SEMANGAT SECERAH MENTARI
Oleh: Rihhadatul Aisy Putri
Ibu, sering
menceritakan diwaktu lenggangnya bahwa aku terlahir dipagi yang cerah, saat
mentari hendak merekahkan sinar lembutnya yang bagaikan seringaian cerah-ceria.
Begitu juga dengan pertemuan pertamaku dengan Ayah, pria paling humor yang
sangat kukenal. Saat aku lahir dengan oekan pertamaku, pria itu tidak menyambut
tangisan itu. Selang beberapa hari setelahnya, beliau pulang dari luar daerah.
Dari ceritanya, aku dituturkan bahwa beliau kusambut pertama kali dengan
senyuman. Menurutku, itu adalah pujian termanis dari sosok pria tersayangku.
Teman-teman juga
berkata bahwa aku adalah sosok ceria, bahkan orang yang sama sekali tak
kukenali dalam beberapa saat bisa seakrab teman atau sahabatku sendiri. Bahkan,
ada yang menjuluki aku sebagai tukang senyum, dan membawa pengaruh positif.
Secara alami aku terbentuk untuk menyenangkan orang lain, juga berusaha untuk
menjadi pendengar yang baik. Disamping itu, aku juga punya impian yang kuharap
dapat terwujud. Dari sifat dan sikapku, aku ingin menjadi seorang Psikiatri,
tapi aku juga tertarik untuk menjadi Psikolog, karena itu aku berusaha menjadi
pendengar yang baik.
Sebentar. Mungkin
anda berpikir bahwa aku adalah sosok yang seutuhnya bahagia, percayalah, aku
pernah berada dalam posisi yang amat-sangat menyedihkan. Hidupku juga memiliki
lika-liku tersendiri, cerita yang serupa benang kusut, ingatanku pun tak
sesempurna dulu, bahkan kini aku masih takut mengingat masa laluku. Hei! Aku
pernah dalam awan kelabu yang berkepanjangan, dan itulah badai yang mengguncang
hidupku. Tapi, cerita itu membuatku berada dalam posisi kuat, berusaha bertahan
dan terus mencoba menjadi karang yang diterjang ombak dahsyat. (Jadilah bola
bekel yang ketika dijatuhkan akan bangkit lebih tinggi lagi.)
Aku¾si bungsu dari dua bersaudara. Saudara laki-lakiku, Hafizh kini
menjadi Mahasiswa Fakultas Hukum disalah satu Universitas Negeri dikota kami.
Ia berhati sekuat baja, kehidupannya bahkan lebih keras dariku. Tapi, begitulah
hasil dari didikan orangtua kami. Ayah adalah orang hukum, pria rasional
berhati lembut yang humoris, ia mendidik anaknya untuk menjadi disiplin yang
baik, bertanggung jawab atas kegagalannya.
Sedangkan Ibu,
wanita mandiri yang mirip hatinya dengan saudaraku. Walaupun ia tidak bekerja
diluar, tetapi ia berperan penting dalam mendidik kedua buah hatinya. Ia adalah
panutan untuk kami, seorang wanita yang
berpikiran matang. Tapi aku sangat suka ketika air matanya terjatuh, saat sedih
itu ia adalah orang yang terdramatis yang kukenal. Bahkan saat umurku menginjak
remaja, hakku seolah-olah diambil alih olehnya, ia sama sekali tak ingin aku
bebas seperti anak seumuranku. Karena ia tahu, bahwa aku anak rumahan, jadi
tidak apa aku berdebat dengannya kalau-kalau aku keberatan diomeli ketika telat
pulang sekolah. Benar, ia adalah wanita cerdas yang memimpin hatiku.
Jika dibandingkan, sifatku sama sekali tidak
seperti mereka. Aku hanyalah perempuan manja yang selalu meminta tolong, anak
yang egois dengan pendapatnya, dan selalu bertengkar. Tapi kedua orangtuaku
sedari dini mendidik bahwa mereka bukanlah tipe yang membesarkan anak-anak
manja. Aku sadar bahwa mereka selalu mendorong kami mencapai prestasi terbaik,
karena itulah yang bisa kami lakukan untuk membalas jasa-jasanya. Dan itu, kami
sedang berusaha melakukannya.
Ditahun 2015, aku
merasakan kedua pengalaman yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Saat
bertemu dengan teman sebenarnya yang dapat menerimaku yang terlalu pendiam,
saat itu juga yang kurasakan sebagai pencapaian yang amat menyenangkan. Dan
diakhir tahun, kejadian itu adalah pelajaran. Aku jatuh sakit disaat
teman-temanku sibuk mengerjakan tugas, menyelesaikan presentasi mereka,
mengikuti ulangan harian, tepat disaat kelas kami dalam semester satunya.
Dikalender penuh kutandai dengan absen sekolah untuk ke Rumah Sakit, Klinik,
maupun pengobatan tradisional. Hasilnya, hanya dua bulan penuh aku hadir
dikelas itu. Dan penyakitku, masih samar.
Ditengah
pertempuranku melawan rasa sakit itu, aku benci melihat semua orang yang
tertawa, berbicara panjang lebar, atau bahkan berlarian untuk bermain
sepuasnya. Rasanya aku ingin mengutuk mereka, seolah-olah langit dan bumiku
direnggut. Aku menangis sepanjang malam, bahkan aku sangat ingin menangis saat
hujan agar tak ada yang tahu isakkanku itu. Saat itu juga, bukan tentang Ayah
atau Ibuku yang tengah bahagia, tapi mereka tenggelam dalam kesedihan juga,
mereka bingung akan menjejakkan kaki kemana lagi untuk mengobatiku.
Sepanjang detik
aku menantikan waktu makan, lalu meminum obat berwarna-warni yang sangat pahit,
setelah itu tidur. Hanya itu. Diakhir tahun yang biasanya aku merasakan
kebahagiaan, saat itu berbeda, aku mendapat tamparan kejiwaan. Aku frustasi,
akal sehatku seolah lenyap, mimpi seolah menjadi nyata, semuanya dalam kalut
balutku. Aku benar-benar dalam kondisi putus asa, saat itu aku pernah berpikir
untuk menghentikan waktu milikku, disuatu malam tanpa sepengetahuan orangtua
atau siapapun, aku meneguk obat dalam dosis lebih. Itu sama sekali tak berhasil.
Tuhan, lagi-lagi menyelamatkan nyawaku.
Dan pada waktu
yang sama, semua harapan dan semangatku hilang. Sahabat-sahabatku menjauh,
mungkin mereka mengira bahwa aku dalam kondisi jiwa yang parah. Tetapi
sebenarnya, dibulan Desember aku mencoba masuk beberapa hari, kondisiku masih
wajar dibandingkan saat dirumah. Aku menyapa siapapun yang kukenal, seperti
biasa, aku tetap ceria. Tapi disatu sisi, hatiku risih. Rasanya tanganku ingin
menghantan tembok-tembok penghalang itu.
“Apakah setelah membaca ini anda merasakan sesuatu yang adil pada
setiap manusia? Bukankah, kehidupanku sama-sama berliku seperti kehidupan anda?
Adil, bukan.”
Tahun berganti,
aku berusaha bangkit dari segala awan kelabu. Walaupun masih sering pingsan,
tapi kondisiku mulai bulan januari sudah berbeda. Seolah ada yang baru dalam
hidupku, sebuah keyakinan yang tumbuh perlahan-lahan. Aku percaya bahwa Tuhan
Maha Adil, dan semuanya kuserahkan. Pelajaran dari kisah kelam itu menjadikanku
jauh lebih kuat dan jauh lebih hebat dari sebelumnya. Ini bukan omong kosong!
Aku menghapus
semua gelap itu, disatu sisi aku sibuk
menghadirkan cahaya yang bisa bersinar terang yang dapat menyinari
semuanya. Seperti mentari yang benderang aku harus menjadi terik yang
menghalangi keterpurukan. Aku terus mencoba bangkit tanpa rasa takut
sedikitpun. Dan saat itulah titik yang amat kuat kuraih.
Tidak segalanya
dapat membuatku takut. Aku yakin pada diriku semua akan baik-baik saja, selama
hati ini masih menyisihkan waktu luang untuk mengingat Tuhan. Tanpa-Nya, aku
tidak akan meraih kesuksesan yang begitu menabjubkan. Dengan tulisan dari
tangan kecilku, aku menuliskan berbait-bait cerita yang berliku. Tuhan selalu
ada, dan akan selalu setia mendengarkan.
“You. keep
fighting! The words leave scars, but the words helps you to change. Stay
strong! The world is changing, the world is a hard place, but you can do
everything.”
TAMAT
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "SEMANGAT SECERAH MENTARI - Rihhadatul Aisy Putri - Lomba Menulis Cerpen"