Bintang
Dasri
Umi
Maghfirotin
Bintang
itu telah ditakdirkan jatuh. Berkali - kali jatuh, menerjang komet, menyerempet
asteroid, menembus ribuan galaksi, hingga berguling di pangkuan ibu yang
kusebut bumi. Meluluh lantakkan tatanan isi dada dan perutnya. Lima tahun aku
menunggunya, menunggu bintang itu. Ribuan hari aku menangis siang dan malam,
bermunajat dan memanjatkan doa. Akhirnya dia datang, dengan dua sandi bertinta
merah diatas tempatku mengadu nasib. Kepayahan, menjadi pesakitan, pingsan,
siuman, kehadirannya mengukir bahagia diatas derita sesaat yang ku alami.
Sayangnya,
kebahagiaan itu pun tak berlangsung lama. Seratus lima puluh hari, rumahku
penuh cahaya bintang itu. Lima bulan, ia kehabisan energi. Sang Pemberi Cahaya
memudarkan cahaya putihnya, yang selama ini berkelap kelip di laman monitor
rumah sakit. Manusia berbaju putih, menyampaikan berita, bahwa aku tak mampu
menerima kehadirannya. Aku terlalu lemah. Ketika dia menyatakan kepergian
bintangku, aku seperti mati.
"
maaf pak Dasri, isteri anda mengalami pendarahan hebat. Kemungkinan kami harus
mengangkat bayinya. Berdoa ya pak".
"
tolong, dokter. Lakukan yang terbaik".
Mereka
bukan Tuhan, mereka bukan menakdirkan jalan hidupku. Mereka hanya menyampaikan
berita atas takdirku. Semua usaha telah dilakukan. Bintangku, buah cintaku,
calon bayiku, telah dikeluarkan dan sempat di inkubator beberapa menit. Namun
Tuhan memanggilnya sebelum aku sempat melihat, bahkan menciumnya.
***
"Cinta,
bangunlah. Sudah jam enam, nggak baik tidur terlalu lama. Cepatlah mandi, nanti
kita main kerumah ibu. Rasanya kangen sama beliau", suamiku, tak henti -
hentinya mencarikan sarana hiburan untuk sekedar membukakan mataku akan masa
depan dan harapan yang masih akan datang. Melupakan kepergian bintangku.
"Sayang,
ayolah", suamiku tak akan tahan melihatku yang tak mau berkutik. Tangannya
yang lembut tak pernah putus asa menggandeng tanganku yang rapuh menuntunku
sampai ke kamar mandi. Di
meja makan, santapan yang paling kusukai, ah, tak selera.
"
kemarilah, abang masak mi goreng spesial buat cintaku yang lagi cemberut.
Dijamin, langsung jatuh cinta makan mi goreng abang".
"
bukan sama mi nya bang, tapi cinta sama yang masak".
"
eh, keluar suaranya...".
"
maafin Tika bang, belum bisa ngebahagiain abang".
"
siapa bilang? Sejak abang merasakan cinta pertama denganmu, abang sudah sangat
bahagia. Meminangmu, dan menjadikanmu sebagai isteri, abang teramat bahagia.
Sampai sekarang, bisa menemani isteri abang, abang sungguh bahagia. Bahagia itu
sederhana, Antika. Bersyukurlah, nanti Allah akan melipatgandakan kebahagiaan
kita. Yang sudah ya sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Toh, masih ada
kesempatan. Ayo makan ".
Menyembunyikan
kesedihan bukanlah hal yang mudah. Apalagi bukan bakatnya. Tapi ia selalu
tegar, tepatnya berusaha terlihat tegar dihadapanku. Kabar bintang pun, melesat
dan sampai ketelinga ibuku. Pastilah beliau bersusah hati melihat keadaanku.
"
Antika, puteriku. Kau baik - baik saja nak?", ibuku menyambutku dengan
pelukan eratnya.
"
iya buk, Tika baik kok. Ibuk kok tambah kurus? Ibuk pasti kumat lagi nggak mau
makan, ya?", kataku mengalihkan pembicaraan.
"
dari dulu ibukmu ini kurus. Ibuk kangen sama kamu. Apalagi, setelah...".
"
jangan dipikirkan, buk. Semua kehendak Allah. Semoga Allah memberi kesempatan
lagi buat Tika".
Tiga
gelas teh disuguhkan diruang tamu. Adikku, Raka menyalamiku.
"
katanya Raka sudah kerja, kerja dimana kau?", tanyaku pada adik semata
wayangku.
"
di toko bangunan, kak. Milik pak de Gani".
"
baguslah. Biar ada yang bantu ngasih duit ibuk belanja".
"
belanja apa? Uang gaji bapakmu saja sudah cukup. Biar saja disimpan duitnya,
buat masa depan", kata ibukku menyela.
"
masa depan yang mana buk?", tanya Raka menggoda ibuk.
"
ya menikah", jawab ibuk singkat.
"
ha ha ha ha", selalu ada canda tawa disetiap kepenatanku, namun hatiku tak
kunjung redam. Selalu ada kebahagiaan ketika berkumpul keluarga. Akupun betah
berhari - hari disana.
***
Lima
tahun kemudian. Kesempatan kedua telah datang, alhamdulillah. Cahaya putih
kembali berkelap kelip di laman monitor USG. Tanda kehidupannya semakit kuat,
pekat. Usia kandunganku sudah melewati
lima bulan, aku senang bukan kepalang. Sampai tujuh bulan berjalan, bayi dalam
kandunganku semakin aktif bergerak. Perutku nampak begitu besar sedikit
lonjong, dilihat dari depan. Kata orang tua, biasanya bayinya itu laki - laki.
Menurut
dokter, bayi yang lahir usia tujuh bulan bukanlah prematur. Namun, justeru yang
lahir usia delapan bulan disebut prematur. Tujuh bulan hampir menginjak delapan
bulan, aku terus berdoa semoga bayiku selamat. Kuhantarkan tidur malamku dan
bayiku dengan lantunan surat al - waqi' ah yang sudah kuhafal. Semua kejadian
telah ditakdirkan, dan tidak dapat diingkari. Kedatangannya tak perlu kita
tunggu. Kepergiannya pun tak perlu kita tangisi. Kecuali manusia lemah sepertiku. Suara adzan subuh memanggilku
kembali untuk mengingat Sang Maha Kuasa. Sebenarnya masih terasa berat mataku
kubuka, namun tetap kupaksa karena sudah waktunya menghadap kepada Nya. Tak
lupa kubangunkan buah hatiku yang tercinta, untuk senantiasa bersyukur atas
rahmatNya. Waktu kupegang perutku,
"
abaaaaaaa.....ng!!!! Dimana bayiku? Dimana bintangku? Pergi kemana? Aduh
abaaaa.....ng!!!", aku menjerit seketika mendapati perutku yang kosong,
bayiku hilang. Raib begitu saja, tanpa menyisakan gejala dan tanda - tanda. Ya
Allah, ujian apalagi ini ? Suamiku
pun gelagapan layaknya diserang tentara iblis. Berulangkali lafadz istighfar
terus meluncur dari mulutnya. Sepertinya, iblis benar - benar datang tadi
malam. Menyelinap dan mencuri kebahagiaanku.
"Ya
Allah, dosa besar apa yang telah kami perbuat?", ia tak sedikitpun melepas
pegangan tangannya diperutku. Tangis kamipun pecah dikeheningan shubuh. Disaat
para iblis itu lari terbirit - birit dihantam fajar. Secepat kilat kabar hilangnya bayi
dalam kandunganku menyebar ke seantero bumi nusantara. Menjadi trending topic
di jagat maya. Teman - temanku mengatakan, itu karena ilmu hitam. Ada yang
menginginkan anak, namun tak mampu, dan akhirnya mengambil jalan haram itu.
Manusia biasa tak akan percaya, bahwa ini nyata. Bayiku hilang, entah melewati
pintu mana di dalam rahimku. Aku sendiri tak percaya. Ibuku sibuk mengunjungi
para kiyai, menanyakan perihal hilangnya bayiku, sampai meminta nasehat
bagaimana agar bayiku bisa kembali. Sulit diterima memang. Tapi ini kenyataan.
***
"Aku
tidak meminta nasibku menurun pada anak - anakku. Meskipun bukan anak kandung,
ibuk selalu menginginkan yang terbaik buatmu, nduk. Jangan berputus asa, kau
masih punya kesempatan lagi. Tidak seperti ibumu ini, pengen punya anak harus
adopsi".
Ya,
aku bukan anak kandung ibuku. Begitu juga adikku, Raka. Dia dipungut dari
seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya, dan akhirnya stress kemudian
meninggal. Tentu saja, tak setegar waktu kehilangan pertama, ibuku tak kuasa
menahan tangisnya didepanku.
"
hey...sudah, sudah. Ini kehendak Allah. Kita masih diuji. Kita harus bersabar
supaya lulus ujian", bapakku angkat bicara tak kuasa melihat dua
bidadarinya berpeluh air mata. Suamiku entah kemana. Adikku, Raka juga
termenung disampingku sambil sesekali membujukku agar berhenti menangis.
***
Lima
tahun kemudian. Aku tidak ingin kesempatan yang ketiga ini gagal seperti
sebelumnya. Setiap minggu aku rajin kontrol, USG pula. Memastikan bahwa bayiku
baik - baik saja. Tes tekanan darah, tes urin, tes hemoglobin, semua aku
jalani. Berharap bayiku lahir dengan selamat. Setiap hari, setiap malam, semua
doa kebaikan kami panjatkan. Mengharap ridhoNya atas semua yang kami lakukan.
Sedikit uang belanja yang lebih, selalu kusedekahkan. Semoga menjadi barokah dan
khusnul khotimah bagi kami. Sembilan
bulan sepuluh hari, genap sudah aku mengandungnya. Kini tibalah saat paling
mendebarkan, antara cemas dan bahagia. Kata dokter, aku tak bisa melahirkan
secara normal, bayiku terlilit tali pusar dilehernya. Tak apa, yang penting
bayiku bisa lahir dengan selamat.
Segenap
keluargaku, bapak, ibuk, adik, mertua, dan yang pasti suamiku tercinta
berkumpul sambil berdoa diluar, melepaskan tanganku dan berpesan agar aku tetap
tenang. Memasuki ruangan berbola lampu besar ini, aku seperti hendak mati. Para
dokter itu terlihat tenang, apa yang mereka pikirkan saat hendak mencincang
seorang perempuan. Setiap kali aku begidik bertemu lagi dengan pisau dan
gunting yang tajam itu. Beberapa saat aku merasa hilang, cairan bius merasuki pembuluh
darahku. Tidur atau mati.
"
bagaimana dok?", suamiku paling cepat bertanya, dokter pertama keluar dari
ruang operasi.
"
alhamdulillah, bayinya laki - laki. Sekarang masih di inkubator. Selamat ya pak
Dasri".
"
alhamdulillaaaaaaaah".
Beberapa
jam kemudian, aku sudah siuman. Mendapati semua anggota keluargaku tersenyum
bahagia, aku pun begitu. "
selamat, puteriku. Bayimu laki - laki. Ganteng sekali", ibuku terlihat
begitu senang. Diciumnya kening puterinya ini. Aku tak bisa berkata apa - apa.
Melihat suamiku yang begitu cerah mukanya, surga tersendiri bagiku.
"
bagaimana keadaan anak kita, abang?", tanyaku lembut. Sambil mengecup keningku, ia
berkata lirih padaku. "Terima
kasih, cinta. Anak kita baik - baik saja. Masih di inkubator, sebentar lagi
juga dibawa kesini".
Tak
berapa lama, muncul seorang suster memanggil suamiku. Mungkin disuruh mengambil
buah hatiku. "
pak Dasri, putera anda mengalami gagal jantung. Kami belum bisa menjelaskan
kondisinya. Sebaiknya anda kesana, agar dokter bisa mendapatkan pertimbangan
untuk langkah selanjutnya".
BLAG.
Ibuku pingsan. Adikku berusaha menghiburku. Aku sendiri, tak berani membuka
mataku. Tak berani menghadapi kenyataan. Lagi - lagi bintang itu tak kuasa
bersinar dibawah redup matahari. Kehabisan energi. Tak bisa kuceritakan
bagaimana keadaanku, suamiku, ibuku, bapakku, adikku, bahkan rumahku sendiri,
setelah kepergian bayiku untuk ketiga kali, dengan skenario berbeda disetiap
latarnya. Semua mengalir sesuai kondisi. Aku masih bersimpuh dengan luka - luka
yang menyayat batin dan perutku. Menanti drama selanjutnya oleh Sang Pembuat
Skenario hidupku. Benar. Ia terlampau adil. Allah, Tuhanku terlampau
mengasihiku dengan mengembalikan yang menjadi hak ku. Seorang perempuan tiba -
tiba datang kerumahku. Memberikan sebuah tawaran yang tak bisa kutolak sama
sekali. Ia memberikannya sukarela tanpa mau menerima upah sedikitpun. Aku pun
tertegun. Seorang bayi laki - laki, masih lengkap dengan tali pusarnya. Diserah
terimakan oleh seorang perempuan yang ditinggal suaminya, kepangkuanku.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "Bintang Dasri - Umi Maghfirotin - Lomba Menulis Cerpen"