-->

KINAN - Olga Taufebri Antoni - Lomba Menulis Cerpen

KINAN
       Olga Taufebri Antoni

“Selamat ulang tahun,bu. Kuhadiahkan sebuah lilin. Semoga nyalanya abadi.”
****
Kinan terbaring tak berdaya. Darah di kepalanya terus mengalir membasahi panasnya jalanan beraspal di siang hari yang terik itu. Ia hanya bisa pasrah melihat sedan merah yang baru saja menabraknya terus melaju tanpa henti. Pengemudi mobil sedan itu tak memperdulikan Kinan yang sekarat. Mungkin karena Kinan adalah manusia. Andai Kinan seekor kucing mungkin pengendara itu akan berhenti untuk memastikan keadaan kucing yang ditabraknya. Karena pada realitanya, manusia hanya diajarkan mitos agar bertanggung jawab jika menabrak kucing hingga tewas. Agar tidak kualat, katanya. Dan kata kualat tidak pernah digunakan jika seseorang menabrak seorang manusia lainnya.
“ Lihat ! ada orang ketabrak “
“ Yang nabraknya melarikan diri. “
“ Yaampun, kasihan sekali pemuda ini. “
“ Sebaiknya kita tunggu polisi datang dulu. “
“ Panggil ambulance. Cepat ! “
Kinan mendengar suara orang-orang mulai mengerumuninya. Tapi tidak satupun dari mereka yang menolong Kinan yang semakin banyak kehilangan darah. Mereka mendatangi Kinan hanya karena penasaran. Mereka enggan menolong karena takut dianggap sebagai saksi dan berurusan dengan pihak kepolisian. Mereka tak ingin repot meski ada nyawa seorang pemuda yang sedang dipertaruhkan. Tak ada yang benar-benar peduli pada Kinan.
“ Selamat ulang tahun, ibu.”, gumam Kinan dalam kesadarannya yang mulai menipis. Hari itu adalah hari ulang tahun ibu Kinan yang ke-58.
Banyak yang mengatakan apabila seseorang sedang sekarat dan akan meninggal dunia, maka pikiran orang tersebut akan otomatis mengingat kejadian-kejadian yang pernah terjadi semasa hidupnya. Namun sungguh malang nasib Kinan, yang dia ingat sebelum kematiannya bukanlah potongan-potongan kebahagiaan yang pernah dilalui Kinan, melainkan peristiwa memilukan di ulang tahun ibunya yang ke-44.
***
14 tahun yang lalu,
Ini adalah hari dimana ibu Kinan merayakan ulang tahunnya yang ke-44. Namun beliau telah beberapa hari terbaring lemah karena sakit.
Dengan uang hasil tabungannya sejak beberapa bulan terkahir, Kinan kecil yang saat itu masih berusia 10 tahun pergi ke pasar sendirian tanpa sepengetahuan ibunya. Ia bermaksud untuk memberikan kejutan kecil dihari ulang tahun ibunya itu dan berharap dengan begitu ibu Kinan bisa cepat sembuh.
 Di pasar, Kinan akan membeli sebuah kue sederhana dan sepotong lilin kecil sebagai pelengkapnya.
 Berkunjung ke pasar tentu bukanlah hal yang baru bagi Kinan. Ia sering menemani ibunya membeli perlengkapan harian di pasar tersebut. Ia bahkan kenal dengan pedagang tempe langganan ibunya, dan penjual mainan langganan Kinan yang selalu ia kunjungi setelah merengek-rengek ke ibunya. Sang ibu tentu sudah hafal dengan tabiat Kinan yang selalu meminta mainan baru saat mereka akan pulang. Tapi titik lemahnya sebagai seorang ibu selalu membuatnya kalah dan menuruti kemauan anak satu-satunya itu.
Selain harus berjalan kaki selama kurang lebih 30 menit, cuaca yang saat itu juga sedang mendung tak menghalangi niat Kinan untuk pergi ke pasar seorang diri. Ia enggan untuk naik angkot. “ Daripada naik angkot, mending uangnya kupakai untuk membeli kue yang lebih besar.”, pikirnya.
            “ Pak, saya ingin membeli kue ulang tahun untuk ibu saya.”, ujar Kinan ketika sampai di sebuah kios penjual kue.
“ Berapa uang yang kau miliki, nak?”
“ 27 ribu pak. Saya ingin kue dan sepotong lilin ulang tahun.”
Kinan berjalan pulang dari pasar dengan membawa sekotak kue ukuran menengah, lengkap dengan sebungkus plastik kecil yang berisi 3 potong lilin. Sekarang ia harus buru-buru pulang agar ibu tidak khawatir, sebab ia pergi tanpa pamit terlebih dahulu. Kinan takut ibu akan mengetahui rencananya jika ia mengatakan akan pergi kepasar. “Ibu pasti tidak akan mengizinkanku untuk pergi ke pasar sendirian.”.
Setelah beberapa menit beranjak keluar dari pasar, ternyata mendung yang telah mengintai Kinan sejak awal berubah menjadi hujan. Tanpa basa-basi hujan tersebut langsung turun dengan sangat deras. Hujan yang memaksa setiap orang yang sedang beraktifitas di bawahnya untuk berhenti sejenak dan berteduh. Termasuk Kinan. Ia tak ingin kue yang baru ia beli menjadi rusak, atau lilin ulang tahun yang ia bawa menjadi basah dan tak bisa lagi digunakan nanti. Rumah masih jauh. Kinan pun memutuskan untuk berteduh di depan sebuah kedai tua yang sudah lama tidak digunakan, bersama beberapa orang pengamen, pengendara sepeda motor yang berhenti dan beberapa wanita yang terlihat seperti SPG rokok yang baru pulang dari kantor.
Kini Kinan mulai cemas memikirkan bagaimana caranya agar bisa sampai ke rumah, meski tak ia tampakkan kecemasan itu di wajah kecilnya yang masih lugu. Hujan yang tak ramah itupun sepertinya tak akan berlangsung singkat.
Satu-satunya cara Kinan untuk pulang adalah dengan naik angkot. Dirogohnya saku celana kumalnya itu, hanya ada uang 2 ribu rupiah. Itupun hasil dari pemberian bapak penjual kue di pasar tadi, karena bapak itu tak tega kalau harus merampas seluruh uang yang dimiliki oleh Kinan.
“ Karena hari ini ibumu berulang tahun, kamu dapat potongan harga. Bawalah uang 2 ribu ini. Siapa tau berguna dalam perjalananmu pulang nanti.”
Kinan tak mengerti kenapa hanya bisa dapat potongan harga sebesar 2 ribu rupiah untuk ulang tahun seseorang yang begitu penting seperti ibunya. Seharusnya ia bisa mendapat potongan harga yang lebih besar. Setidaknya cukup untuk ongkos naik angkot dan pulang ke pelukkan sang ibu.
 Namun penantian Kinan akan hujan kali ini terasa amat panjang. Entah karena matahari tertutup oleh awan hitam atau memang sudah hampir malam, tapi yang jelas hari sudah mulai gelap, hujan tidak sedikitpun menunjukkan tanda-tanda akan menghentikan derasnya. Kinan mulai menggigil. Kasihan Kinan, tubuh kecilnya harus menahan dinginnya hujan yang dicampur dengan dinginnya rasa cemas secara bersamaan. Ia tak tahu apa yang akan dia lakukan jika hujan tak kunjung reda juga hingga malam atau bahkan hingga esok pagi. Nasi telur yang ia makan sebelum berangkat ke pasar pun sudah mulai kehilangan kekuatannya.
“Jika kau sedang memiliki masalah dan membutuhkan kehadiran ibu, percayalah bahwa ibu akan segera tau dan ibu akan menuju ke tempat kau berada, dimanapun itu. Ingatlah ini, Kinan. Sebab dalam darahmu mengalir darah ibu.”
Kinan tiba-tiba teringat dengan perkataan yang diucapkan ibu di hari ulang tahun Kinan beberapa bulan yang lalu.  Pada ulang tahun Kinan yang ke-10 itu, ibu menghadiahkan pada Kinan salah satu malaikat yang ibu miliki.
” Selamat ulang tahun Kinan. Ibu tak akan memberimu kado apapun hari ini. Ibu hanya akan memberimu seorang malaikat yang Tuhan berikan pada ibu saat ibu melahirkanmu. Sekarang kamu berhak memiliki malaikat itu.”
Kinan tidak mengerti malaikat seperti apa yang dimaksud oleh ibunya. Tapi yang jelas, kini Kinan berharap bahwa malaikat yang diberikan ibu itu benar-benar ada dan berharap bantuan dari malaikat itu, untuk memanggil ibunya dan menjemput Kinan ke warung tua tempatnya berteduh,  atau malaikat itu bisa pulang sebentar untuk meminta uang pada ibu agar bisa digunakan oleh Kinan sebagai ongkos untuk naik angkot.
Ternyata malaikat itu langsung menjawab harapan Kinan.  Karena tak lama kemudian seorang wanita yang membawa payung terlihat turun dari angkot yang berhenti di seberang jalan. “ibu!”, gumam Kinan.
Wanita tersebut adalah ibu Kinan. Ternyata malaikat itu memilih untuk memanggil ibu untuk datang, atau mungkinkah ibu Kinan adalah malaikat yang ia maksud sendiri ? entahlah , yang jelas sekarang wanita itu telah datang untuk menjemput Kinan.  “ Didalam  darahku ada darah ibu. Ibu tetap datang membantuku meskipun ia sedang sakit “ gumam Kinan lagi. Kali ini Kinan tak kuasa menahan senyum.
Kinan merasa sangat senang melihat ibunya yang bersiap menyeberang untuk menghampiri Kinan. Namun perasaan senang sekaligus reda yang dirasakan Kinan membuatnya tidak sabar kalau hanya diam menunggu. Ia pun berlari mengejar ibunya itu tanpa memperhatikan keadaan sekitar.
“ Kinan, awas ! “
Teriakan ibu Kinan seakaan mengalahkan derasnya suara hujan, saat tiba-tiba sebuah sepeda motor yang entah datang dari mana melesat kencang menuju ke arah Kinan yang telah berada ditengah jalan. Peristiwa yang tak diinginkan itupun terjadi. Para pejalan kaki yang berteduh melihat kearah mereka. Hujan tetap turun seperti tak pernah terjadi apa-apa.
Berita bagusnya, Kinan tak mengalami luka yang serius. Meskipun ia tetap harus pergi ke rumah sakit. Berita buruknya, kue yang dibeli oleh Kinan telah rusak karena terjatuh saat peristiwa tadi. Hanya tersisa 3 batang lilin ulang tahun  yang ada di tangannya. Akhirnya ia merayakan ulang tahun ibunya dengan membakar lilin yang ia pegang dan meniup lilin itu sendiri. Ibu sudah tidur, mungkin karena kelelahan. Kinan duduk sendirian di koridor rumah sakit malam itu.
***
 Kembali ke hari ulang tahun ibu yang ke-58, hari dimana Kinan ditemukan tergeletak tak berdaya di tengah jalan yang sama seperti 14 tahun yang lalu. Bedanya, hari ini tak ada hujan, hanya ada siang yang terik. Juga tak ada ibu.
Mobil ambulance akhirnya datang untuk mengangkut Kinan ke rumah sakit. Sebagian dari orang-orang yang awalnya cuma menyaksikan Kinan kesakitan mulai bergerak membantu Kinan. Mereka bekerjasama untuk memindahkan Kinan masuk ke dalam mobil ambulance yang berisik dengan sirenenya yang memekakkan telinga.
“ Tetaplah sadar, nak. Kita akan segera sampai di rumah sakit.”, kata salah seorang petugas yang ada di dalam ambulance.
Dengan tenaga seadanya, Kinan mengatakan sesuatu pada petugas tersebut. Namun suara yang keluar dari mulut Kinan hanyalah suara bisik lirih yang pelan. Sang petugas berusaha mendekat agar bisa mendengar apa yang Kinan ucapkan.
“ Aku tak ingin ke rumah sakit. Aku ingin ke makam ibu. Aku ingin merayakan ulang tahunnya disana.”
Sesaat kemudian, Kinan kehilangan kesadarannya, ia menjatuhkan sepotong lilin ulang tahun yang telah ia genggam sejak awal.

Mobilpun melaju ke tempat pemakaman.(*)
0 Comments for "KINAN - Olga Taufebri Antoni - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top