - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top