Realita
Cinta Senja
Laili Aidina
Aku
dibelai harapan. Halus, lembut. Aku terbuai, terkatup mataku. Kutarik napas
panjang, lalu kuhembuskan. Pipi-pipiku menarik diri. Semakin jauh, semakin
jauh, hingga mengembang senyumku.
Lalu
aku ditampar kenyataan. “PLAK!”, keras sekali. Hingga merah pipiku, pudar
senyumku. Mataku sembab, dadaku sesak, seperti ada yang membakar cerutu tepat
di hadapanku.
Aku
menemukan sepasang mata mengarah kesini. Mata kecil sendu yang mampu merenggut
kewarasanku, melayangkanku menuju dunia yang tidak kukenali. Beralih ke bibirmu
yang tersenyum, aku terbang, mengambang mengudara dengan hati yang
luluh-lantah.
Aku
semakin meninggi, hingga menembus awan-awan. Kutemukan pelangi dan bidadari-
bidadari. Ada tujuh bidadari nan anggun menghampiriku. Bidadari nomor satu,
yang paling tua diantara mereka, menanyakan namaku. “Senja”, kubilang. Mereka
saling menatap, lalu tertawa.
“Kenapa
kalian tertawa?”, kutanya.
Salah
seorang bidadari angkat bicara, mungkin yang termuda diantara mereka. “Jangan
tersinggung, kak”, bujuknya. Aku tidak
tersinggung, aku hanya heran. “Kami tertawa karena nama kakak sama dengan
nama seorang teman kami”
“Oya?”
“Namanya
juga Senja. Dia seorang yang humoris, bahkan konyol. Dia selalu datang kesini
mengunjungi kami kala hampir gelap. Dia suka sekali bercerita. Dia sering berkisah
kepada kami. Salah satunya adalah tentang perdebatan Matahari dan Bulan setiap
hampir malam”, aku menyimak
“Dia
berasal dari tempat yang jauuuuh sekali. Dia tinggal bersama dengan Bulan dan
Matahari. Katanya, Bulan dan Matahari sering bersiteru. Katanya, setiap pagi
Matahari selalu bangun lebih dulu lalu berangkat berjalan mengelilingi bumi.
Beberapa waktu setelah ia berangkat, Bulan bangun dan mengeluh. Senja bilang,
muka Bulan ditekuknya, jelek seperti nenek-nenek peyot. Bulan marah karena
ditinggalkan oleh Matahari padahal Bulan juga ingin mengelilingi bumi. Bulan
duduk marah menunggu Matahari pulang hingga tertidur.
Saat
Matahari sudah pulang, dan sudah dekat jaraknya dengan tempat Bulan duduk
tertidur, Matahari selalu berteriak “Aku pulang!” dengan suara yang nyaring
sehingga Bulan terbangun dan marah-marah. Matahari belum sampai disana, namun
Bulan sudah mengajak Matahari beradu argument sehingga mereka saling berteriak
satu sama lain.
Mereka
sama-sama mengaku paling benar. Panas telinga Senja mendengarnya. Karenanya,
setiap sore Senja kesini untuk mengunjungi kami, mencari teman untuk bercerita.
Karena Senja itu tampan, kalau kemari, Senja selalu memamerkan pesonanya kepada
kami. Senja baru pulang kalau Bulan sudah mulai beranjak berjalan mengelilingi
bumi. Artinya, pertengkaran antara Matahari dan Bulan sudah selesai. Untuk
sementara. Bulan akhirnya akan mengelilingi bumi seorang diri.
Kata
Senja, sebenarnya Bulan senang-senang saja mengelilingi bumi seorang diri.
Karenanya, Bulan bisa berkenalan dan mengobrol dengan Bintang-Bintang setiap
malamnya”, dia menutup ceritanya dengan senyum yang menggemaskan.
“Apa
kau juga punya cerita, seperti Senja, kawan kami?”, tanya salah satu bidadari
dengan mata yang berbinar. “Berceritalah! Apa kau juga pandai bercerita?”
“Ya!
Ya!”, seru para bidadari seru sekali.
“Oke”,
kataku. “Aku punya satu cerita”, mereka serentak diam, mata mereka terang,
berbinar penuh harap. “Tapi cerita ini tidak lucu, tidak penuh humor. Kalian
tidak akan tertawa karenanya”
“Tak
apa”, ujar bidadari tertua. “Berceritalah, kami akan senantiasa mendengar”
“Baiklah…”,
aku mendesah pelan, lalu melanjutkan “Cerita ini mengenai aku dan seorang
sahabatku, Dimas namanya. Dia tampan, bertubuh tinggi, agak kurus, berkulit
cokelat susu sepertiku, dan matanya… Matanya sendu. Matanya selalu mampu
menarikmu masuk dan menelusurinya lebih dalam hingga tersesat disana
Tidak
hanya tampan, Dimas pula berbudi baik. Dia selalu ramah kepada semua orang.
Jika ia tersenyum, aku bahagia. Jika dia bahagia, aku tersenyum”, aku
tersenyum, menunduk, menatap bumi. “Ia yang membawaku hingga ke atas sini.
Dengan senyumannya, aku bisa terbang, aku bisa menari-nari di balik tumpukan
awan, dan bisa bertemu kalian”, aku menatap mereka satu-satu. Kini merekalah
yang tersenyum.
“Dia
adalah sahabatku satu-satunya. Kami bersahabat sejak berada di Sekolah Menengah
Pertama. Oh, iya, Dimas pula adalah murid yang pandai. Ia yang sedari dulu
membimbingku belajar sehingga aku bisa meraih nilai yang bagus-bagus. Ia sudah
seperti seorang guru bagiku. Tapi…”, aku bungkam, menunduk. Wajahku memurung,
mataku semakin sembab. Lalu sebulir hangat menetes dari kelopak mataku.
Bidadari bingung menatapku.
“Kau
baik saja, Senja?”, terdengar seorang dari mereka menanyakan keadaanku. Entah
siapa.
Aku
menarik napas panjang, menghembuskannya, lalu kembali bercerita. “Tapi aku
mencintainya…”, aku mengangkat wajah yang telah basah oleh air mata.
“Lalu
kenapa kakak bersedih?”, tanya bidadari paling muda “Bukannya cinta itu indah?”
“Ya,
mencintainya memang adalah hal terindah yang pernah kurasakan. Tapi, disaat
yang bersamaan, hal yang kusebut cinta ini… Membunuh persahabatan kami. Dia tau
aku mencintainya, lalu dia berubah. Dia menjadi orang yang bukan dia
terhadapku. Dia mulai menjauhiku. Hingga hari ini, sejak dua tahun lebih yang
lalu aku mengungkap perasaanku kepadanya melalui sepucuk surat, aku tidak
pernah tau kenapa dia menjauhiku.
Kalau
saja ia beriku kesempatan untuk menyahabatkan persahabatan kami, kalau saja ia
tidak mengibarkan pengabaiannya pada puncak yang tertinggi… Aku bersumpah tidak
pernah meminta perasaan ini. Melalui surat itu, aku bahkan berjanji kepadanya
untuk menikam perasaan ini dengan sebilah kesakitan tepat di jantung. Aku
berjanji untuk membunuh perasaan ini hingga mati. Dia hanya perlu meminta”, aku
kembali menunduk,
“Dadaku
sesak mengingatnya. Pengabaiannya membunuhku setiap hari. Aku tidak pernah
mampu mengerti kenapa sesuatu yang mampu mengukir senyum di wajahku, di waktu
yang bersamaan pula mampu memeras tangis dari mataku Aku selalu berusaha
meraihnya kembali, namun tanganku tidak pernah ia genggam. Aku selalu berusaha
melempar sapa di telinganya, namun sepertinya dia sudah tuli akan suaraku. Aku
diabaikannya, pengabaian yang menyakitkan”
“Kenapa
kau tidak berhenti saja?”, tanya seorang bidadari terhadapku dengan nada
prihatin.
Aku
menghapus air mata, mengangkat wajah, lalu menatap mereka. “Kalian harus tau…”,
kataku “Dalam hidup seorang anak manusia, hanya sekali saja diizinkan kepadanya
untuk merasakan cinta. Tidak semudah mengucap, maka akan berhenti mencinta”,
aku tersenyum “Aku sudah mencoba. Aku membalas abainya pula dengan abai, aku menjauhkan
diri dari keberadaanya… Namun yang kudapati justru adalah perasaan baru; Rindu”
“Lalu
apa yang kakak lakukan?”
“Menunggu.
Waktu adalah yang paling bijak dalam menjawab soal. Tapi kalian tidak perlu
khawatir. Sebab sepertinya waktu sudah menjawab penantianku hari ini. Aku
berada disini karena senyumannya. Ya, dia akhirnya tersenyum kepadaku”, aku mencoba
mengibar senyum.
“Kalau
begitu, turunlah!”, ujar bidadari nomor satu “Temui dia”
Aku
mengangguk. Aku harus menemuinya.
Senyuman
yang sama masih disana. Bagaimana mungkin
aku berhenti mencintainya? Aku selalu percaya dia pula mencintaiku. Aku
selalu meyakinkan diri bahwa abainya hanyalah wujud kekakuannya menghadapi
seorang wanita, seperti yang sering diceritakannya dahulu. Tapi entahlah, sudah
dua tahun lebih lamanya aku dan dia tidak saling bertukar suara. Mungkin aku
sudah tidak mengenalnya lagi. Entahlah…
Aku
selalu menemukan cela untuk memandanginya. Walau dari jarak jauh, walau dari
balik tembok-tembok, walau dari sela-sela kerumunan manusia, seolah tidak ada
yang membatasiku untuk jatuh mencinta kepadanya setiap waktu. Aku mencintainya
tanpa batas-batas. Dan hari ini, di ruang ini, dengan kami hanya berjarak 3-4
meter saja, dan dengan pandangannya yang mengarah kesini, Apa dia juga
mencintaiku?
Aku
menatapi tatapannya, lalu menunduk salah tingkah. Ada bisik dan tawa-tawa kecil
terdengar menggelitik telingaku, aku tidak peduli, aku kembali menatapinya.
Harapan membelaiku. Halus, lembut. Mataku kukatupkan, kutarik napas yang
panjang, lalu kuhembuskan. Aku mencoba tersenyum, sekadar memberi kode bahwa
aku senang melihat senyumnya hari ini, namun kemudian bisik dan tawa-tawa kecil
itu mulai terdengar lagi dan mulai menggangguku.
Aku
menoleh mencari sumber suara. Di kanan, hanya ada manusia-manusia yang tampak
serius mendengarkan penjelasan pembicara di depan yang entah apa. Di kiri,
hanya ada dua manusia duduk bersila terkantuk-kantuk. Tidak mungkin mereka,
pikirku.
Lalu
kembali aku menatapnya, menatapi tatapannya. Yang ternyata, bukan untukku. Lalu siapa yang dia tatap? Aku menoleh
ke belakang dan menemukan sekelompok perempuan disana. Ada seorang diva
angkatan yang sedang tersipu malu di tengah-tengah mereka. Aku mengalihkan
pandangan dari sang diva menujunya, dan semua menjadi jelas. Dia menatap sang
diva, bukan aku. Jelas, sang diva angkatan adalah seorang nan anggun, seorang
ratu yang sepuluh kali lipat lebih cantik jika dibandingkan dengan hamba sahaya
buruk rupa sepertiku.
“PLAK!”,
aku ditampar kenyataan. Keras sekali. Apa ini?, batinku. Bukan aku?
Mataku
mulai sembab, dadaku mulai sesak. Sakit sekali rasanya. Seperti pertama kali
mencoba bersepeda, lalu terjatuh tepat di jalanan berbatu. Sakit.
Berdarah-darah.
Aku
kecewa. Aku dikecewakan harapan.
Aku
menoleh lagi menatap sang diva yang masih tersipu malu dan teman-temannya yang
tertawa-tawa kecil, pula ada beberapa yang saling berbisik. Samar-samar
kudengar namanya disebut mereka, lalu sang diva tersipu malu dan salah tingkah.
“PLAK!”,
tamparan kedua mendarat. Aku beranjak, keluar ruangan, menuju kamar kecil
terdekat, lalu menangis sejadi-jadinya.
Apakah aku harus bangkit, dan berusaha
mengayuh sepedaku lagi?
Aku
mengusap pipi, “Tidak! Aku jalan kaki saja”
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
1 Comments for "Realita Cinta Senja - Laili Aidina - Lomba Menulis Cerpen"
ceritanya menyentuh banget,bener bener kaya realita kehidupan remaja, bagusss