SISWAKU,
RIZALDI
EVA GUSSEVENTINI
Pagi yang
mendung, tak sedikitpun cahaya matahari muncul untuk menyapa orang-orang yang
hilir mudik di jalan untuk berangkat kerja. Aku dengan motor bututku melaju
kencang menuju salah satu SMA negeri di kotaku, Lubuklinggau, tempat dimana aku
bekerja sebagai pengajar.
Di depan gerbang
sekolah ku parkirkan motorku , ku lihat Kepala sekolah dan wakil kesiswaan
sudah berdiri di depan pintu masuk sekolah menyambut anak didik yang baru
datang, mereka bersalam-salaman secara bergiliran, budaya bersalam-salaman
mendidik siswa untuk menjadi anak yang berkarakter dan beretika.
“ Selamat pagi,
Pak..?” sambil bersalaman ku sapa mereka.
“ Selamat pagi,
Bu Via..? “ jawab Pak Sumarnain dengan ramah, dia adalah kepala sekolah yang
arif dan bijaksana dalam memimpin anak buahnya di sekolah.
Ku langsung
melangkah ke ruang guru yang ada di pojok sekolah, hampir semua guru yang
mengajar hari itu sudah datang. Meja kerja kesayanganku yang selalu membuat ku
betah berada di sekolah terletak di tengah. Tumpukan buku kerja anak didikku
masih berada di atas meja, belum sempat aku periksa pekerjaan mereka.
“ Bu Via, Ibu di
panggil Pak Narno ke ruangan nya.” Suara Bu Yussi, salah satu staf usaha
memanggilku.
“ Oh, Iya, Bu,
saya ke sana sekarang. “ Belum sempat aku
minum teh yang ada di atas mejaku, aku sudah di panggil oleh Pak Narno, wakil
kesiswaan, pasti masalah siswa ku yang kemarin belum selesai.
Rizaldi, dia
adalah siswa ku yang menurut beberapa guru yang mengajar nya adalah anak yang
nakal, di dalam kelas dia selalu tidur di akhir pelajaran, pekerjaan rumah
selalu di kerjakan di sekolah, di saat belajar sering izin keluar kelas dengan
berbagai alasan, puncaknya adalah kemarin pagi, Rizaldi tertangkap Satpam
melompat pagar untuk masuk sekolah pukul 07.30 WIB, sedangkan bel masuk
seharusnya pukul 07.00 WIB.
“ Silahkan
masuk, Bu Via..” sapa Pak Narno membuyarkan lamunanku.
“ Baik, Pak “
“ Begini, Bu,
seperti nya kasus Rizaldi sudah terlalu banyak, surat perjanjian sudah
berulangkali di buat, tetapi tidak ada perubahan, kasus terakhirnya melompat
pagar merupakan poin terbesar untuk dapat mengembalikan anak ini ke orang
tuanya “ jelas Pak Narno dengan semangatnya.
“ Tapi..Pak,
saya selaku wali kelas nya mohon kebijakan dari bapak, tolong beri kesempatan
satu kali lagi, anak ini sebenarnya anak pintar, walau jarang menulis, dia bisa
menjawab pertanyaan guru, dan hasil ulangannya tidak pernah remedial.”
“ Bu Via, guru
di sini tidak cuma Ibu, sudah beberapa guru yang melapor tentang masalah
Rizaldi, apa Ibu bisa membina anak ini menjadi lebih baik..?”
“ Ya, Pak, beri
kesempatan pada saya untuk membina anak ini, beri saya waktu satu bulan, jika
memang tidak bisa dibina, saya dengan ikhlas mengeluarkan anak ini dari
sekolah” jawabku pelan.
“ Baiklah ,Bu,
saya tunggu satu bulan kedepan, sekarang Ibu boleh kembali bertugas”
Jawaban ku tadi membuat
dada ku sesak, tanggung jawab yang sangat besar di pundakku, mungkinkah aku
bisa melaksanakannya dengan baik ?, bisakah aku membina anak ini ?,di atas
kepalaku seperti ada sebongkah batu yang besar, begitu berat untuk ku bawa.
***
Bel
berbunyi dengan nyaring tanda dimulainya aktivitas belajar mengajar, dengan
gontai ku langkahkan kakiku menuju kelas, XI IPA, kelas yang ku ajar hari ini,
dan aku adalah wali kelas nya. Mata ku tertuju di sudut kelas, seorang
laki-laki hitam manis,badan yang agak kurus duduk dengan santai, topi masih
bertengger di kepalanya.
“
Selamat pagi, anak-anak..?” sapaku dengan senyum sumringah.
“
Selamat pagi,Bu....?” teriak anak-anak dengan semangat.
“
Baiklah.., buka halaman 17, kalian baca dulu dalam hati, nanti Ibu jelaskan dan
beri pertanyaan untuk kalian, Rizaldi, menghadap Ibu sekarang..!”
Dengan
santainya Rizaldi berjalan menuju mejaku, topi yang tadi bertengger di kepala
nya sudah di lepas, dengan tertunduk dia menghadap ku .
“
“Iya, Bu..”
“
Zaldi, boleh Ibu bertanya,,? kemarin mengapa kamu melompat pagar, apa salahnya
kamu masuk lewat depan gerbang sekolah “
“
Maaf, Bu.., saya takut, kemarin saya terlambat..” jawab nya dengan penuh
penyesalan.
“ Zaldi, anggap
Ibu adalah Ibu mu sendiri, kalau kamu mau cerita sesuatu, cerita ke Ibu,
mengapa kamu suka tidur di kelas ?, guru-guru sudah sangat mempermasalahkan
diri mu, cerita sama Ibu, nak.., mudahan kita bisa sama-sama menyelesaikan
masalah nya “.
“ Apa, Bu..?,
menyelesaikan masalah ?, ini masalah saya, tidak ada yang bisa
menyelesaikannya.., kecuali saya “ jawabnya ketus.
“ Zaldi, Ibu
tanya.., kamu masih mau sekolah kan..?”
“ Iya, Bu..,
saya harus sekolah, saya harus sekolah yang tinggi.., apa pun resikonya, saya
mau menjadi orang yang berpendidikan tinggi..” Jawabnya bergetar, kulihat
matanya memerah, air mata menetes di pipi nya yang kurus. Aku begitu terkejut,
pertanyaanku sangat menusuk hatinya, selama ini Rizaldi yang ku kenal anak yang keras,
garang, dan ditakuti oleh teman-temannya, begitu rapuh, dan hatinya sangatlah
halus.
“ Bu, maaf kan
saya, terima kasih sudah perduli dengan saya, cuma Ibu yang memperhatikan saya..”
dengan terisak Rizaldi terus berkata.
“ Sudahlah, yang
penting Rizaldi menyadari kesalahan Rizaldi, dan tetap ingin bersekolah,
sekarang duduklah..” terenyuh hatiku melihat nya.
Rizaldi
membalikan tubuhnya untuk kembali ke kursi nya, tapi tiba-tiba dia berkata.
“ Bu, sepulang
sekolah, maukah Ibu ikut saya ke rumah, saya ingin memperlihatkan sesuatu
dengan Ibu..? ” tanya Rizaldi dengan memelas.
“ Baiklah, Ibu
tunggu di parkiran, ya, kita pergi sama-sama..” jawabku dengan penasaran, apa
lagi yang mau diperlihatkan oleh Rizaldi, berbagai pertanyaan berkecamuk di
kepalaku.
***
Jam menunjukkan
pukul 13.30 WIB, proses belajar mengajar di sekolah telah selesai, ku kemas
buku-bukuku, dan ku jinjing tas ku menuju parkiran, mataku mencari-cari
seseorang, pertanyaan-pertanyaan di kepalaku membuat aku ingin cepat-cepat
pulang. Rizaldi ternyata sudah berdiri di depan pos satpam.
“ Zaldi, kamu
yang bonceng Ibu ya, Ibu kan tidak tahu rumah mu..?”.
“ Iya, Bu..”.
dengan cepat Rizaldi mengambil motorku, ku duduk di belakangnya, motorku melaju
kencang menuju rumah Rizaldi.
Derit ban motor
membuyarkan lamunanku, tak terasa kami sudah sampai di depan rumah Rizaldi, ku perhatikan
rumah minimalis, berwarna putih bercampur merah marun yang menambah nuansa
modern. Ku yakin pasti Rizaldi adalah anak orang kaya, dari data yang ku
peroleh Ayah nya adalah seorang pengusaha furniture.
“ Ayo, Bu,
masuk..” ajak Rizaldi sambil membukakan pintu rumahnya.
Dengan pelan ku
langkahkan kakiku ke dalam ruang tamu yang begitu minimalis, sebuah kursi tamu
dari kayu jati, dan lemari Palembang. Tiba-tiba ku dengar suara jeritan,suara
tangisan perempuan membuatku terkejut.
“ Mari, Bu, ikut
saya, saya kenalkan Ibu dengan Mama saya..” Rizaldi mengajakku ke sebuah kamar,
aku begitu terperangah, dadaku sesak, kakiku gemetar, aku begitu terkejut
dengan pemandangan yang ku lihat dihadapanku. Seorang perempuan dengan rambut
acak-acakan, berbalut baju daster, duduk di lantai dengan kaki di borgol dengan
besi, tangan di ikat dengan rantai yang tidak terlalu panjang. Dia memandangku,
matanya terbelalak, kemudian menjerit, meronta-ronta, dia ingin mendekatku.
“ Ku bunuh
kamu.., dasar pelacur.., mati kamu sekarang, hik..hik..hik.., jangan ambil
suamiku, jangan ambil suamiku...” perempuan itu terus meracau tak karuan. Rizaldi
kemudian mengajakku kembali ke ruang tamu. Dengan gemetar ku duduk kembali di
sofa.
“ Bu.., dia mama
ku, dia yang buat aku terlambat sekolah, aku harus memberinya sarapan dulu,
walau ada Bik Nah, hanya aku yang bisa memberi dia makan. Dia benci dengan
semua perempuan, setiap melihat perempuan, dia pasti mengamuk, mama ku gila,
Bu..., ini semua gara-gara Papa.., Papa menikah lagi, dan meninggalkan kami.
Aku benci Papa,Bu..” Rizaldi terisak menceritakan masalah keluarganya.
Hatiku begitu
terenyuh, kini semua pertanyaan di kepalaku terjawab sudah, kasihan anak ini,
bagaimana dia bisa belajar di rumah, kalau dia harus mendengar jeritan Ibunya,
bagaimana dia bisa datang ke sekolah dengan cepat, kalau dia harus mengurus Ibu
nya, memberi makan, memandikan, dan menggantikan baju ibunya, wajar kalau dia
mengantuk di kelas, setiap malam tidak bisa tidur sebelum Ibunya tidur.
“ Maafkan Ibu,
Rizaldi, selama ini Ibu salah paham dengan mu, kamu anak yang baik,
mudah-mudahan pihak sekolah akan mengerti dengan masalah mu, teruslah sekolah,
Ibu selalu mendukungmu” ucapku dengan pelan.
“ Terima kasih,
Bu, aku mau sekolah, aku ingin menjadi Dokter Jiwa, aku ingin mengobati mama,
mama harus sembuh, Bu...” air mata terus berlinang di pipi nya, hatiku begitu
pilu mendengarnya.
“ Rizaldi, Ibu
pulang dulu, ya..besok kita ketemu lagi di kelas..” pamitku, aku langsung
pulang ke rumah dengan beban di kepalaku yang mulai berkurang.
***
Keesokan harinya
ku ceritakan kejadian yang ku alami di rumah Rizaldi dengan Kepala Sekolah dan
Wakil Kesiswaan, mereka begitu terenyuh dengan cerita ku, Rizaldi yang malang,
di kelas dia begitu garang dan pemarah, ternyata semua itu hanya untuk menutupi
kelemahan nya yang tidak boleh orang lain mengetahui nya.
Kepala Sekolah bersama jajarannya mengadakan
rapat mendadak, mereka membahas permasalahan yang di alami Rizaldi, siapa lagi
yang perduli dengan Rizaldi, kalau bukan kita semua, siswa yang malang, di
tinggal Papa nya menikah lagi, bahkan sampai sekarang tidak pernah menjenguk
Rizaldi lagi, Mama nya yang mengalami depresi berat, dan harus ditangani dengan
cepat, untunglah Mama Rizaldi adalah seorang PNS, dari gaji nya mereka bisa
makan dan membiayai sekolah nya.
Pihak sekolah
dengan persetujuan Rizaldi memasukan mama nya ke rumah sakit jiwa di Palembang,
mudahan di sana dia dapat sembuh total, dan kembali lagi bersama Rizaldi. Kini
Rizaldi pergi sekolah dengan rajin, prestasi nya meningkat dengan cepat, semua
pekerjaan rumah selalu di kerjakan, dan tanpa tidur di kelas lagi.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "SISWAKU, RIZALDI - EVA GUSSEVENTINI - Lomba Menulis Cerpen"