Ibu, Aku Pulang
Ayah Ke mana?
Setiap tetes hujan terasa sangat menyedihkan. Hujan
malam ini membawa kerinduan dari sana. Ke mana, dan harus bagaimana? Aku takut
sendiri, aku tak ingin sendiri. Aku tak ingin dilupakan. Aku juga tak ingin
melupakan. Lantas siapakah yang salah? Mengapa ikatan darah tak mampu untuk
menyatukan kerinduan selama 11 tahun terakhir. Jangankan untuk menyebut namanya,
bertemu saja seperti tidak ada kesempatan.
***
Aishhh… aku melamun lagi malam ini. Senja telah
berlalu sejak lalu, ku kubur kenangan esok tadi. Surat yang ku kirim, tak
kunjung mendapat balasan. Sudah tiga
kali aku mengirim surat. Entah aku yang salah memasukkan alamat, atau memang surat
yang kukirim tidak ada artinya untuk seseorang itu.
“ Ray, sudah makan? ” Tiba – tiba teman satu kamar
ku membuyarkan lamunanku.
“ Sudah Nay. Kamu?”
“ Ini baru mau beli makan. Mau nitip sesuatu?”
“ Nitip teh hangat aja Nay.”
“Oke.”
Tanpa menutup pintu, Naya langsung meluncur ke luar
membeli makan malam.
Biasanya ia membeli makan di warung yang tak jauh
dari indekos. Selang bebarapa menit, dengan membawa satu plastik penuh makanan
dan 2 bungkus teh hangat Naya sudah kembali.
“ Cepet banget Nay?”
“ Iya Ray, warungnya tidak terlalu ramai, jadi tidak
usah antri lama”
“ Sudah aku siapkan piring dan sendok, kamu bisa
langsung makan”
“ Oke Ray.”
Malam ini terasa dingin, dingin sekali. Naya menikmati
makan malamnya dengan lahap, sedangkan aku menikmati kehangatan teh yang tiba –
tiba menjalar ke seluruh tubuhku.
“ Suratnya sudah dibalas Ray?”
Pertanyaan Naya membuatku kaget, hingga teh yang ku
pegang terasa ikut dingin. Butuh waktu
aku untuk menjawab pertanyaan sederhana tersebut.
“ Belum Nay,”
“ Sabar ya Ray.”
“ Aku telah bersabar untuk waktu yang lama Nay,
hingga aku berada pada masa di mana aku tak tahu harus berbuat apa?”
“ Kesabaran itu tidak ada ujungnya Ray, percayalah
kekuatan sabar akan membawamu pada senyum manis suatu saat nanti.”
“ Semoga Nay.”
***
Naya tahu
semuanya tentang diriku, tentang mimpiku serta tentang kisah keluargaku. Aku
yang menceritakan semuanya, tanpa ragu. Malam ini, Naya kembali bertanya
tentang surat yang ku kirim. Surat untuk seseorang yang seharusnya kusebut
sebagai ayahku. Surat untuk seseorang yang kurindui namun sayangnya kerinduan
ini tak bisa untuk diungkapkan bahkan kepada seseorang yang kusebut Ayah. Sejak
kejadian itu, perpisahan orang tuaku. Ikatan
kami sebagai anak dan Ayah telah memiliki sekat, ada batasan yang perlu
diperhatikan. Aku juga tak tahu mengapa justru aku yang menjadi korban dari
kekacauan ini. Takdir tak akan salah menemui pemilik, bagiku seperti itu. Sepahit apapun, bukankah itu semua takdir yang
harus dijalani?
***
Aku mahasiswa S-1 di Universitas yang bisa dikatakan
terkenal versi tetanggaku. Tak hayal setiap kali pulang banyak orang – orang
yang menanyakan perihal kehidupan kuliahku. Berbagai macam pertanyaan harus aku
jawab, salah satunya yang membuat ku jengkel “ kok masih di rumah? Apa udah tidak kuliah tho?” “Dasar orang Kampung tidak tahu tentang dunia
Kampus asal ngomong aja,”, batin ku.
Seperti
Mahasiswa pada umumnya, kini aku sedang menikmati masa – masa penatnya menjadi mahasiswa, tugas yang
menumpuk disertai kegiatan kampus yang tidak ada habisnya. Keluh kesah sering
ku dengar dari teman – temanku, aku juga ikut merasakannya namun setidaknya aku
lebih tegar dibanding mereka, mungkin. Karena bagiku seberat apapun ujian atau
tugas dari dosen takkan melebihi perjuanganku untuk menjadi mahasiswa di kampus
ini.
***
Akhir – akhir
ini aku mencoba mengungkapkna tentang rinduku kepada ayahku, diam – diam tanpa
sepengetahuan ibuku aku sering mengirimkan surat kepada seseorang yang
kurindui. Entah ayah merasakan apa yang
ku rasakan atau malah sebaliknya. Rindu yang semakin menyiksa. Rindu belasan
tahun yang tak mampu untuk dijelaskan. Dari mana rindu ini berasal? Mengapa
harus ada rindu jika rindu hanya menguji
setiap deret takdir yang harus dilalui. Surat pertama, “ Ayah, mengapa kau
meninggalkanku?” Namun tak ada balasan dari surat itu. Aku tak mau menyerah, kukirim surat yang ke dua “ Ayah, apakah kau
juga merindukanku? ” sama halnya surat pertama, surat keduaku juga tidak
mendapatkan jawaban. Aku lelah, aku bahkan lebih lelah dari penantian belasan
tahun tentang rindu dari seseorang yang tak mengharapkanku. Setelah dua surat
tidak juga mendapat balasan, aku menulis surat yang ketiga “ Ayah, aku ingin
bertemu denganmu, maukah kau menemuiku? ” surat yang ketiga ini menjadi surat
terakhir yang kukirim. Dan aku lelah.
***
“ Ray, besok kamu jadi pulang? ”
“ Jadi Nay, sudah beberapa bulan aku tidak pulang. Ada
rindu yang ingin kusampaikan pada ibuku, rindu yang melebihi isi dari suratku.
Aku juga ingin bertanya kepada ibuku, ke mana ayah pergi? Sejak kecil aku
selalu bertanya, ibu aku pulang, ayah ke mana? Dan ibu hanya menjawab bahwa
ayah pergi mencari kebahagiaan lain. ”
“ Dan semoga
kamu bisa menemukan jawaban atas surat mu, Ray”
“ Dan semoga hal itu memang terjadi Nay”
***
Pukul 16:30 WIB aku telah sampai di Kota Lasem,
dengan menempuh sekitar 4 jam perjalanan. Saat aku turun dari bus, aku melihat
sosok yang tidak asing bagiku. Meski belasan tahun tidak bertemu, dan tak
saling bertegur sapa tapi aku yakin aku mengenalnya. Dia ayahku dengan sepucuk
surat yang tidak pernah dia balas. Dia ayahku yang ingin kupeluk. Dia ayahku
yang telah meninggalkanku sejak aku kecil. Seperti menunggu seseorang, tepatnya
sedang menunggu anak perempuan. Apakah aku?
“ Halo Nay, ”
“ Kamu sudah sampai Ray? ”
“ Baru turun dari bus Nay ”
Tiba – tiba tanganku bergetar, ketika melihat sosok
ayahku melambai pada anak perempuan seusiaku. Dengan kegembiraan seperti halnya
saat ayah menunggu anak perempuannya pulang. Tiba – tiba mereka menghilang
dalam kerampaian Kota dengan mendung yang sedang menghinggapi.
“ Halo Ray, kamu baik – baik saja? ”
“ Aku telah menemukan jawabannya Nay, aku telah
menemukan mengapa kerinduanku tak pernah terbalaskan. Itu karena telah ada yang
menggantikannya ”.
Masih dengan tubuh yang gemetar aku mencoba mencari
tempat duduk di sekitar warung. Aku baru saja menemukan jawaban yang selama ini
aku cari. Ke mana rindu itu pergi? Ke mana ayah pergi? Dan ke mana ikatan itu
bermuara?
Sebuah kebahagiaan baru telah menghapus kebahagiaan
lama. Aku lega, dan aku ingin menangis.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "Ibu, Aku Pulang Ayah Ke mana? - Ikayanti - Lomba Menulis Cerpen"