-->

Bukan Orang-Orangan Sawah - Madhika Ekatra - Lomba Menulis Cerpen

Bukan Orang-orangan Sawah
Madhika Ekatra

            Semua tak akan bisa melihatnya, tapi begitu terasa bila didekatnya. Suara gemericik dedaunan pohon serta gerakan melambai ringan dari orang-orangan sawah mungkin dapat dijadikan pertanda kedatangannya, ya itulah angin. Orang-orangan sawah pun membutuhkannya untuk sekedar terlihat hidup, seperti aku yang selalu membutuhkannya hingga saat ini.
Hidup di desa mungkin kadang tak seindah pemandangannya, hidup di kota pun mungkin tak semenyenangkan bayangan orang-orang yang belum pernah dan ingin ke sana. Namun, semua bergantung pada persepsi kita. Persepsi mungkin berbeda, tapi sebuah pengalaman dapat menghilangkan kemungkinan menjadi kepastian dari perbedaan. Karena hidup kita menciptakan sejarah, yang tak mungkin sama meski tak terpisah oleh jarak dan waktu di mana pun dan kapan pun.
Pagi ini tak seperti biasa, awan mendung menutupi sinarnya yang biasa terpancar lucu menyoroti boneka tak berkaki di tengah hamparan padi yang mulai menguning. Tak terasa sudah lima hari aku di sini, tempat yang kuanggap sebagai rumah kedua. Besok mungkin aku akan pulang kembali ke rumahku di Jakarta.
Aku merasa seperti orang-orangan sawah yang hanya bisa diam mengikuti arah angin. Ayah selalu berpindah-pindah karena tuntutan pekerjaan sedangkan ibu bisa dipastikan selalu ikut dengan ayah. Liburan di kampung halaman ayah yang sebentar lagi berakhir ini merupakan waktu langka bersama keluarga yang sulit direalisasikan di hari-hari biasa.
Terhitung aku dan Nirasha adikku, sudah tiga kali berpindah-pindah sekolah. Seperti tertancap di tengah sawah, butuh dorongan angin yang begitu kuat yang dapat melemparkanku sehingga bisa menemukan yang tertancap lainnya untuk bisa sekedar dekat lebih lama. Jarak seakan menjadi penghambat yang sangat lumrah meski dekat sedang menghampiri.
            Meow… suara kucing liar menghentakkanku dari lamunan tak berarti ini, seakan memaksa untuk bangkit dari kursi goyang yang begitu membuatku nyaman. Setelah sarapan aku segera kembali pada tahta kerajaan, ya kursi goyang yang terbuat dari rotan. Kursi ini seakan menjadi pelarian dari cabang lanjutan dari sebuah percakapan. “Kak…”, sebuah panggilan lamda terdengar dari kamar depan. Suara keseharian dari seorang perempuan yang umurnya terpaut tiga angka dibawahku. Untuk menghindarinya aku lebih baik ke kamar membuka laptop dan melanjutkan karangan yang telah kutulis sebelumnya saat di rumah. Karangan yang begitu tak bermakna, penuh kata-kata basi diselimuti polusi. Tapi entah mengapa baru saat ini aku menyadarinya. Ini mungkin cara alam bercerita betapa jarak bukanlah halangan bagi sesuatu untuk bisa tetap dekat dan selalu bersama.
            Menulis merupakan rutinitasku setidaknya sekali dalam seminggu, seperti itulah gambaranku saat ini. Sejak peristiwa itu, aku menjadi gemar menulis dan mulai gemar membaca. Bagaimana bisa seorang yang bercita-cita ingin jadi penulis bisa membuahkan karya tulis sedangkan untuk membaca saja ia sulit melakukannya. Itulah pertanyaan yang mulai jadi kenyataan dalam diriku. Di mana pun seorang penulis pasti dilahirkan dari seorang pembaca ulung, yang seakan bisa menyerap kata-kata yang ia baca menyusunnya dan melahirkan kalimat yang akhirnya membuahkan sebuah karya. Namun aku berbeda, keadaan yang membuatku begini. Ibuku gemar membaca, dan setiap aku mendapat tugas menulis sejak SD ibuku pula yang selalu menyusun kata-katanya. Layaknya mesin fotokopi aku hanyalah juru tulis yang seakan mengalah oleh kenyataan. Bagaimana tidak, tulisanku memang buruk. Mengerti baca tulis saja aku tertinggal dari teman-teman sebayaku waktu itu. Hal itulah yang memaksaku untuk mengikuti pelajaran tambahan sepulang sekolah dengan wali kelas dan anak lainnya yang bernasib sama, dimana jumlahnya tak lebih dari lima anak.
            Sampai puncaknya saat aku menginjak bangku SMP kelas 2, guru bahasa Indonesia saat itu menunjukku sebagai perwakilan sekolah untuk mengikuti seminar kepenulisan. Banyak inspirasi yang kudapat, pembicaranya tentu tidak asing bagi mereka yang gemar membaca sejak muda. Seperti salah satu pembicara yakni Boim Lebon, saat itu ia memberi inspirasi mengenai penulisan judul, dan cara menyampaikan kalimat-kalimat agar lebih bernilai. Seminar itu aku ikuti beberapa hari sehingga aku tak masuk sekolah secara penuh. Bertempat di Balai Pusat Bahasa, seminar itu memang sangat luar biasa dan aku merasa beruntung bisa mengikutinya bersama seorang kakak kelas perempuan yang aku pun tak sempat bertanya namanya meski sempat membentuk obrolan singkat beberapa kali dengannya. Sejak saat itu pula aku mulai memutus segala bantuan ibu khususnya pada tugas mengarang. Seperti mulai terbiasa dengan susunan kalimat yang padu yang biasa diberikan ibu, aku mulai melangkah karena aku mulai sadar apa yang kulakukan merupakan proses membaca tanpa sadar. Karena proses fotokopi yang selama ini aku alami merupakan proses baca tulis.     

Kegemaran membaca pun mulai muncul seiring kebutuhanku akan kosakata dan inspirasi baru dalam menulis. Buku demi buku kubeli dengan uang jajanku sendiri. Sebelum akhir pekan, sepulang sekolah  merupakan jadwalku untuk pergi mencari inspirasi baru. Tak jarang uang yang terbatas memaksaku untuk hanya mendapatkan buku lama yang tertumpuk dengan kondisi penuh debu. Sampai akhirnya, keadaan benar-benar telah melahirkanku kembali turun dari langit yang tak berwarna menuju pantulan bias cahaya yang luar biasa indahnya.
0 Comments for "Bukan Orang-Orangan Sawah - Madhika Ekatra - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top