-->

BUY ONE GET ONE THOUSAND - Putri Balqis Assyifa - Lomba Menulis Cerpen



BUY ONE GET ONE THOUSAND
Putri Balqis Assyifa

“Ok-jawab ini: Siapa yang paling famous di sekolah ini?” Salfah memasangkan headset ke telinganya dan mengeraskan volume musik ketika berbicara.
            Di samping ia duduk, temannya Ocha yang mendengar pertanyaannya menjawab penuh keyakinan, “sudah pasti kamu, Salfah!”
            Memasukkan handphonenya ke dalam saku bajunya, Salfah berdiri dari tempat duduknya kemudian berjalan beberapa langkah ke depan dan berbalik ke arah Ocha, “jawabanmu memang tepat!” Salfah membalikkan badannya kembali kemudian melangkah pergi meninggalkan Ocha.
            “terkenal karena sifat burukmu” celetuk Ocha ketika Salfah sudah agak jauh dari tempat ia duduk. Kemudian ia menyunggingkan senyum sinisnya.
            Salfah memang terkenal di sekolahnya, tetapi terkenal karena sifat buruknya. Ia selalu di kritik oleh para guru ataupun teman-teman sekelasnya sehingga dia punya banyak sekali haters yang membencinya. Namun Salfah tidak pedulikan hal itu. Yang ia pikirkan hanya satu-bagaimana menjadi anak yang famous di sekolah ini- bahkan ia tidak memikirkan nilai-nilainya di sekolah yang terus saja mendapat nilai di bawah rata-rata.
            Gadis berambut pendek berwarna hitam kecoklatan dengan tindikan di sekitar telinga yang memiliki banyak haters ini senang sekali membuat onar di kelasnya. Akibatnya, ia dijauhi oleh yang lain. Teman yang ia punya hanyalah Ocha dari kelas yang berbeda yang sudah ia anggap sebagai teman yang setia. Padahal, orang lain sudah bisa menilai bahwa Ocha bukanlah seorang teman yang baik karena Ocha sering menggunjing Salfah dan menjelek-jelekannya dibelakang serta membuka semua aibnya sehingga satu kelas tahu akan keburukannya.

           
Tak hanya Salfah yang tidak punya teman di kelasnya, laki-laki yang berpakaian rapi dengan tatanan rambut hitamnya yang terurus dan hidungnya yang mancung ini juga tidak memiliki teman dari kelas manapun bahkan di kelasnya sendiri. Bukan karena kenakalannya ia dijauhi, tapi karena sifatnya yang ‘Unsos’ pada orang lain yang membuatnya selalu saja sendiri.
Kring..kring..kring, bel pulang sekolah telah berbunyi nyaring yang menyakitkan telinga. Para siswa menghambur ke luar kelas dan pulang ke rumahnya masing-masing. Berbeda dengan Salfah, setelah keluar dari tempat yang penuh dengan kumpulan aturan itu, ia sangat merasa bebas. Ia mengganti seragam abu-abunya menjadi pakaian anak rock kemudian pergi ke tempat biasa ia dan teman-teman rocker nya berkumpul hingga malam hari karena esok adalah hari minggu. Setelah puas bermain barulah ia pulang ke rumah bibinya.
Jalan ke arah rumah bibinya harus melewati jalan setapak yang begitu sepi tanpa ada seseorang melintas sekalipun. Di bawah langit malam yang hitam pekat dan ditemani suara jangkrik dan katak menambah suasana menjadi semakin sunyi dan membuat bulu-bulu tangannya merinding ngeri. Saat ia melintasi sebuah rumah yang tak jauh dari rumahnya yang dahulunya tampak kosong dan gelap sekarang mendadak menjadi terang dan bersih bagai rumah yang memiliki penghuni padahal dari dulu tidak ada yang menempatinya. Ia mencoba tak peduli pada rumah itu dan melanjutkan perjalanannya ke rumah.
Sesampainya di rumah, ia langsung dihadapkan pada mata bibinya yang penuh makna dan wajahnya yang menyiratkan kekhawatiran dan berbicara dengan nada lembut, “darimana saja kamu, Salfah?” ujar bibinya yang sedang memakai mukena biru bermotif bunga. “kenapa baru pulang?”
     “Salfah dari rumah teman. Salfah lelah, Salfah mau istirahat. Udah dulu ya” jawab Salfah dengan wajah lesu dan berlalu ke arah kamar. Sedangkan bibi nya hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku keponakannya itu.
Keesokan harinya, ketika fajar mulai menyingsing, Salfah sudah terbangun dari tidurnya dan beranjak ke arah ruang tamu. Ia mendapati sebuah kertas tebal yang bermotif batik berwarna peach keemasan tergeletak di atas meja dengan dibalut sebuah plastik bening. Salfah tertarik untuk melihat apa isinya. Ketika ia membuka kertas itu, tak lama kemudian air matanya menetes satu demi satu dan kemudian mengalir deras membasahi pipinya. Pasalnya, ia melihat undangan pernikahan ibunya sendiri. Hatinya sangat hancur bagai kaca yang sengaja dijatuhkan. Orang tua Salfah memang sudah bercerai sejak dia berada di SMP kelas dua. Orang tuanya tidak ada yang mau mengurusnya karena ego mereka. Akhirnya bibi Anisah-kakak dari ibunya Salfah- yang mau mengurusnya hingga sekarang. Saat ia masuk ke SMA ia mendapati bahwa ayahnya sudah mempunyai keluarga yang baru. Dan itu cukup membuatnya hancur. Dan kini, ia harus merasakan perasaan itu lagi. Dia benar-benar menjadi anak broken home sekarang.
    
Air matanya terus mengalir hingga ia tak kuat lagi menahan teriakan amarahnya dan berlari ke luar rumah. Tak tahu arah kemana ia akan melampiaskan amarahnya itu. Ia terus berlari dan berlari hingga ia kelelahan dan berhenti di sebuah lapangan hijau luas yang sunyi dan sepi. “Aaaarrgghhh!” teriaknya yang diiringi isakan tangis. “kenapa hidupku jadi begini! Aku menyerah Tuhan! Aku tidak bisa menjalani cobaan ini!”
     “Memangnya apa masalahmu hingga kamu mengatakan kata-kata putus asa seperti itu?” kata seorang laki-laki yang tiba-tiba muncul di belakangnya. “memangnya seberat apa masalahmu hingga kamu ingin menyerah?”
     “sangat berat! Hingga aku tidak bisa lagi memikulnya” jawab Salfah dengan tegas. “kau tidak akan pernah merasakannya bahkan jika aku menceritakannya padamu!”
     “ingat, di atas langit masih ada langit, dan di bawah tanah masih ada tanah” ujar laki-laki itu yang sontak membuat Salfah berhenti menangis ketika mendengar kata-katanya.

    
“apa maksudmu?”
     “di atas langit masih ada langit; di balik kesempurnaanmu, sesungguhnya masih ada yang lebih sempurna. Dibawah tanah masih ada tanah; di balik penderitaanmu itu, sesungguhnya masih ada yang lebih menderita”
     “memangnya ada lagi orang yang lebih menderita daripada penderitaanku ini?”
     “ya, ikut aku!” ujar laki-laki itu dengan mantap. “tapi sebelum itu hapus dulu air matamu”
Kemudian Salfah mengikuti laki-laki itu. Ia tidak asing dengan wajahnya yang begitu tenang. Si ‘Unsos’ itu, orang yang tidak memiliki teman, sama sepertinya.
    
Setelah lama berjalan menyusuri sebuah jalan setapak, akhirnya mereka berhenti di sebuah rumah yang semalam Salfah lihat. Rumah ynag tidak berpenghuni. “untuk apa kau mengajakku kesini?” tanya Salfah sambil mengernyitkan alisnya. “masuklah”
Kemudian Salfah masuk ke dalam rumah kosong tu. Ketika ia membuka pintunya yang sudah sedikit lapuk, ia mendapati kumpulan anak anak jalanan. Mereka sedang tertidur pulas di atas tikar yang tipis. Wajah mereka terlihat sangat lelah. “siapa mereka?” tanya Salfah penasaran.
“mereka adalah anak-anak yang terlantar, anak yang tidak memiliki keluarga, tempat tinggal, ataupun kasih sayang. Mereka hidup di jalanan. Kadang, mereka tidur beratapkan langit dan beralaskan bumi. Tapi itu bukan masalah untuk mereka melainkan sebuah pengalaman hidup yang berharga. Pengalaman hidup yang mahal, karena tidak mudah bagi orang lain untuk bersabar dalam keadaan seperti itu. Awalnya memang mereka menderita, tapi seiring berjalannya waktu, mereka justru menikmatinya. Dan rumah tak terpakai ini aku jadikan sebagai rumah tempat mereka sementara” jelas laki-laki itu sambil menatap satu-persatu anak jalanan yang sedang tertidur.
“mereka anak-anak yang kuat” ujar Salfah dengan nada lirih. “masalah mereka lebih berat daripada aku. Hidup mereka lebih menderita daripada aku. Aku memang wanita yang lemah”
    
“lagipula, apa masalahmu hingga kau terlihat kesal tadi?” tanya laki-laki itu.
     “orang tuaku sudah lama bercerai. Dan aku tinggal bersama bibiku karena mereka berdua tidak ada yang mau mengurusku. Dan pagi ini,aku melihat surat undangan pernikahan ibuku dengan pria lain. Dua tahun yang lalu aku juga menerima surat undangan pernikahan ayahku dengan wanita lain. Itu cukup membuatku sakit. Dan kini, aku merasakannya lagi.” jelas Salfah yang kemudian menitihkan air mata.

    
“jangan menyerah” jawab laki-laki itu. “aku juga pernah merasa hidupku benar-benar hancur. Saat itu ketika kedua orang tuaku meninggal karena kebakaran di rumahku. Saat itu rasanya aku ingin mati. Aku tak tahu jalan untuk pulang. Aku hanya berjalan dan berjalan hingga aku berhenti di sebuah masjid. Aku masuk ke dalamnya dan berdoa kepada ALLOH untuk menolongku saat itu. Kemudian aku dihampiri oleh seorang ustadz yang mau mengadopsiku sebagai anak hingga aku besar seperti ini. Aku tak menyangka akan dikabulkan secepat ini. Beliau mengajarkanku untuk kembali pada-Nya ketika aku dalam keadaan apapun. Beliau juga menyuruhku untuk selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Karena jika kita bisa melakukan hal itu, maka Dia akan memberikanmu hadiah yang tak akan kau sangka. Seperti istilah; Buy One Get One Thousand, aku hanya perlu mematuhi perintah-Nya juga menjauhi larangan-Nya, setelah itu aku mendapat kebahagiaan yang terus menerus mengalir di hidupku. Coba kau lakukan caraku itu, insya allah, kau akan dapat merasakannya juga. Tapi cobalah untuk melakukan hal itu tanpa ada syarat” jelas laki-laki itu.
    
“Baiklah, aku akan mencobanya. Terima kasih...” ujar Salfah yang seketika langsung menatap laki-laki itu seakan menanyakan siapa namanya.
     “Ali. Panggil saja aku Ali” jawabnya sambil tersenyum manis. “oh,ya. Satu lagi. Cobalah untuk berbusana muslimah dan berkerudung. Lepas tindikanmu dan cobalah belajar sholat. Bukan aku mengaturmu, tapi kau akan terlihat lebih cantik jika berkerudung dan lebih sempurna jika kau menjadi muslimah sepenuhnya” jelas Ali yang sontak membuat pipi Salfah menjadi merah.

    
“aku akan mempertimbangkannya. Tapi sepertinya bibiku sedang mencariku sekarang. Aku harus kembali ke rumah dan membantu bibiku di rumah. Aku pamit, Wassalamualaikum” ucap Salfah yang segera beranjak pergi dari rumah tersebut. “waalaikumsalam” jawab Ali yang melihat Salfah berlalu.
Salfah terus memikirkan kata-kata Ali kepadanya. “ternyata di balik sikapnya yang ‘Unsos’ tersimpan berjuta jiwa sosial. Tapi kupikir dia benar. Aku tidak boleh larut dalam kesedihanku, aku harus bangkit!” ucapnya yang membangkitkan semangatnya.

Keesokan harinya, Salfah membuat bibinya terkejut sekaligus bangga. Keponakannya itu telah merubah penampilannya menjadi lebih baik. Ia juga dikagetkan dengan sikap Salfah yang bangun sangat pagi untuk sholat tahajud yang dilanjut dengan sholat shubuh. Salfah memulai penampilannya yang baru dengan sebuah kain panjang yang ia pakaikan di kepalanya. Hijab, ia ingin mencoba berhijab. Dan itu kabar baik.
Ketika ia sampai di sekolah, dirinya itu membuat perhatian semua orang tertuju padanya. Teman-teman kelasnya cukup senang dengan perubahannya itu. Wajahnya yang putih dengan hidung mancungnya juga bulu matanya yang lentik itu dibalut dengan kain kerudung berwarna putih semakin menambah cantiknya Salfah.
Salfah juga mencoba cara yang diberikan oleh Ali. Benar saja, ia juga merasakan kebahagiaannya mulai mengalir di dirinya. Hatersnya mulai berkurang dan semakin banyak yang menjadi temannya. Nilai-nilai pelajaran sekolahnya juga berangsur-angsur membaik. Bahkan, ibunya pun mengunjungi Salfah untuk menawarkannya tinggal bersama ibunya. Tetapi ia menolaknya karena alasan tidak ingin meninggalkan bibinya yang sangat ia sayangi. Ia merasakan apa yang dirasakan oleh Ali, ‘Buy One Get One Thousand’ benar-benar terjadi padanya.
Kini Salfah sudah memantapkan hatinya untuk berhijab dan menjadi muslimah sepenuhnya. Dia melepaskan tindikan di sekitar telinganya dan berusaha menjaga lisan dan perilakunya. Guru-gurunya pun senang melihat perubahan penampilan muridnya.
“Apa yang membuatmu berubah, Salfah?” tanya para guru kepadanya dengan rasa penasaran.
Tetapi Salfah hanya membalas dengan kata-kata yang sama, “karena seseorang yang menjadikan sebuah cobaan seperti pengalaman hidup yang mahal dan berharga” matanya melirik ke arah Ali yang sedang menatapnya dari jauh, dia menyunggingkan senyum manisnya yang penuh makna.
0 Comments for "BUY ONE GET ONE THOUSAND - Putri Balqis Assyifa - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top