ANGIN YANG MENERBANGKAN SURGA
Deva
Ariezta
“Mau
sampai kapan kamu mencari uang terus,Fatah?” tanya Umi sambil menghidangkan
makan siangku.
“Hingga aku mendapatkan jodoh,Umi.” Jawabku sekenanya.
“Jodoh itu di cari..Bukannya datang sendiri. Kau juga
harus berusaha,sampai kapan Umi dan Abimu mendapatkan seorang cucu?”
“Bukankah Umi akan terlihat tua,jika menimang-nimang
cucu?” jawabku sambil tersenyum.
Umi diam saja,mungkin dia telah lelah menasihatiku untuk
segera menikah. Aku juga ingin menikah,tapi..memang belum ada yang cocok
denganku.
“Umi punya seorang kenalan,ia memiliki putri yang sangat
cantik. Dia juga ramah dan sopan. Umi langsung menyukai saat pertama bertemu.”
Kata Umi sambil tersenyum,aku tidak memahami arti senyuman Umi itu. “Umi sudah
berbicara kepada Abimu,Ia juga kelihatannya setuju.”
“Setuju?..Setuju apa Umi?”
“Setuju untuk menjodohkanmu dengannya.”
Aku diam saja,Umi sering sekali mengatakan hal itu
padaku. Aku tidak tau kenapa Abi dan Umi sangat menginginkan aku untuk segera
menikah? Umurku memang sudah 27 tahun,tapi.. apa itu terlalu tua untuk
dikatakan seorang Bujangan?
“Kali ini,Umi tidak mau kau menolaknya. Umi ingin kamu
bertemu dan berbincang-bincang dengannya. Ta’aruf dulu baru memutuskan.” Tegas
Umi. Ia pun pergi ke dapur dan meninggalkan diriku.
Setelah perbincangan di Meja makan itu,membuatku tak
bersemangat. Bukan karena perjodohan yang di tetapkan oleh Abi dan Umi.
Tapi,aku takut jika aku tidak berkehendak dengan gadis pilihan mereka,Abi dan
Umi akan merasa kecewa.
Hari ini aku akan pergi ke toko untuk mengecek persediaan
dan pengiriman barang-barang ke luar kota.Aku memiliki toko Kain dan pabrik bahan-bahan
bangunan,aku biasanya bertugas untuk mengecek persediaan dan mengirimkannya ke
kota-kota lain.Alhamdulillah.. Tokoku sudah cukup mapan dan berkembang.
Saat perjalanan menuju toko,aku melihat seorang gadis
berjalan di hadapanku. Aku sangat mengenali gadis itu,dia adalah Aisyah. dia
terus berjalan sambil menundukkan kepalanya, aku tau dia adalah gadis yang
soleha –menurutku- dan baik. Aku mengenalnya saat kami sama-sama mengikuti
perkumpulan remaja Masjid antar desa. Kami tinggal di desa yang berbeda,namun
baik dia atau aku sama-sama mengikuti kegiatan agama di desa kami. Aku sedikit
menyukai kepribadiannya,bahkan aku sering bertanya kepada teman-temanku yang
satu desa dengannya.
Hingga sore hari tiba,aku baru pulang dari toko.
Sesampainya di rumah aku segera mandi dan mengambil air wudhu untuk
melaksanakan sholat maghrib berjama’ah dengan Abi dan Umi. Kegiatan seperti ini
sudah kedua orangtuaku tumbuhkan sejak aku masih kecil. Setelah sholat,aku
diperintahkan Abi untuk membaca Al-Qur’an,surat Adz-Dzariyaat dan saat aku
sampai pada ayat 49 hatiku bergetar. ‘Dan
segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan
kebesaran Alah. Q.s Adz-Dzariyaat:49.’
Adz-Dzariyat
adalah surat kedua yang aku sukai setelah Surat Maryam. Aku juga hafal kedua
surat itu,Abi sejak kecil memang Abi menyuruhku untuk sedikit demi sedikit
menghafal Al-qur’an. Setelah membaca Al-Qur’an,Abi mendekatiku dan menepuk
pundakku.
“Abi dan Umi tidak memaksamu. Kau sudah mapan,kau juga
telah di amanatkan nikmat serta rejeki yang begitu banyak oleh Allah.Kini
saatnya kau bertanggung jawab atas segala nikmat itu. Abi dan Umimu ini telah
tua,kami hanya ingin melihatmu membina rumah tangga dan memberikan kesempatan
bagi kami untuk menimang cucu-cucu kami.” Tegas Abi.
Aku diam,aku sangat memahami keinginan Abi dan Umi saat
ini. Namun aku harus apa?
“Abi dan Umi telah menemukan seseorang yang mungkin bisa
menjadi teman hidupmu, tempatmu menabur pahala-pahala,dan memenuhi kewajibanmu
sebagai umat islam.” Sambung Abi.
“Benar Fatah.. Umi minta kau Ta’aruf dengannya terlebih
dahulu. Setelah itu, keputusan apapun yang kau ambil,Abi dan Umi tidak akan memaksakan
kehendakmu lagi.” Kata Umi pasrah.
“Biarkan Fatah memikirkannya terlebih dahulu Umi,Abi.”
Jawabku.
Setelah sholat isya’ dan makan malam bersama,aku langsung
pergi ke kamarku. Sambil memandang langit-langit kamar,aku merenungkan
perkataan Abi dan Umi. Aku tidak menolak perjodohan ini,karena aku percaya jika
Abi dan Umi pasti memilihkan gadis yang baik lagi sholeha bagiku. Tapi..
sebenarnya diam-diam aku menyukai seorang gadis. Sejak pertama kali aku bertemu
dengannya,aku sudah sedikit terpikat padanya. Namun aku tak pernah berani untuk
mengutarakannya,bahkan kepada teman-teman dekatku.
Matanya
yang menawan,pipinya bersemu indah saat ia sedang malu,dia jarang berbicara
kepada lawan jenis,wajahnya pun berseri cantik bekas siraman air wudhu
–menurutku-. Astagfirullah.. aku tersadar dari lamunanku. Aku tidak sepantasnya
memikirkan seorang gadis yang bukan mahramku. Aku pun mengambil air wudhu lalu
pergi untuk tidur,dan sholat istikharah pada malam harinya.
“Baiklah... Aku akan melakukan Ta’aruf dengan gadis
pilihan Abi dan Umi.” Jawabku saat kami sedang sarapan.
Rasa bahagia jelas terpancar dari mata Abi dan Umi. Aku
sangat senang melihat pancaran kebahagiaan itu di mata mereka,meski hatiku
sedikit berat mengatakannya.
“Umi secepatnya akan mempertemukan kalian,Umi dengar
kenalan Umi itu akan datang dari kota dua hari lagi. Umi akan menyuruhnya untuk
bertamu ke rumah kita.” Ucap Umi senang.
Aku dan Abi hanya mengangguk. Setelah keputusanku itu,Abi
dan Umi tak henti-hentinya tersenyum. Dan itu malah membuatku semakin takut
jika aku akan menghilangkan senyuman itu dari mereka,aku benar-benar tidak bisa
konsen dua hari itu.
Saat hari pertemuan itu akan tiba,aku benar-benar gugup.
Aku seperti wanita yang hendak dilamar oleh pujaan hatinya,padahal sejatinya
aku pria yang tidak pernah gugup dalam hal apapun. Tepat jam satu
siang,keluarga yang hendak di jodohkan denganku datang ke rumah kami. Aku tidak
mengenal seorang pria berjas formil dan wanita paruh baya yang memakai jubah
merah muda itu. Abi dan Umi mempersilahkan mereka untuk duduk dan menghidangkan
beberapa makanan ringan untuk mereka. Abi pergi bersama pria berjas formil
itu,sedangkan aku,Umi dan wanita yang bernama Bu Risma itu berbincang-bincang
di ruang tamu.
“Dimana putri kalian?” tanya Umi tak sabar.
“Ah,dia tadi pergi ke toko sebentar. Entah membeli apa.”
Jawab Bu Risma.
Bu Risma memandangku,lalu berkata “Aku sudah tau banyak
tentangmu nak Fatah, tapi aku ingin bertanya padamu,boleh?”
“Tentu saja.. Insyaallah aku menjawabnya dengan jujur.”
“Saat aku bertanya pada putriku tentang perjodohan
ini,dia berpesan padaku.. jika kalian berjodoh,apakah kau akan menghentikan
aktivitas yang biasa ia lakukan?”
Aku diam sejenak,lalu menjawab “Insyaallah tidak.. jika
itu perbuatan yang baik dan bermanfaat bagi yang orang lain,aku sangat
mendukungnya.”
Bu Risma tersenyum. Tiba-tiba pintu kami di ketuk
seseorang,Umi menyuruhku untuk pergi membukakan pintu mungkin saja itu putri
dari tamu kami,katanya. Aku pun pergi sesuai perintah Umi,aku benar-benar tak
siap bertemu gadis itu. Saat pintu rumah terbuka,alangkah terkejutnya aku.
Gadis yang mengetuk rumahku adalah Aisyah,apa dia gadis yang di jodohkan Umi?
Ah.. mungkin saja ia hanya ingin bertanya padaku.
“Assalamu’alaikum.” Ucapnya sambil tersenyum.
“Wa’alaikumsalam.” Ucapku. “Hendak apa kau
kemari,Aisyah?” tanyaku.
“Em..Apa ini rumah Bu Nisa dan Pak Abdullah?” tanyanya.
“Iya.. itu Abi dan Umiku.” Terangku
“Aisyah..Kau sudah sampai?” tanya Bu Risma tiba-tiba.
Aku benar-benar bingung,kenapa Bu Risma mengenal Aisyah?
“Bu Risma mengenal Aisyah?” tanyaku
Bu Risma mengangguk, “Dia Putriku,dialah yang ingin ku
perkenalkan padamu.”
Hatiku seketika bergetar,aku tidak menyangka bahwa gadis
yang di jodohkan kedua orangtuaku adalah Aisyah. Gadis yang selama ini aku
impikan,gadis yang diam-diam aku sukai selama ini. Setelah berbincang-bincang
dengan Aisyah dan kedua orang tuanya,mereka mohon pamit. Setelah itu Abi dan
Umi mengintrogasi diriku layaknya Narasumber yang dimintai jawaban.
“Bagaimana menurutmu,Fatah? Abi tidak memaksamu terlalu
cepat menikah tapi....”
“Aku menerimanya,Umi.” Kataku menyela perkataan Umi.
Senyum bahagia tersungging di bibir Umi dan Abi. Bacaan
Tasbih,dan Tahmid tak henti-hentinya terurai di bibir mereka. Aku memang sudah
terpikat pada Aisyah sejak lama, dan aku benar-benar bahagia saat mengetahui
jika gadis yang dijodohkan itu adalah gadis pujaanku.
Ke esokan harinya aku pergi kerumah Aisyah untuk
melamarnya. Saat aku sampai di rumahnya,Aisyah tengah menyapu halaman rumahnya.
Saat mengetahui kami datang ia langsung mepersilahkan masuk dan memanggil kedua
orangtuanya.
“Saya kemari, ingin mengutarakan maksud saya untuk
meminang putri kalian. Sekiranya, Bapak dan Ibu berkenan merestui saya.”
Jawabku tegas meski ada rasa gugup.
“Kami menyerahkan keputusan putri kami padanya
sendiri,jika dia menginginkannya maka kami juga ikut senang.” Kata Pak
Amir,Ayah Aisyah.
“Aisyah..Bagaimana menurutmu nak?” tanya Umi pada
Aisyah,yang nampak tersipu malu di samping Ibunya.
Ia mengangguk. Seketika rasa bahagia menyelimuti
perasaanku,begitupun seluruh keluarga yang hadir saat ini. Orang tua kami pun
menetapkan tanggal baiknya,dan satu bulan kedepan kami akan melangsungkan
pernikahan.
Hari berganti hari,bulan berganti bulan,sudah satu bulan
setelah aku melamar Aisyah. Setelah dirasa semua persiapan sudah matang,akad
nikah kami pun segera di langsungkan. Tepat jam 10 pagi,dan semua undangan
sudah hadir akad nikah pun di langsungkan. Aku benar-benar gugup,karena
pernikahan adalah suatu hal yang sakral.
Mas kawin yang aku pakai adalah seperangkat alat
sholat,cincin permata,dan sedikit ayat al-qur’an yang akan aku bacakan. Sebelum
ijab qobul, aku membaca surat yang pernah aku bacakan sebelum keputusan ini
hingga aku menikahi Aisyah. ‘Dan segala
sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran
Alah. Q.s Adz-Dzariyaat:49.’ Aku mendengar tangis haru dari Aisyah. Setelah
membaca ayat itu,penghulu pun menjabat tanganku dan mengucapkan Ijab nikah.
Lalu
dengan satu tarikan nafas aku pun mengucapkan, “Qobiltu nikahaha watazwijaha bilmahdil madzkuri naqda.” Ucapku
tegas dan pasti.
“Sah?”
ucap penghulu.
“Sah...”
jawab semua undangan yang hadir.
Semua
undangan yang hadir pun mengucapkan hamdalah,begitupun dengan diriku. Setelah
berdo’a aku pun mencium kening Aisyah dengan perasaan bahagia,begitupun Aisyah
yang mencium tanganku. Setelah akad nikah,kami melangsungkan resepsi. Hari ini,
Angin-angin surga benar-benar menerbangkan butir-butir cinta ke dalam hati
kami. Aku berharap bahwa angin-angin itu terus menyejukkan serta menuntun kami
ke surga yang kami nantikan.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "ANGIN YANG MENERBANGKAN SURGA - Deva Ariezta - Lomba Menulis Cerpen"