-->

That’s What Friend are For - Riska Iswanda Utami Mahadewi - Lomba Menulis Cerpen

That’s What Friend are For
Riska Iswanda Utami Mahadewi


            Aku Talita, siswi kelas tiga SMP. Aku memiliki sahabat bernama Nala, gadis lugu dan pendiam. Kita selalu bersama layaknya sepasang saudara kembar. Berangkat sekolah bersama, dikelas bersama, istirahat bersama dan pulang sekolah bersama. Tapi akhir-akhir ini Nala seperti menjauhiku.
Bel pulang akhirnya berbunyi, aku lihat Nala merapikan alat tulis dan memasukkannya ke dalam tas lusuh yang dipakainya sejak kelas delapan. Aku yakin sebentar lagi dia mengatakan....
            “Aku pulang duluan ya Talita, besok kita berangkat sekolah bersama.” Ya, kalimat itulah yang selalu aku dengar setelah bel pulang berbunyi.
            “Kita pulang bersama saja, ayo.” Aku menggandeng tangan Nala, wajah Nala berubah panik.
            “Tidak Ta. Eum, maksudku..maaf ak-aku..aku harus segera sampai ke rumah.” Nala menggelengkan kepalanya cepat dan melepaskan tanganku kemudian berlari meninggalkanku. Selalu seperti ini. Ada apa Nala? Apa kamu tidak mau bersahabat denganku lagi?
            Berjalan beberapa meter rasanya membosankan jika kita berjalan sendirian. Tapi berjalan berkilo-kilo meter dengan teman pasti rasanya menyenangkan. Dan sekarang aku berjalan sendirian tanpa teman, tanpa Nala. Lagi.
Pukul satu siang, langit terlihat gelap. Akupun mempercepat langkahku. Aku melewati sebuah gang kecil yang akan mengantarku ke rumah Nala. Kakiku melangkah menelusuri gang itu dan berhenti di depan rumah kecil. Warna catnya sudah kumal, beberapa bagian temboknya terkelupas dan jendelanya tertambal kardus. Aku mengetuk pintu kayu yang hampir rapuh itu.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam. Eh, kak Talita.” Seorang gadis kecil berusia 8 tahun dengan pakaian lusuh yang kebesaran membuka pintu dan langsung menyalamiku.
“Nia, kak Nala ada?” Tanyaku sambil jongkok, mensejajarkan tinggiku dengan Nia.
“Kak Nala belum pulang kak, biasanya kak Nala pulang setelah Ashar.” Jawabnya menatapku dengan tatapan polos.
Aku sedikit terkejut mendengar jawaban Nia.
“Memangnya kak Nala kemana dulu setelah pulang sekolah?”
“Nia tidak tahu.” Nia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Oh baiklah, kemana ibumu?”
“Ibu ada didalam, kakak mau masuk dulu?”
“Kakak mau pulang saja, sepertinya akan hujan. Sampaikan salam kakak kepada ibumu.”
Nia mengangguk kecil seraya tersenyum tipis.
***
Sudah 10 menit pelajaran pertama berlangsung tapi bangku Nala masih kosong. Kemana dia? Tadi pagi aku menunggunya di depan gang namun Nala tidak datang juga. Aku datang ke rumahnya tapi Nia bilang ia sudah berangkat. Ah Nala membuatku khawatir.
“Assalamu’alaikum.” Aku mengalihkan pandanganku ke pintu kelas dan mendapati Nala berdiri disana dengan wajah pucat.
“Dari mana saja kamu?” Tanya Bu Sri, guru Bahasa Indonesia dengan lembut namun tegas.
“M-ma-maaf Bu, tadi saya dari UKS.” Nala menundukkan kepalanya.
“Baiklah, saya ingin lihat isi tas mu.” Ucap Bu Sri.
Memang tadi sebelum pelajaran dimulai Ibu Sri melakukan razia mendadak. Ia memeriksa isi tas seluruh siswa dikelas dan ada beberapa yang ketahuan membawa handphone, alat make up, dan benda lainnya selain untuk kepentingan sekolah.
Kulihat Nala mendongakkan kepalanya, wajahnya terlihat semakin pucat.
“Semua murid dikelas ini sudah saya periksa isi tasnya kecuali kamu.”
Nala memeluk tas lusuhnya dengan erat, ia menggelengkan kepalanya dan Nala terlihat ingin menangis. Kenapa Nala? Aku yakin didalam tasnya tidak ada benda yang aneh.
“T-tidak Bu” Nada bicara Nala terdengar bergetar, sepertinya ia menahan tangis.
“Tidak apa-apa Nak, ibu hanya ingin melihat saja.” Bu Sri mencoba mengambil tas Nala. Namun Nala semakin mendekapnya erat. Nala menatap Bu Sri dengan tatapan seolah berkata ‘Demi apapun jangan ibu buka isi tas saya.’
Semua pandangan tertuju pada Nala dengan berbagai pikiran buruk, aku sendiri merasa heran dengan sikap Nala. Apalagi sekarang Nala sudah menjatuhkan air matanya. Nala menangis dan memohon kepada Bu Sri agar tidak membuka tasnya. Aku hanya bisa terdiam hingga Nala dibawa ke kantor oleh Bu Sri. Diam-diam akupun mengikutinya dan meninggalkan kelas.
“Apa yang ada dalam tasmu sehingga kamu tidak mau ibu mengetahuinya, Nala?” Bu Sri bertanya dengan hati-hati. Aku bisa melihatnya dari jendela kantor yang terbuka. Memang sangat tidak sopan, namun aku penasaran dengan apa yang terjadi pada sahabatku.
Nala hanya terdiam menunduk sambil mendekap tas lusuhnya. Sekian detik kemudian terdengar isakan tangis yang menyayat hati.
“Jangan menangis anakku, perlihatkan baik-baik apa yang kamu sembunyikan dalam tasmu.” Bu Sri mengusap pundak Nala. Nala perlahan-lahan meletakkan tasnya diatas meja dan membukanya.
Aku terkejut saat melihat isi tas Nala. Tidak ada benda-benda terlarang disana. Yang kulihat hanya ada bungkus plastik yang di dalamnya ada makanan sisa.
“Apakah ibu boleh tahu mengenai sisa-sisa makanan ini?” Bu Sri bersikap tenang dan meminta penjelasan.
“Sisa-sisa makanan ini adalah sisa sarapan para siswa yang masih bisa dimakan. Setiap hari saya mengumpulkannya dari kantin sekolah untuk saya makan sebagian, dan sebagiannya lagi saya bawa pulang ke rumah untuk ibu dan adik saya.” Terdengar isakan di sela-sela kata-kata yang Nala ucapkan, ia menarik nafas sebelum kembali bercerita. “Saya hanyalah gadis miskin yang tidak punya siapa-siapa lagi kecuali ibu dan adik saya. Saya terpaksa melakukan ini agar mereka tidak kelaparan. Maaf tadi di kelas saya bersikeras untuk tidak membuka tas saya. Ibu pasti mengerti. Saya tidak mau teman-teman mengetahuinya dan mengejek saya.”
Aku mengusap pipiku yang basah setelah mendengar cerita Nala. Aku merasa iba, sepertinya Bu Sri merasakan hal yang sama sepertiku. Maaf Nala, aku tidak membantu disaat kamu susah seperti ini. Aku berlari kembali ke kelas.
            Bel pulang berbunyi lebih awal karena hari ini akan ada rapat para guru. Nala belum kembali, akupun mencari-cari sosok Nala. Dapat! Nala sedang duduk di bangku taman sekolah. Aku segera menghampirinya dan memeluk tubuh kecilnya.
            “Kenapa kamu tidak mengatakannya padaku?”
            “Maaf. Aku hanya tidak ingin terus merepotkanmu.” Jawab Nala datar.
            “Tidak Nala, aku akan senang jika aku bisa membantumu. Justru dengan seperti ini kamu membuatku sedih. Aku kira kamu menjauhiku dan tidak mau bersahabat denganku lagi. Aku ingin tahu alasanmu yang selalu meninggalkan aku saat pulang sekolah.”
“Sebenarnya, setiap pulang sekolah aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku berkeliling sekolah dan berkeliling kampung untuk mengumpulkan barang bekas yang bisa kujual. Ibuku dirumah sedang sakit dan aku memerlukan biaya untuk berobat ibu.” Nala menangis di pundakku.
“Nala, aku ada sedikit tabungan. Ini bisa membantu ibumu untuk berobat.” Aku memberi uang simpananku pada Nala, namun Nala menggelengkan kepalanya.
“Tidak Talita, aku tidak ingin merepotkanmu.”
“Aku mohon La, demi ibumu. Aku ikhlas memberikannya.”
“Baiklah, tapi aku akan mengembalikan uangmu.”
“Terserah kamu saja. Satu lagi, aku mohon kamu jangan mengumpulkan sisa-sisa makanan lagi. Bekalku cukup untuk kita berdua. Dan soal makan ibu dan adikmu ibuku pasti akan senang membantu.”
“Tapi Ta..”
“Tidak apa-apa La, apa kamu tidak kasihan ibu dan adikmu makan makanan sisa?”
“Demi apapun, hal ini sangat tidak ingin aku lakukan tapi aku harus melakukannya. Aku terpaksa.”
“Nala dengar... Sebesar apapun masalahmu, jangan sungkan untuk berbagi pada sahabatmu. Tugas sahabat adalah membantu jadi biarkan aku menjalankan tugasku. Seorang sahabat akan merasa tidak berarti jika sahabatnya susah sendiri. Biarkanlah aku membantumu. That’s what friend are for.”
“Terimakasih Talita.” Ucap Nala memelukku.
“Sama-sama Nala.” Aku membalas pelukannya.
Aku salut dengan kesabaran Nala yang rela melakukan hal yang tidak ingin ia lakukan.

Just do what you want to do. Tapi tidak selamanya kita melakukan sesuatu yang hanya ingin kita lakukan. Terkadang kita harus melakukan sesuatu yang tidak ingin kita lakukan. Tentunya untuk kebaikan, mau tidak mau, suka tidak suka, memang kita harus rela melakukannya. Selama kita memiliki sahabat, tidak ada salahnya kita berbagi. Karena sahabat adalah tempat berbagi. Tugas sahabat adalah membantu.
0 Comments for "That’s What Friend are For - Riska Iswanda Utami Mahadewi - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top