-->

Ambilkan Raportku! - Novi Dwi Anggraini - Lomba Menulis Cerpen




Ambilkan Raportku!
Novi Dwi Anggraini


Ujian semester pertama teleh usai, tinggal menunggu hasil yang tak lama lagi keluar. Para walikelas pun juga sibuk membagikan undangan kepada murid-muridnya. Masing-masing mendapatkan satu buah undangan. Begitu juga denganku, Resha.
Aku berjalan pelan menuju perpustakaan rumah yang bersebelahan dengan ruang tamu dilantai bawah. Kulihat Papa sibuk membolak-balikan halaman buku besarnya, dokumen penting.
“Pa.. Papa yang datang kesekolahku besokkan??”
“Kesekolah?”
“ Iya.. kesekolah, ambil raport aku”  Aku menyerahkan  undangan dari sekolah. Papa menggerakan matanya dari kanan  kekiri dan kembali lagi kekanan. Aku tau sebenarnya Papa tak membaca isi undangan itu, karena tak ada bacaan yang penting selain aset perusahaan bagi Papa.
“ Besok Papa ada meeting sama klien dari luar negeri, jadi kalau sampai Papa membatalkannya.. ini akan benar-benar merugikan perusahaan Papa. Sudahlah, minta Mamamu untuk itu”
“ Tapi Pa...”
“ Sudah sana..”
“ Emangnya sejak kapan Papa bilang  kalau klien Papa itu tidak penting? Semua yang bersangkutan dengan perusahaan Papa itu penting! Bahkan untuk sampah perusahaan pun Papa akan bilang itu penting! Lebih penting dari statusku sebagai anak Papa!!”
“ Reshaa..!! Resha Sharaina..!!”
            Aku segera membalikan badanku dan pergi meninggalkan Papa. Berjalan melewati ruang tamu yang gelap dan menuju kamar. Kulihat Mama sedang  asyik bermain dengan laptopnya diruangan itu. Mengurungkan niat untuk kekamar dan bertemu Mama adalah keputusan yang salah tapi itu sangat penting.
“Ma..Mama besok bisa kesekolah untuk ambil raport aku?”
Ia tak menjawab pertanyaanku, jangankan untuk menjawab melihatku pun tidak.
“ Bisa Ma..?”  tanyaku lagi. Mama hanya melirikku sebentar dan kembali fokus dengan laptopnya.
“ Besok Mama ada rapat penting.  Mama ditunjuk  sebagai ketua koordinasi lapangan jadi kayaknya enggak bisa deh Resha”
“ Oh, yaudah” jawabku datar dan segera meninggalkan Mama, rasanya tak perlu mengomentari jawabannya yang  sudah bisa kutebak.
“ Tapi Resha..” aku kembali membalikan badanku.
“ Iya ada apa Ma?” jawabku dengan sedikit berharap kalau Mama akan mengubah jadwal kerjanya besok.
“ Kamu kan bisa minta mbok Iyem untuk datang kesekolah”
“Hah?? Mbok Iyem?”
“ Iya mbok Iyem”
“ Tapi Ma, yang disuruh datang itu orang tua bukannya pembantu..”
“ Aduh Resha kok ribet banget sih, kan sama aja.  Mbok Iyem….” Mama memanggil pembantu yang sudah lama bekerja dirumah kami,sebelum aku lahir tepatnya 15 tahun yang lalu.
“ Udah deh Ma, biar aku sendiri aja yang ngomong sama mbok iyem”
            Aku berjalan menuju kamarku.  Menggerutu sendiri karena usul mama yang benar-benar gila “ mbok Iyem? mengambil raportku disekolah?  mbok Iyem kan bukan Mamaku, mendingan enggak dapat raport daripada harus Mbok Iyem yang datang ” . Sesampainya dikamar,  aku hanya bisa duduk diam ditepi tempat tidurku, memandangi langit-langit kamar sambil berharap akan ada bidadari yang turun untuk membantuku selain meminta mbok Iyem untuk datang mengambil raportku besok. Sebenarnya, untuk saat-saat seperti ini aku sadar bahwa mbok Iyem lah satu-satunya orang yang dapat membantuku untuk mendapatkan raport sekolah. Ah… tidak! Aku tak mau kejadian setahun silam terjadi lagi, kejadian yang sangat memalukan ketika aku masih di kelas 1 SMA. Kejadiannya sama, ketika itu Mama dan Papa juga sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing yang mengharuskan aku meminta mbok Iyem mewakili mereka mengambil raportku, tapi… apa yang terjadi? Ketika para wali murid yang lain telah ramai berkumpul, mbok Iyem juga belum datang. Aku  berusaha bersabar menunggunya. Dan tak lama kemudian aku mendengar kericuhan dari teman-temanku. Mereka berteriak sambil berlari keluar kelas.
“ Woy.. lihat-lihat ada ondel-ondel masuk sekolah!!”
“ Bukan.. itu bukan ondel-ondel tapi penari ronggeng kurang gaji”
“Hahahahaa…”
Mereka saling bersahut-sahutan. Aku penasaran dengan apa yang mereka bicarakan, akhirnya aku ikut berlari keluar untuk melihatnya, dan… Ternyata ondel-ondel itu adalah mbok Iyem yang berjalan melenggok dengan sanggul besar dibelakang kepalanya yang bulat, lipstik merah tebal serta kebaya kunonya itu plus dengan tas cangklong besarnya yang lebih mirip dengan goni plastik. Aku segera berlari menuju kamar mandi dan menangis disana. Rasanya sangat malu, dan benar-benar malu!
            Keesokan paginya, pembagian raport berjalan dengan lancar kecuali untukku. Segala jurus rayuan telah aku keluarkan, tapi tidak  berpengaruh bagi bu Farida sebagai walikelasku. Berkali-kali aku meyakinkannya bahwa orang tuaku akan datang setelah usai liburan sekolah asal aku mendapatkan raport tapi ia tetap bersikeras untuk menahan raportku hingga salah satu orang tuaku datang. Aku tetap merayunya dengan sesekali diselingi rengekan tapi Ia tak menggubrisku. Akhirnya, hari ini aku pulang tanpa raport yang hanya bisa kulihat dua kali dalam setahun itu.
Sesampainya dirumah aku melihat Papa telah duduk diruang tamu sambil membuka halaman surat kabar terbitan dua hari yang lalu. Mungkin Ia tidak bekerja hari ini, pikirku.
“ Uda pulang Pa?”
“Hah.. Resha, bagaimana dengan hasil raport kamu? Bagus kan? Tadi Papa menunda meeting karena ada tamu lain yang datang dan menawarkan program beasiswa selama 2 minggu keluar negeri untuk anak pekerja perusahaan yang berprestasi, jadi Papa pulang cepat untuk mendaftarkan kamu, sekarang mana raport kamu?”
“ Enggak ada Pa”
“ Enggak ada bagaimana?”
“ Kan  kemarin aku uda bilang sama Papa, yang bisa ambil raport itu orang tuanya wajib datang”
“ Tapi kamu sendiri tau kan, Papa sibuk.. sibuk Resha, lagian guru kamu itu yang sok hebat.. dia kira dia itu siapa! Berani-beraninya menahan raport kamu, emang dia enggak tau kamu anak siapa? Hardi Wijiyodiningrat keturunan keluarga darah biru sekaligus pengusaha terkaya.. bilang itu sama guru kamu! Kalau mau Papa bisa membayar berapapun harga raportmu itu! ”
Aku mengiyakan omongan Papaku yang mulai ngawur. Tak lama kemudian Mama datang,  rapat kerja koordinator lapangan utama juga dibatalkan karena bosnya berhalangan. Aku hanya tersenyum geli melihat Papa dan Mama telah berada dirumah pada pukul 11 pagi, 8 jam lebih cepat. Tak lama, kudengar suara gaduh dikamar mereka, aku mendekati kamar itu, menempelkan satu kupingku dipintu dan mendengar percakapan mereka.  Meski suaranya tak begitu jelas tapi aku tau kalau mereka sedang tuduh-tuduhan karena tak mau datang kesekolah untuk mengambil raportku, sementara fotokopi raport untuk mengurus beasiswa keluar negeri diperusahaan Papa harus selesai sore ini. Aku tak bisa melakukan apa-apa ketika mendegar suara pukulan dari Papa yang menampar Mamaku. Tanpa kusadari air mataku berlinang, mengalir dengan sendirinya. Aku berlari menuju kamar, melanjutkan tangisan yang belum selesai sewaktu berada didepan kamar  Mama-Papa. Selama ini aku sudah sangat sabar dengan kesibukan mereka tapi entah mengapa sekarang ini aku merasa kesibukan mereka dalam bekerja membuatku merasa kehilangan statusku sebagai anak yang mempunyai orang tua. Telah lama juga aku merasa kehilangan kasih sayang dari mereka yang membuatku kecewa telah lahir diantara keluarga ini.
            Aku menggeledah laci lemari kecil yang berdiri tegak disamping tempat tidurku, aku menemukan botol kecil yang beris pil putih yang telah lama aku abaikan. Aku mengambil beberapa buah dan mengunyahnya, tak ada rasa pahit atau apapun yang kurasakan saat pil itu menyentuh lidahku. Tak lama kemudian, aku merasakan sakit kepala yang lumayan menyiksa dan akhirnya aku pingsan!
Hampir setengah jam tubuhku tergeletak dilantai, tanpa alas apapun. Dinginnya lantai menembus kulitku hingga menusuk tulang-tulangku. Tiba-tiba ada  teriakan dari luar memanggilku, karena tak ada jawaban dariku Papa mendobrak pintu kamar dan menemukan  aku tertidur tanpa nyawa dengan mulut yang penuh dengan busa putih, efek dari pil putih yang sengaja aku kunyah.
Dan kini…..
“ Resha, ngomong dong sayang, ngomong.. Mamanya jangan dicuekin gitu..ngomong Resha ngomong..”
 Mama sedang asyik mengobrol dengan boneka kecilnya, upss.. kurasa itu bukan boneka melainkan mainan yang mengaku sebagai Resha, putri tunggalnya. Perusahaan pak Hardi sangat maju dan banyak menghasilkan uang tapi sayang uang pak Hardi tidak bisa mengembalikan anaknya yang telah meninggal atau menyembuhkan istrinya yang gila karena putri semata wayangnya telah mati. Uang pak Hardi yang banyak itu juga tidak bisa memberikan kebahagiaan untuknya. Sekarang pak Hardi hanya mempunyai uang tapi tak bisa mengisi kekosongan dan kesepiaan dihatinya. Lalu bagaimana denganku? Aku sekarang bahagia, bahagia banget karena uda ada di surga. Jadi aku tak perlu lagi repot-repot meminta mbok Iyem untuk  mengambil raport sekolahku. “mbok Iyem…. tolong ambilkan raportku dong…!”
0 Comments for "Ambilkan Raportku! - Novi Dwi Anggraini - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top