Kapan Terakhir Kali Kau Memeluk Ibumu ?
Ridho Pebrimarta
Hatiku cukup terhenyak setelah membaca
sebuah cerpen yang dimuat pada halaman pertama koran lokal terbitan pagi ini. Seakan
aku di tampar telak oleh deretan kata
yang terangkai indah di setiap barisnya. Kapan
terakhir kali kau memeluk ibumu ?, membaca judulnya saja membuat hatiku koyak
seketika dan tak hayal setelah selesai membaca cerpen itu aku pun tak kuasa menahan
bulir-bulir bening yang sekejap telah berkumpul riuh di kelopak mataku. Bulir
bening itu akhirnya tumpah membasahi seluruh kulit tipis yang menyelimuti pipiku.
Aku teringat ibu, aku sungguh sudah
menjadi anak yang durhaka. Bayangan wajah ibu yang dipenuhi oleh
guratan-guratan halus pertanda umurnya yang semakin tua pun hadir entah sejak kapan menemani isak tangisku
pagi ini.
Sejenak kemudian aku tercenung terkulai
lemas pada kursi kayu yang meskipun sudah reot namun tetap berusaha dengan
susah payah agar dapat terus berdiri tegap di atas teras menahan setiap manusia yang mendudukinya. Sama
halnya dengan ibu, di umurnya yang sudah mulai beranjak senja, ia masih saja
giat tak kenal lelah mencari nafkah untuk menghidupiku dan rini adik
perempuanku. Memang selepas meninggalnya ayah, ibulah yang menanggung semuanya.
Mulai dari biaya makan sehari-hari, biaya pendidikanku, sekolah rini dan hal-hal lainya. Sekali lagi aku sungguh anak yang tak tahu
berterimakasih. Aku lupa apa yang telah ibu lakukan untukku dan bisa-bisanya rabu
kemaren aku memaki ibu dengan kerasnya lantaran kecewa hanya karna tidak bisa
membiayaiku untuk mengikuti acara kunjungan industri yang di selenggarakan oleh
kampusku. Aku benar-benar tak tahu malu, tak punya hati, entah kepedihan
seperti apa yang di rasakan oleh seorang ibu yang di maki oleh anak kandungnya
sendiri. Maafkan aku ibu. Tangis yang sempat terhenti kemudian pecah lagi.
Kenapa cerpen itu yang di muat pada koran
terbitan hari ini. Dan kenapa pula aku sampai membaca koran di teras pagi ini.
Padahal tak pernah sekalipun aku membaca koran di hari-hari sebelumnya. Andai
saja tadi aku nonton televisi mungkin aku tak akan pernah membaca cerpen itu.
Semua deretan kebetulan ini seakan telah bersekongkol dengan tuhan untuk menyadarkan
kesalahanku. Kalau memang benar begitu, sungguh beruntung diriku yang masih di
perhatikan oleh tuhan. Tuhan masih memberiku kesempatan untuk minta maaf kepada
ibu dan menebus semua kesalahanku selama ini terhadap ibu.
“sudahlah, tidak baik keras kepala begitu.
Ibumu pasti punya alasan ” suara om Iwan pelan namun terdengar jelas datang
dari dalam rumah membuyarkan lamunanku. Dengan sigap aku segera menghapus bulir-bulir
bening sisa tangisku dan berusaha bersikap biasa saja. Aku tidak mau di pagi
hari seperti saat ini om Iwan sudah melihat seorang lelaki muda menangis di
teras rumahnya.
Sudah dua hari ini aku tak pulang kerumah melarikan
diri lantaran kecewa dengan ibu. Dan di sinilah aku sekarang berada, di rumah
om Iwan, adik laki-laki paling kecil ibuku. Sekarang om Iwan telah duduk di kursi
yang berada di hadapanku. Kami hanya terpisah oleh sebuah meja kecil yang di
atasnya telah ada dua cangkir kopi, sepiring gorengan dan sebuah koran kiriman
dari tuhan untukku. Om Iwan menyesap kopinya perlahan dan kemudian mulutnya
menyantap pisang goreng yang mungkin sudah dingin. Aku tahu mata om Iwan menatap
lekat ke arahku. Aku hanya diam pura-pura acuh seraya meneguk kopiku yang hampir
habis.
“kalau hanya satu juta kau bisa pakai uang
om dulu” sebuah kalimat meloncat indah dari mulut om Iwan kemudian mendarat
mulus di telingaku. Seharusnya aku senang mendengar kalimat itu yang berarti
aku bisa mengikuti acara kunjungan industri kampusku. Tapi, entah kenapa aku biasa-biasa
saja mendengarnya dan malahan tak bersemangat lagi untuk mengikuti acara
kunjungan industri itu. Padahal malam kemarin aku sempat berencana meminjam uang
kepada om Iwan pagi ini. Semua keinginan itu telah lenyap, yang ada dalam
pikiranku saat ini hanyalah ibu.
“Terimakasih om, tidak usah. Lagian
acaranya tidak wajib kok” tolakku sopan. Selain niatku untuk mengikuti acara
kunjungan industri itu sudah luntur, aku juga tidak mau menyusahkan om Iwan. Om
Iwan juga telah berkeluarga, punya anak dan istri yang menjadi tanggung jawabnya. Lebih baik uang itu di
simpan saja untuk kebutuhan mereka. Sungguh tidak tahu malu aku jika menjadi
beban juga bagi om Iwan.
“Aneh... kemarin
kau ngotot sekali ingin ikut acara itu, kok sekarang kau menolak bantuanku” om
Iwan menatapku heran. Wajar saja, dua hari yang lalu aku telah menceritakan semuanya
kepada om Iwan tentang kekecewaanku terhadap ibu, tentang keegoisanku untuk
mengikuti acara kunjungan industri itu. Keegoisan yang telah menutup mata
hatiku sehingga melakukan dosa yang sangat besar terhadap ibu.
“Nanti habis
sholat jum’at aku akan pulang ke Padang, aku mau minta maaf kepada ibu” ucapku
lirih dan air mataku kembali tumpah. Aku sungguh tak kuasa menahan tangisku,
aku terus teringat ibu. Om Iwan menghela nafasnya perlahan lalu tersenyum
memandangku. ”Ya, kau memang sudah seharusnya pulang. Ibumu pasti
menghawatirkanmu”
Aku terus
menangis. Sekarang tidak segan-segan lagi walau om Iwan terus memandang ke
arahku. Semua hal buruk yang pernah aku lakukan kepada ibu mengerogoti hatiku.
Aku sungguh menyesal telah buta selama ini. di buaikan oleh dunia dan kesibukan
pribadi. Aku lupa akan perjuangan ibu, aku lupa masa kecilku dulu saat ibu
dengan tulusnya memelukku, mencium pipiku. Aku lupa kalau ibu semakin lama
semakin tua. Aku lupa menanyakan kabar ibu setiap harinya, aku lupa semua kasih
sayang tulus yang di berikan oleh ibu, aku bahkan belum sempat membahagiakan
ibu sampai saat sekarang ini.
“Besok-besok kau tidak boleh seperti ini lagi, kasihan
sama ibumu. Dia sudah mulai tua, sebagai anak laki-laki dan anak paling besar
kau harus lebih dewasa. apalagi tahun ini adikmu Rini mau masuk perguruan
tinggi pula. Pastinya ibumu sekarang sedang berusaha mengumpulkan uang untuk itu.
Kau jangan egois”
nasehat om Iwan panjang lebar bertubi-tubi menghujam hatiku. Aku
semakin teriris-iris mengingat betapa durhakanya diriku selama ini. Semua
nasehat om Iwan sangat benar dan aku akan terus mengingat nasehat itu. Saat ini
hanya satu yang aku inginkan, secepatnya sampai rumah untuk memintaa maaf dan
bersujud di kaki ibu. Lalu aku akan memeluk ibu. Karna ke khilafanku selama ini
aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku memeluk ibu.
Aku ingin
memeluk ibu lagi. dan semoga tuhan memanjangkan umur ibu sampai aku bisa
membahagiakanya. Amin.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "Kapan Terakhir Kali Kau Memeluk Ibumu? - Ridho Pebrimarta - Lomba Menulis Cerpen"