-->

Kematian yang Mengambang - Muhammad Septian Yoga - Lomba Menulis Cerpen

KEMATIAN YANG MENGAMBANG
Karya: Muhammad Septian Yoga
 

       Di sebuah desa Strasbourg, hiduplah pemuda amat terkenal dengan rambutnya yang kriting serta memiliki kulit coklat tetapi memiliki badan tegap dan tinggi. Pemuda itu bernama lengkap Ornad bulgio, namun mereka lebih akrab memanggilnya Ornad saja.
       Sebenarnya bukan karena kepintaran maupun sifatnya yang baik membuat Ia menjadi terkenal melainkan sering minum-minuman keras, berjudi, dan suka menggauli wanita meski sudah menikah.
        Ornad terbilang muda menikah sebab sang wanita telah terlanjur hamil dan orang tuanya mengancam melapor polisi kalau Ornad tetap main-main. Namun Ornad tidak berhenti minum-minuman keras walau sudah tidak sering seperti dulu dan sebenarnya  juga Ia lelaki giat bekerja. Setiap saban subuh selalu merumput kuda-kudanya. Tidak sekali dua kali ada pesanan kuda untuk dipersiapkan lomba dan menarik kereta para cendekiawan. Istrinya  juga tengah mengandung, Ornad nampak cukup senang kalau orang seperti dirinya masih dipercayai Tuhan memiliki anak. Namun nasib kurang beruntung menimpa pemuda-pemuda sebaya ornad di kampung; ada beberapa gagal berbisnis, ada yang menikah sulit memiliki anak, dan teman-teman Ornad berjudi menjadi banyak utang sampai barang-barang berharga mereka dilelang.
        Pada suatu malam datang pak kurir dari suruhan orang kaya raya di kota Napoleon hendak mengantarkan surat dan meminta kuda pesanannnya sekian puluh kuda dan meminta Ornad sendiri yang mengantar.
         Kata kurir, “Tuanku sangat ingin bertemu dengan anda, beliau ingin berbincang-bincang dan menjamu anda dengan baik.”
        “Apa kuda-kuda dari tempatku membanggakan?”
        “Iya, saudara, beberapa kali tuan kami untung di arena pertandingan.”
        “Baiklah sampaikan kepada tuanmu aku akan datang.” Tanpa kata sang kurir hanya meninggalkan senyum santai dan menaiki sepedanya pergi. Istrinya yang lama berdiam yang sebenarnya mendengar dari balik tembok kamar menjadi bahagia dan menemui Ornad keluar.
          Keesokan harinya, dini hari sekali ketika embun masih membasahi kaca jendela dan daun-daun serta suara burung-burung yang riuh berkeliaran Ornad sudah mulai mempersiapkan diri. Ia dibantu seorang rekan dari tetangga desa bernama Galop tengah mengikat tali kuda. Saat perjalanan sudah berlangsung dan berjalan cukup lama angin mulai bersiul kencang membawa debu, terik matahari mulai panas menjadi semakin panas memang cukup mengganggu perjalanan Ornad ke Marcon. Lantas jalan sudah mulai naik-turun melewati bukit. Persediaan air telah habis dan kuda-kuda Ornad nampak kelelahan. kawannya melihat pantulan sinar matahari di pinggiran kota Clugny setelah mendekat merupakan aliran sungai yang airnya cukup jernih. Tanpa berpikir panjang mereka berhenti dan membasuh muka sampai sekedar mengisi botol minuman. Mereka mencari suatu tempat di bawah pohon besar lalu memutuskan tidur sebentar.
         Saat semburat langit mulai kekuningan, Ornad dan kawannya bangun dan melihat nampaknya langit sebentar lagi akan dikuasai kegelapan. Malam ini mereka harus sampai, pikirnya. Lantas perjalanan dilanjutkan kembali. Sudah Beberapa jam perjalanan berlangsung ketika malam, suara-suara liar diperdengarkan di tengah jalan yang nyaris gelap dikelilingi bayang-bayang pohon nampak rimbun. Kemudian Ornad berhenti di sebuah kedai tua di pinggir jalan, pikirnya kota Marcon nampak sudah dekat dari kejauhan, Lantas duduk menunggu pesanan, tetapi Ornad kali ini sedang memesan minum-minuman keras. Udara dingin semakin mencengkram berhembus terasa sampai ke tulang. Ornad tidak ingin mati kedinginan di tempat ini. Tidak ada hal aneh di kedai itu, namun kawan ornad merasa janggal dengan kuda-kuda di luar tanpa suara apapun. Kawannya keluar terkejut kuda-kuda itu semua terlihat teler seperti keracunan. “Ornad kuda-kuda kita sekarat!” Ornad keluar melihat semua kuda-kudanya bergeletakan dan mulutnya mengeluarkan busa. Ornad kebingungan namun belum ada ide terlintas dipikirannya.
           Karena perasaan cemas Ornad begitu dalam mungkin telah sampai kepada istrinya yang terbangun karena bermimpi buruk tentang suaminya, lantas duduk di beranda rumah sambil melempar pandangannya sejauh mungkin memikirkan sesuatu telah terjadi. Namun tidak ada jalan lain Ornad harus meneruskan perjalanan dan mengatakan sebenarnya. Maka kemudian setelah sampai mereka di kota marcon, berbekal alamat yang tertulis di dalam surat menuntun mereka menuju ke sebuah rumah mewah yang amat megah. Setiap sudut-sudut jalan ada pos penjagaan. Tidak sekali mereka ditanyai petugas piket, Ornad hanya menunjukkan sepucuk surat pos dari tuannya. Mereka cemas melihat luaran pagar yang nampak tinggi di atasnya tertancap gerigi-gerigi besi. Tidak ada orang mudah keluar masuk dari tempat itu. Semua penuh pengawalan ketat. Ketika menemui sebuah anak tangga mereka disambut seorang berbaju rapi, bersepatu mengantarkannya ke atas lantas mereka melihat seorang cendekiawan itu sudah duduk menunggu di kursi-kursi mewah berbalut emas nampak kemilauan.
        “Apa anda bernama ornad?”
        “Iya pak”
        “Kumendengar kudamu diracuni orang?”
        “Iya pak.”
        “Tapi aku tidak mau rugi, Pertandingan tinggal tiga hari lagi, aku ingin kuda-kudaku kembali.”
        “Beri aku waktu pak.”
         “Saya beri waktu dua hari.”
        “Baik pak.”
         “Kamu boleh pergi.” Ornad mulai meninggalkan kursi bersama kawannya menuruni anak tangga. Mereka hanya berjalan keluar melewati beberapa pintu nampak besar sambil mata Ornad yang melihat sekitaran wilayah itu dijaga orang-orang berpakaian semi militer lengkap bersenjata api. Ornad dan kawannya pulang. Udara mulai gila menerbangkan segala ilalang dan debu. Ornad sangat lelah ia tidak memiliki sama sekali uang. Makanan dan minuman enak seperti yang dibayangkan sebelumnya telah kandas karena bos itu nampaknya sangat marah. Awalnya ia berharap mendapatkan uang banyak kemudian membelikan makanan bergizi untuk sang istri. Belum lagi membelikan tetek mbengek untuk mempersiapkan buah hatinya lahir.
         Perjalan tetap berlanjut, kali ini Ornad belum ingin pulang hendak kembali ke kedai untuk mencari tahu kenapa kuda-kudanya bisa keracunan. Saat mendekati halaman kedai tersebut Ornad merasa ada sesuatu yang aneh, ada beberapa orang yang melihat geliat kedatangan mereka kemudian mendadak pergi meninggalkan kedai menaiki kuda ke arah selatan, sepertinya Ornad tidak asing melihat mereka. Seketika Ornad berlari sekuat sisa tenaga yang Ia miliki. Sang pemilik kedai tersebut mendadak menutup jendela-jendela dan pintu. Tidak ada seorang pun yang dapat ditemui. Suara angin menghempas kencang menggugurkan daun-daun kering. Ketika sejenak berdiam pandangnya terarah pada suatu benda kilauan tertutup rumput-rumput. Ornad lantas mengambilnya dan Ia tahu kalau ini adalah sebuah gelang emas milik kelompok begundal yang pernah ke desanya. Namun Ia belum memastikan siapa pemiliknya. Ornad dan kawannya yakin kalau pemilik gelang ini masih berkaitan dengan kematian kuda-kuda mereka. Mereka semakin bersemangat untuk menelusuri permasalahan ini. Malam telah datang dan mereka terus memburu pelaku atas kematian kuda-kuda mereka. Mereka mencoba mengubungi pos polisi dan menceritakan hal tersebut. Dua orang polisi membantu. Ornad mengajak menuju di sebuah gudang  tua tempat penyimpanan tembakau di Mittelbergheim, biasanya para buruh yang tak lain teman-teman Ornad sendiri sering bermain judi di tempat ini. Tepat tengah malam dalam kondisi sunyi Ornad bersama kawan-kawan mendengar teriakan dan celotehan orang-orang berjudi. Dua polisi langsung menangkap para komplotan tersebut, tapi ada beberapa yang lain berhasil kabur tanpa jejak. Mereka ditahan dan polisi membawa sejumlah barang bukti.
          “Namamu siapa?”
           “Fredo pak.”
           “Kamu?”
           “Apelio pak.”
           “Kalau kamu?”
           “Carlos pak.”
           “Kalian sudah sering mabuk-mabukan dan bermain judi?”
           “Sering pak.”
           “Kalian juga mengenal siapa saja yang kabur?”
            “Kenal pak,” Kemudian polisi itu menunjukkan gelang dari Ornad.
            “Kalian pernah melihat gelang semacam ini?”
            “Pernah pak.”
            “Kamu tahu pemiliknya?”
            “Biasanya mereka ke desa kami untuk membeli tembakau kami pak.”
           “Mereka dari kelompak orang kaya pak, kami kurang begitu tahu pak. Tapi kabarnya mereka punya bos namanya Alteous seorang pengusaha. Anehnya mereka muncul saat malam hari, sesekali mereka juga ikut berjudi bersama kami walau sebentar.”
          Polisi itu lalu menggiring mereka ke penjara barangkali nanti masih ada keterangan tambahan. Ornad pulang ke rumah, sang istri membuka pintu dan segera memeluk suaminya. Sampai pagi kembali datang Ornad belum dapat mengganti sekian puluh kuda yang telah mati. Polisi itu datang kembali, mungkin sepertinya ada titik terang. Ornad terlihat berjalan tergesa-gesa ditemani dua polisi masuk ke dalam mobil bercat hitam. Istrinya yang penuh nanar baru reda menangisnya hanya dapat memandangi dari balik jendela dan menyimpan tanda tanya besar.
          Mobil itu berhenti di arena pertandingan pacuan kuda Hippodrome, saint- cloud. Ornad bersama polisi yang menyamar sebagai orang biasa mengambil tempat duduk yang letaknya nyaris dekat dengan seorang bos bernama Alteous yang pernah diceritakan para begundal semalam. Ornad memandangi beberapa orang memakai gelang mirip pernah Ia temukan. Mereka hanya mengucapkan salam sambil berjabat tangan kepada bos Alteous kemudian keluar rapi dari tempat arena ditengah riuh penonton, nampak lomba pacuan kuda segera dimulai. Segera mereka mengikuti keluar dari pintu arena, Tanpa Ornad duga polisi-polisi itu menodong pistol dari belakang dan meminta para kawanan menyerahkan diri. Perlawanan tak terelakkan namun tidak berarti, para polisi telah menembak dan melumpuhkan beberapa orang tersebut. Di sebuah meja dengan sinar remang-remang setidaknya ada enam orang duduk menunggu pertanyaan yang akan dilayangkan dari tim investigasi.
         “Saudara tahu siapa saja yang memiliki gelang ini?”
          “Gelang itu hanya dimiliki kelompok tangan kiri bos Alteous.”
           “Ooo berarti kalian sering melakukan kejahatan?” Mereka merunduk dan tak ada jawapan.
          “Di antara kalian ada yang tahu soal  kematian kuda-kuda yang mati mendadak, di kedai ouskar? korban kami menemukan gelang ini di tempat kejadian.” Belum ada yang menjawab tapi wajah mereka seperti menahan sesuatu tidak ingin diucapkan. “Ayo jawab, kalau kalian tidak jujur, hukuman kalian akan semakin berat dan tidak ada ampun.”
         “Begini pak sebetulnya kami hanya suruhan, pemilik gelang itu adalah Alfonso kali ini berhenti dan ingin menjadi pendeta. Dia pimpinan kelompok kami pak, hanya dia yang tahu alasannya.” Pertanyaan tidak dilanjutkan polisi itu langsung menuju sebuah gereja. Di dalam gereja yang ditemukan adalah pendeta tua bersama seorang pendeta muda, mereka menjawab Alfonso sudah meninggal sehari yang lalu. Dirinya ingin menjadi pendeta namun di suatu malam kami menemukan Alfonso tergeletak di pintu luar gereja dengan luka tembak di punggungnya. Beberapa polisi langsung pergi menuju kedai namun semua jendela dan pintu tertutup lenggah tidak ada satu pun orang yang dapat ditemui. Beberapa polisi tidak memikirkan hal itu, mereka mencongkel salah satu pintu untuk menggeledah tempat itu. Mereka menemukan sebuah botol aneh yang di dalamnya terdapat bubuk beracun dengan bau sangat menyengat. Salah seorang polisi menemukan sebuah lembaran kertas yang diletakkan di sebuah meja, bertuliskan “Maaf aku hanya disuruh oleh Alteous dan memberiku uang cukup banyak.”

         Pengusutan kasus ini terus berlanjut, polisi terus memburu pelaku maupun mengumpulkan beberapa bukti dan saksi sebagai upaya untuk menangkap otak pembunuhan. Ornad beranggapan bahwa pembunuhan kuda-kudanya dipicu persaingan menjelang pertandingan pacuan kuda babak final dalam ajang bergengsi Hippodrome di sain-cloud. Karena dalam ajang tersebut juga sangat berpengaruh dalam perkembangan persaingan bisnis.
0 Comments for "Kematian yang Mengambang - Muhammad Septian Yoga - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top