Jejak Lani
Anisa Kautsar Juniardi
Tema : Horor
Pagi buta diiringi
lekak-lekuk mendung yang siap menumpahkan airnya, tampak seorang wanita sedang kerepotan
menuntun sepeda motor menuju bengkel dekat pertigaan jalan. Tak terlihat wajah
yang kelelahan atau kesal pada umumnya di wajah seorang wanita yang mendapati
ban sepeda motornya bocor. Rok panjang berwarna cokelat dengan atasan jaket
tebal yang membalut dirinya membuat langkahnya semakin pendek. Sesekali ia
berhenti sejenak untuk mengatur napasnya yang terengah-engah akibat kelelahan.
“Lani ya?”
sebuah suara menghentikan langkan Lani.
“Lho, Pak Gugun?”
Lani menoleh ke sumber tempat suara itu berasal. Rupanya telah berdiri seorang
laki-laki tua yang tidak asing baginya dari balik pagar sebuah rumah.
“Kamu masih
ingat ternyata. Kok nuntun sepeda motor, nggak dinaikin aja?” Pak Gugun membuka
pintu pagarnya dan berjalan menghampiri Lani.
“Biasa, Pak...
bannya bocor,” jawab Lani.
“Tenang, rumah
Mang Dikin udah deket, paling sebentar lagi juga dibuka itu bengkelnya,” Pak
Gugu menunjuk sebuah rumah sederhana di dekat pertigaan jalan.
“Alhamdulillah
ya, Pak.”
“Lama tidak
bertemu ternyata kamu sudah besar ya... kerja di mana sekarang?” tanya Pak
Gugun.
“Anu...
masih menyusun skripsi, Pak.” Jawab Lani sambil tersenyum kecil.
“Wah semester
tua, berarti uang dan segala kebutuhanmu masih nodong orangtua dong?”
“Asalkan halal
dan selama saya tidak mencuri dari orang lain sepertinya sah-sah saja, Pak.
Bukankah begitu?” Lani mencoba menahan ekspresi kesal di wajahnya karena
pertanyaan Pak Gugun cukup menohok.
“Betul, tapi
kamu kan sudah dewasa... belajar cari uang sendiri dong! Jangan minta terus
sama bapakmu!” kata Pak Gugun sinis.
“Doakan saya,
Pak. Semoga saya lulus dan langsung dapat pekerjaan halal serta membawa
keberkahan bagi keluarga. Saya pamit ya, Pak....”
“Ya, semoga
cepat ditambal itu bannya... kasihan banget perempuan kok nuntun sepeda, motor
lagi!”
Ucapan terakhir dari Pak
Gugun tidak Lani jawab karena takut akan menimbulkan pertanyaan yang semakin
liar, ia hanya menganggukkan kepala lantas pergi meninggalkan teman Ayahnya itu
sendirian di pinggir jalan. Beberapa langkah menuju bengkel Mang Dikin, Lani
kembali berhenti. Rupanya tali sepatu di kakinya meminta untuk diikatkan. Kabut
semakin tebal pagi itu hingga membuat pandangan mata kian kabur. Ia tertegun tatkala
merasakan hembusan udara dingin yang tak biasa, seolah membangunkanya dari
posisi jongkok.
“Neng,” sapa
seorang pria bertubuh tinggi.
“Siapa?” kabut
tebal menutup penglihatan Lani.
“Saya di sini,
Neng,” Pria itu berdiri di belakang Lani.
“Eh, maaf saya
tidak lihat ada orang. Ada apa ya, Mang?” Lani lekas berdiri dan memutar
badannya.
“Harusnya saya
yang tanya, Eneng ngapain di sini?”
“Ini ban motor
saya bocor, Mang,”
“Boleh saya
bantu? Mau ditambal ke Mang Dikin kan? Kebetulan saya juga hendak ke sana,”
“Iya. Nggak
ngrepotin, Mang?”
“Tidak, Neng.
Kabut semakin tebal, kasihan kalau membiarkan seorang wanita berjalan sendiri,”
“Terimakasih
ya, Mang,”
Pria bertubuh
tinggi dengan pakaian lusuh itu hanya mengangguk sembari menebarkan senyum
dingin. Ia hanya menunduk setelah percakapan mereka selesai. Tak lama kemudian,
mereka berdua berjalan menyusuri jalanan halus yang terbuat dari semen. Suasana
sangat sepi dan sunyi padahal masih pagi hari. Riuhnya suara serangga saling bersahutan
menemani perjalanan asing itu.
“Sudah sampai,
Neng. Saya pamit kalau begitu,” pria itu menghentikan langkahnya di depan
bengkel Mang Dikin diikuti oleh Lani.
“Terimakasih
ya, Mang. Ini ada sedikit dari saya semoga bermanfaat,” Lani mengeluarkan beberapa
lembar uang dari saku bajunya.
“Apa ini? Saya
tidak mengharapkan imbalan seperti ini, Neng. Saya ikhlas,” Pria itu menolak
dan mendorong tangan Lani.
“Mas, Ijan
lapar. Kita belum makan dari kemarin. Ijan lapar. Ijan ingin makan,” tiba-tiba
seorang anak kecil menarik baju pria itu disertai rengekan keras.
“Sudah, terima
saja Mas. Saya juga ikhlas, mohon jangan ditolak ya. Doakan semoga saya
dilancarkan segala urusannya, begitu juga dengan Mas dan keluarga,” melihat
fenomena memilukan itu, Lani kembali menyodorkan uang yang tertahan digenggaman
tangannya.
“Eh, pagi-pagi sudah ada pelanggan ternyata.
Syukurlah,” sahut seorang pria muda dibalik pintu pintu, ia adalah Mang Dikin
si pemilik bengkel.
“Eh?” Lani
menoleh.
“Sebentar ya
Neng, Mamang buka pintu bengkel dulu. Duduk-duduk dulu. Jangan berdiri
sendirian di situ,” Mang Dikin sibuk membuka pintu bengkel dan mempersilahkan
Lani duduk di teras rumahnya.
“Tidak, Mang.
Ini saya bersama dua orang teman,” kata Lani tanpa menoleh kembali ke pria
tersebut.
“Ah bisa aja si
Eneng. Jelas-jelas sendirian gitu kok!”
“Ini mereka ada
di...” saat menoleh, Lani mendapati kedua laki-laki itu tidak ada.
“Waduh! Ke mana
perginya, kasihan anak kecil tadi belum makan. Sepertinya mereka berdua
kakak-beradik,” gumam Lani sambil celingukan mencari keberadaan mereka berdua.
“Neng...
Neng... sudah duduk dulu, biar Mamang betulkan itu ban yang bocor,” Mang Diman
mengambil alih motor Lani dan menuntunnya ke bengkel.
Lani duduk di
atas kursi panjang terbuat dari bambu, sementara Mang Dikin mulai menyiapkan
peralatan tambal ban. Mereka seakan larut dalam sebuah obrolan seru.
“Pagi-pagi
begini mau ke mana, Neng?” tanya Mang Dikin.
“Saya hendak ke
rumah Bibi saya, Mang. Ini baru pertama kalinya mau mengunjungi beliau,”
“Sering-sering
dikunjungi ya Bibinya. Orangtua itu paling suka kalau dikunjungi anak atau
kerabatnya, Neng. Itu juga termasuk ibadah dalam menyambung silaturahmi,”
lembut Mang Dikin memberikan petuah
“Pasti, Mang,”
Lani tersenyum sumringah.
“Dari tadi
Mamang perhatikan seperti ada yang menganggu pikiran Eneng,” ujar Mang Dikin
melihat tingkah Lani yang sedikit gusar.
“Ah, tidak juga
Mang. Saya hanya sedikit merasa aneh dengan desa ini,“ Lani memusatkan
pandangannya ke rumah Pak Gugun.
“Itu rumah Pak
Gugun, Neng. Dulu beliau itu ramah sekali terhadap kami warga desa, namun
kekayaan mengubah perangainya. Beliau suka merendahkan orang lain, bahkan
omongannya pedes banget. Kami kadang sering menghindar bertatap muka dengannya.
Mungkin itu yang dinamakan penyakit orang kaya ya, Neng?”
“Tidak juga,
Mang. Bukan karena kekayaan, Mang. Memang keadaan bisa mengubah sisi seseorang
jika ia tidak bisa mengendalikan dirinya dan mungkin Pak Gugun salah satunya.
Tapi Mang, ngomong-ngomong istri beliau ke mana ya, kok sepi?”
“Aduh si Eneng...
istrinya sudah pindah semenjak Pak Gugun meninggal,”
“APAAA? MENINGGAL?
Mamang sedang tidak bercanda dengan saya kan?” mata Lani terbelalak, tubuhnya
sontak seperti ada yang memukul hingga duduknya menjadi tegap.
“Mamang jujur,
Neng. Setahun lalu beliau ditemukan oleh pembantunya di kamar mandi dalam
keadaan sudah terbujur kaku. Kata tetangga, beliau terkena serangan jantung dan
meninggal seketika di tempat. Namun ada yang aneh. Banyak tetangga, terutama
istrinya suka bercerita pada istri Mamang kalau sering bertemu Pak Gugun di
mimpi atau di kehidupan nyata. Mamang sih nggak percaya, Neng! Mana ada orang
sudah meninggal hidup lagi, pasti itu jin yang menyerupai sosok Pak Gugun!,”
tegas Mang Dikin.
“Matilah kau
Lan! Lalu siapa tadi? Apa aku sedang bermimpi?” seperti disambar petir, Lani
berusaha meyakinkan dirinya jika semua yang dilihat tidaklah nyata.
“Itu ngapain
Eneng nyubit pipi sendiri?” Mang Dikin mengernyitkan dahi sambil memandangi
Lani.
“Tidak apa-apa,
Mang. Dingin ya di sini. Terus tadi Mang Dikin lihat tidak ada dua orang laki-laki
yang ngobrol dengan saya?” Lani beranjak dari tempat duduknya dan mendekati
Mang Dikin.
“Oh! Mungkin
itu Gito dan Anto, Neng. Mereka memang suka bantu warga di sini, tapi seinget
Mamang mereka sudah tidak ada,”
“Maksudnya
tidak ada?” Lani mulai gelisah.
“Mereka berdua
meninggal sebulan yang lalu, Neng. Kami semua merasa bersalah karena membiarkan
mereka hidup kelaparan. Adiknya sering menangis karena belum makan, sedangkan
Gito pantang sekali menerima bantuan kami,”
“Mamang ini?”
bulu kuduk Lani tiba-tiba bergidik, tengkuknya terasa dingin, langkahnya
semakin berat manakala bertatapan dengan Mang Dikin.
“Mamang kenapa,
Neng?” tanya Mang Dikin disambut dengan senyum menyeringai dari wajahnya,
kulitnya berubah pucat dan pandangannya menunduk. Tangannya berhenti
mengotak-atik sepeda motor Lani.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "Jejak Lani - Anisa Kautsar Juniardi - Lomba Menulis Cerpen"