-->

Sang Komang - Putri Vita Nadia - L0mba Menulis Cerpen



Sang Komang
Putri Vita Nadia

            Pagi itu, Komang bergegas mengeluarkan sepedanya dan bersiap untuk berangkat ke sekolah. Saat ia hendak mengayuh sepeda, tiba-tiba ia teringat akan mamaknya. Komang menaruh sepedanya dan berlari ke dapur. Ia mendapati mamaknya yang sedang memasak sambil bersenandung kecil.
            “Mak,” panggil Komang yang membuat mamaknya terkejut.
            “Kenapa kau balik lagi?” tanya mamak.
            “Kan aku belum pamit sama mamak,” jawab Komang santai.
            Komang memegang tangan mamaknya dan mencium tangannya perlahan. Matanya terpejam mengingat hanya mamak satu-satunya orang tua yang ia punya.
            “Assalamu’alaikum, mak,” ujarnya lembut.
            “Barakallah, anakku. Baik-baik di sekolah ya, jangan bandel,” tutur mamak.
            Komang mengangguk dan berbalik ke halaman depan.
            “Komang!” seru mamak.
            Nama Komang sendiri adalah panggilan sayang dari mamaknya, meskipun nyeleweng dari nama asli Komang sendiri.
            Komang menoleh ke arah mamak.
            “Sini peluk mamak,” mamak membuka lengannya berharap putra sulungnya menghambur ke pelukannya.
            “Mak, Komang kan sudah gede. Kok masih main peluk saja?”
            “Mamak tahu ini keputusan ini berat buat kau, Mang,” ujar mamak. Raut mukanya menjadi sedikit sendu.
            “Mungkin bukan rezeki Komang, mak. Komang bisa sekolah saja, Alhamdulillah,”
            Tanpa basa-basi, mamak memeluk Komang. Ia terharu karena kesatria kecilnya kini sudah dewasa, hanya saja kebiasaan sering ke warnetnya saja yang belum hilang.
            “Mamak bangga sama kamu, Mang,” bisik mamak.
            Komang tak bisa menolak, ia kembali memeluk mamak. Ia membayangkan ketika ia masih kecil dan ia dikelilingi dengan orang-orang yang menyayanginya, termasuk abah.
            “Sudahlah mak, jangan kau menangis lagi,”
            Komang mengusap air mata mamaknya. Mamaknya tersenyum.
            “Kau juga jangan sering-sering meninggalkan mamak. Kasihan adik kau yang selalu mencari abangnya,”
            “Hehe…insyaallah, mak,” Komang nyengir.
            “Cepat sana kau pergi ke sekolah, bisa terlambat nanti,” kata mamak mengantar Komang ke halaman depan.
            Komang segera menaiki sepeda dan menjauh meninggalkan rumahnya.
Sesampainya di sekolah…
            “Muhammad Setya Alfani,” panggil Pak Yono.
            “Ss-sa-saya, pak!” jawab Komang gemetaran sambil menghampiri meja guru.
            “Akhir-akhir ini, nilai kamu turun terus. Ada apa?” tanya Pak Yono.
            “Kebanyakan ke warnet, pak!” sahut Thomas.
            “Kebanyakan stalking facebooknya Puspita, pak!” imbuh yang lain.
            “Hahahahahahaha…,” semua menertawakannya.
            Komang malu, itu nilai ke-10 nya yang mendapatkan nilai di bawah standar untuk semester ini. Terlebih lagi, ia malu pada Puspita, gadis yang didamba-dambakannya.
            “Kamu ini, nilai udah pas-pasan masih sempat-sempatnya ke warnet. Ya udah, ditingkatkan lagi, ya!” tutur Pak Yono dengan tegas.
            “Iya, pak,” suara Komang melemah saat itu juga.
            Sepulang sekolah, Komang masih termangu di kelas. Ia menatap kertas-kertas ulangannya yang bertinta merah tersebut. Tiba-tiba, seseorang membuka pintu kelas dengan perlahan.
            “Kamu ngapain disini?” tanya Putri, teman sekelasnya yang terkejut melihat Komang.
            “Melamun. Kau sendiri?”
            “Buku matematikaku ketinggalan, untung saja kelas belum dikunci sama Bang Somat,” jawab Putri sambil mengambil bukunya di loker.
            Komang hanya terdiam. Ia tak peduli jawaban Putri, yang ia pedulikan sekarang hanyalah ‘bagaimana masa depannya nanti’.
            “Aku duluan,” ujar Putri. Putri tak mau mengusik lamunan Komang karena mereka juga tak terlalu dekat.
            “PUT!” seru Komang.
            Putri menghentikan langkahnya tepat sebelum ia mendorong pintu kelas.
            “Aku mau tanya sesuatu sama kau,”
            Gadis pemalu itu akhirnya memberanikan diri untuk duduk di sampingnya.
            “Mau tanya apa?”
            “Kau tak pernah menyesal sekolah disini?” tanya Komang.
            “Pernah,” jawabnya dingin.
            “Kenapa?”
            “Bukan perkara aku menyesal masuk sekolah ini, tapi menyesal karena masuk di program IPA,” terang Putri.
             “Hah? Kok bisa? Kau kan pandai,” ujar Komang.
            “Dari kecil, aku nggak suka berhitung, Fan. Lebih tepatnya nggak bisa. Nilai UN matematikaku saja 5, apa nggak salah bapak memasukkanku ke program IPA?” Putri tertunduk.
            Komang terdiam, menunggu kelanjutan cerita gadis pendiam itu.
            “Tapi, aku baru sadar kalau bapak melakukan ini agar aku dimudahkan mencari pekerjaan nantinya. Aku sedikit menyesal pernah berargumen dengannya. Kenapa tiba-tiba tanya kayak gitu? Kamu menyesal masuk sekolah ini?”
            “Sejujurnya iya, tapi demi mamak aku tak berkata apapun soal ini. Aku ingin sekali masuk SMK. Nilai rapot oke dan Alhamdulillahnya lagi aku sudah diterima. Tapi, gara-gara mataku ini minus, jadi tak lolos. Padahal, aku ingin sekali menjadi masinis macam abahku,” kata Komang. Ia menundukkan kepalanya, malu.
            “Terus?”
            “Aku jadi tak punya semangat hidup. Aku mulai malas kalau disuruh belajar, tapi tidak ketika dihadapan mamakku. Aku pura-pura belajar agar mamakku tak menanggung beban berat ketika melihatku,” lanjut Komang.
            “Fani, kamu ini laki-laki! Masa’ gitu aja udah keok, malu sama abah kamu. Abah kamu pasti menunggu kamu jadi penerusnya, walaupun nggak 100% harus kayak beliau…,”
            Komang terdiam, mendengarkan dengan seksama.
            “…kamu ini juga abang dari adikmu, kamu panutannya. Kamu nggak bisa bermalas-malasan, kayak orang mati tahu nggak!”
            JDERRR!!! Ucapan Putri menghantam harga dirinya sebagai manusia, utamanya sebagai laki-laki.
            “Orang mati itu udah nggak punya tujuan hidup. Ya karena mereka memang udah mati. Tapi, mereka mengemis sama Tuhan biar bisa kembali ke dunia dan mencapai tujuan hidupnya,” tutur Putri yang sudah seperti bapak-bapak motivator.
            Komang merenungkan kata-kata Putri.
            “Sori, aku nggak bisa lama-lama disini,” Putri beranjak dari kursinya dan berjalan menuju depan pintu.
            “Besok dan seterusnya, aku nggak mau lihat kamu dapat tinta merah lagi. Nggak malu apa sama Puspita? Daaah~,”
            BLAM!
~
5 Tahun Kemudian…
            “Duh, anak kebanggaan mamak sudah pulang,” mamak menyambut Komang yang sudah 2 tahun tak pulang.
            Komang memeluk mamaknya. Erat.
            “Mak, maafin Komang ya. Komang baru bisa jenguk mamak sekarang,” ujar Komang.
            “Tak apalah, Mang. Kau sudah pulang dengan  keadaan membanggakan,” mamak juga balas memeluknya.
            “Maaf juga kalau Komang pernah menyesali keputusan Komang masuk SMA, padahal ridho mamak ada disana. Terima kasih ya mak, sudah mau mendoakan dan berjuang buat Komang,” lanjutnya. Tak terasa, air mata membasahi pipinya.
            “Sudahlah Mang, berterima kasihlah juga dengan orang-orang yang mau mendukung kau. Bukan mamak saja, hehe… Abah kau pasti bangga, nak,” ujar mamak.
            Komang mengangguk.
            “Sudah, sekarang makan dulu. Kau pasti capek habis perjalanan jauh,” kata mamak menghentikan drama telenovela itu.
            “Iya mak, Komang juga sudah lapar. Kangen masakan mamak,”
            Siang itu, mereka memilih untuk berkumpul di ruang tengah untuk bernostalgia kenangan lama. Membicarakan segala sesuatu yang pernah jadi rahasia diantara mereka. Komang tersenyum ketika melihat senyum terlukis di wajah mamaknya. Ia menyadari bahwa tak ada yang lebih berharga selain menghabiskan waktu dengan orang tua sebelum menyesal ketika mereka tiada.
0 Comments for "Sang Komang - Putri Vita Nadia - L0mba Menulis Cerpen"

Back To Top