-->

PAHITNYA SECANGKIR SUSU - Fitri Robiatul Adawiah - Lomba Menulis Cerpen

PAHITNYA SECANGKIR SUSU
Fitri Robiatul Adawiah

            Hujan di bulan Oktober cukup membuat bangun bulu kuduk dengan menggigil. Percikan bulir yang mendinginkan telah sukses membuat kain penutup badan basah kuyup. Langkahku berbalapan dengan loncatan air langit yang mengguyur sampai akhirnya menepi di garis finish pada sebuah cafe, tempat yang sudah dijanjikan seorang client bersamaku. Dengan spontan pintu cafe langsung terbuka saat kakiku melangkah untuk masuk kedalamnya. Seketika kehangatan menjalar di pori-pori yang sejak tadi hilir mudik dilalui angin dan air. Terlihat seorang perempuan paru baya berpakaian rapi gaya kantoran melambaikan tangan ke arah ku. Tidak salah lagi dia seorang client yang belum pernah bertemu denganku, tapi dia mengenaliku dari ciri-ciri pakaian yang aku uraikan di WA sebelum pertemuan ini berlangsung. Akupun langsung menghampirinya dengan senyum ramah. Diapun menyambutnya dengan senyuman hangat seraya menyodorkan tangan kanannya yang langsung disambut halus oleh tangan kanan ku yang beku akibat timpaan reruntuhan tetes air yang menuruni awan-awan sampai ke bumi tempat aku berpijak.
“mba Ica tangannya dingin sekali, pasti kedinginan karna kehujanan ya mbak?”
aku hanya tersenyum menjawab kekhawatiran clientku yang akrab dipanggil ibu Susan seraya duduk di kursi yang saling berhadapan dengan beliau, hanya satu meja bundar yang mengahalangi kami. Kemudian Ibu Susan menyodorkan cangkir berwarna merah marun dengan piringan kecil dibawahnya.
“tadi saya sengaja memesan susu hangat untuk mba Ica,di cuaca seperti ini susu hangat  sangat cocok untuk menghangatkan suhu badan akibat hujan diluar sana. Tuh, mba Ica sampe basah kuyup gitu. Ayo diminum susu nya mba, mumpung masing hangat.”
Raut cemas sangat terlihat bak jiwa perhatian seorang ibu kepada anaknya. Sifat keibuan beliau hadir mencairkan keakraban diantara kami.
“apa? Susu?” dalam hati aku berteriak.
Aku merasakan guncangan hebat dalam hatiku. Aliran darahku tidak stabil. Dadaku sesak tercabik-cabik oto-otot syaraf yang memberontak akibat secangkirn susu terlihat oleh kornea mataku. Rasanya sangat mual, ingin sekali aku memuntahkan serpihan memori tujuh tahun silam saat aku bertengger di perguruan tinggi semester tiga jurusan peternakan. Luka yang hampir kering kembali tersuat-suat.
“Ica, ayo sarapan. Nanti telat masuk kuliyahnya.”
“iya mah, sebentar lagi aku turun.”
Dengan bergegas tanganku meraih botol farfume di meja rias lalu menyemprotkannya ke arah pakaian yang aku kenakan. Kemudian aku keluar menuruni anak tangga menghampiri mamah yang seorang diri berada di tempat makan, biasanya disana ada papah. Sudah dua minggu ini papah tidak pulang karena ada pekerjaan di luar kota. Papah memang sangat sibuk mengurusi peternakan sapi dan perusahaan produksi susu sapi murni yang sudah di ekspor ke luar negri. Inilah salah satu alasan mengapa aku mengambil jurusan peternakan. Secangkir susu adalah santapan wajib bagi keluargaku. Tenggorokan ini tidak pernah kerig dialiri air susu yang sangat manis dan menyegarkan seperti yang saat ini aku teguk hingga tetes terakhir. Dalam satu hari bisa lebih dari tiga kali aku menyantapnya. Selesai sarapan, aku pun langsung meraih tangan mamah untuk ku salami lalu bergegas untuk berangkat ke kampus. Saat aku membuka pintu, ternyata sudah ada papah yang baru saja keluar dari mobil nya. Dengan gembira aku menyambut kedatangannya, tapi tidak biasanya respon papah sangat dingin terhadapku. Fikirku mungkin papah kelelahan setelah mengurusi pekerjaannya diluar kota. Dengan penuh semangat, kakiku melanjutkan langkahnya menuju kampus dengan menaiki busway. Tapi entah kenapa sebercak noda mengganjal hati seperti akan ada sesuatu yang terjadi. “Ah, mungkin hanya perasaanku saja.” Hati kecil ku menepisnya.
            Padatnya kegiatan kampus berhasil mengelabui alam bawah sadar yang tak merasakan bahwa semburat senja telah terpancar di langit-langit sore. Namun ada segumpal awan hitam di sana hingga senja hari ini tidak berwarna jingga seperti biasanya, warnanya hitam pekat seperti malam hari, hanya saja tidak ada bulan dan bintang yang bertengger di sana. Karena kegiatan perkuliyahan sudah selesai, akupun hendak pulang ke rumah. Dengan langkah kaki menjinjit akibat genangan air di jalanan sebab hujan yang mulai mengguyur, tujuanku yaitu sebuah halte di depan kampus tempat biasa mahasiswa menunggu busway. Sebersit goresan mulai kembali muncul mencubit hati yang membuat pikiran melahirkan hal-hal negatif. Entah dari mana cubitan ini berasal. Seperti sebuah firasat. Hujan pun semakin deras mengeroyok bumi. Tanpa sengaja mata ini melihat sosok yang tidak asing di sebrang jalan tepat di depan gerbang les bahasa inggris untuk anak sekolah dasar di balik tirai-tirai hujan yang menurun vertikal.
“papah..”
Dengan memakai sebuah payung, papah terihat menggandeng seorang perempuan. Mereka terlihat sangat dekat dengan satu buah payung berdua. Aku tak mengenali siapa yang bersama papah. Mungkin karna terhalang oleh air deras yang turun sampai aku tak begitu mengenali saudara papah,mungkin. Tapi mataku terus memperhatikannya. Rasa penasaran terus memuncak karna ingin menjawab pertanyaan yang dilontarkan hati kecilku akan identitas perempuan tersebut. Akhirnya aku menerobos tirai-tirai hujan dan merelakan seluruh tubuh  basah kuyup terkena reruntuhan air yang deras. Jalanan juga tidak ramai oleh kendaraan sehingga memudahkanku untuk menyebrang, sekedar ingin memastikan bahwa yang disebrang jalan adalah papah. Ya, benar saja itu papah, tapi aku tetap tidak mengenali perempuan yang bersama papah. Niat ingin menghampiri mereka aku urungkan sejak kedatangan seorang gadis berkepang dua yang mengenakan jas hujan berwarna merah muda transparan sehingga seragam merah putih yang dikenakannya terlihat. Gadis mungil itu menghampiri mereka dan memanggil dengan suaranya yang masih cadel
“ayah..bunda..”
Akupun sangat tercengang mendengar kalimat ayah-bunda yang di tujukan anak tersebut kepada mereka. Mereka bertiga sangat akrab dan terlihat seperti keluarga yang harmonis yang kemudian memasuki sebuah mobil yang tak asing. Iya, itu mobil papah. Seketika kedua kaki ku menjadi kaku dan sulit untuk digerakan, aku diam mematung menyaksikan drama yang baru saja aku saksikan. Ada keinginan mengejar mobil papah untuk sekedar menanyakan bahwa yang baru saja aku lihat hanyalah sebuah mimpi di siang bolong. Aku tetap diam mematung di pinggir jalan menunggu petir yang menyambar membangunkan mimpiku di siang bolong. Tapi nyatanya petir terus menyambar dan hujan semakin deras, ini bukan siang bolong tapi senja mendung yang membawa realita dalam hidup yang harus aku teguk dengan pahit bahwa seorang lelaki yang aku anggap pahlawan memiliki istana kedua.
Tiba-tiba badanku sangat menggigil, angin yang hadir bersama hujan begitu menusuk kulit. Taxi yang kebetulan lewat aku hentikan dan bergegas aku masuk kedalamnya. Tatapanku kosong, tak mengerti dengan takdir tuhan yang terjadi. Seketika handphone dalam tas berdering. Aku langsung mengangkat nomor tak dikenal itu, ternyata bibi, adik kandung mamah yang dari Bandung datang ke Jakarta dan mengabarkan sesuatu
“APA? Mamah masuk ICU?”
Aku langsung meminta supir taxi untuk meminta putar arah menuju rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, bibi langsung memeluk tubuh basahku dengan erat, air mata yang aku bendung tak lagi tertahan, aku menjerit tak terkendali. Dari balik pintu ruang ICU yang berkaca aku melihat tubuh mamah dipasangi banyak selang, hatiku sangat teriris tak tega melihat tubuh mamah yang terbaring lemah tak berdaya.
Mamah terkena serangan jantung, aku sangat kaget mendengar tuturan dari bibi, pasalnya belum pernah sama sekali mamah mengalami hal seperti ini, mamah adalah orang yang disiplin dalan kesehatan dan kondisinyapun baik-baik saja saat aku perhatikan tadi pagi waktu sarapan.
“penyakit ini memang turunan dari ayah kami, yaitu kakek kamu yang mempunyai riwayat penyakit jantung.” Lanjut bibi menjelaskan seraya mengelus-elus pundakku.
Aku masih terus menatap lekat para medis dari balik pintu kaca yang sedang menangani mamah di ruang ICU. Tiba-tiba terlihat komputer pendeteksi detak jantung mamah bergaris lurus horizontal dan para medis terlihat panik, mereka mengambil alat pemancing detak jantung lalu ditempelakannya alat tersebut ke dada mamahku. Tak ada respon sama sekali, mamahku tetap berbaring. Para medis pun tak menyerah dan terus menempelkan alat tersebut pada dada mamah, namun tak ada respon. Terlihat para medis menggeleng-gelengkan kepala mereka dan saling bertatapan satu sama lain. Aku tak mengerti isyarat apa yang mereka tunjukan, aku histeris karna takut terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan pada mamah. Tapi bibi terus berusaha menenangkanku walaupun aku tahu ia pun sangat ketakutan. Salah seorang suster terlihat menutupkan kain selimut yang dikenakan mamah menutupi wajah mamah dan itu artinya, aku pun menjerit dan langsung tak sadarkan diri.
Mamah terlihat sangat bahagia dan senyumnya pun begitu merekah, ia sangat anggun mengenakan gaun berwarna putih dan juga kerudung yang teruari panjang. Aku sangat senang melihat mamah terlihat lebih bercahaya. aku pun menghampirinya
“Ica, bersabarlah, nikmati takdir yang sedang kau jalani, jangan cemaskan mamah. Disini mamah sangat bahagia. Kamu harus tau penyebab mamah bahagia berada disini karena apa. Yaitu papah kamu. Iya, papah kamu yang dari awal menikah tidak pernah mencintai mamah, tapi dengan tulus dan senang hati mamah melayani papah kamu tanpa sedikitpun meminta balasan cinta dari papah kamu. Tapi Allah membalas semua keikhlasan mamah terhadap papah kamu disini. Mamah berpesan jangan pernah kamu membenci papah kamu, sampai kapanpun.”
Sayup-sayup suara mamah menghilang dan yang aku lihat ternyata kerumunan orang-orang yang melayad jenazah mamahku. Mimpi yang baru saja aku alami seperti nyata, aku pun langsung melihat jenazah mamah yang terbujur kaku akan tetapi ia tersenyum, dan senyumnya begitu merekah seperti yang aku lihat dalam mimpi ketika aku tak sadarkan diri. bibi yang melihat aku siuman langsung mendekapku erat. Aku menyelidik orang-orang yang datang ke rumahku, tidak ada lelaki yang ku panggil papah ada diantara mereka yang turut berbela sungkawa.
Sejak sepeninggalnya mamah, aku memutuskan tinggal di Bandung bersama bibiku. Ia sangat menyayangiku seperti seorang ibu kepada anaknya. Kuliyah peternakan di Jakarta aku tinggalkan dan sudah dua tahun aku memulai kehidupan baru di kota parahyangan ini. Kuliyah designer menjadi pilihan hidupku.
Suatu malam berbintang bibi menyodorkan secangkir susu hangat padaku,
“mungkn ini saat yang tepat untuk kamu tahu latar belakang mamah dan papah kamu.”
Aku yang sedang asyik menggambar design-design tertegun mematung mendengar bibi tiba-tiba berkata seperti itu.
“ayah kami, yaitu kakek kamu adalah seorang peternak sapi yang sukses di Bandung ini, sapi nya banyak dan berkualitas, sehingga banyak para pengusaha dari luar kota yang ingin bekerjasama dengan kakek, apalagi para produsen susu sapi. Suatu hari kakek didatangi seorang pengusaha produsen susu sapi dari Jakarta, dia menawarkan bekerjasama dengan kakek dan keuntungan yang ditawarkan pun sangat besar. Akhirnya mereka pun bekerjasama, dan baru beberapa bulan usaha mereka sukses dan saling menguntungkan keduanya, sampai-sampai susu produksi mereka di ekspor ke luar negri. Karna usaha yang mereka jalankan sangat sukses, akhirnya mereka memutuskan untuk melanjutkan usaha tersebut dengan cara menikahkan putra putri mereka, yaitu mamah dan papah kanu. Karena mamah kamu adalah orang yang penurut, akhirnya mereka berdua pun menikah. Dan mamah kamu dibawa pindah ke Jakarta. Bibi dan mamah kamu sangat dekat hingga setiap saat pasti saling bercerita lewat telepon. Mamah kamu bercerita bahwa suaminya sangat dingin dan dia terlihat tidak bahagia dengan perjodohan ini. Akhirnya papah kamu meminta izin untuk menikah lagi dengan perempuan yang dicintainya tapi tanpa sepengetahuan keluarga. Dengan ikhlas mamah kamu mengizinkan dan menyembunyikan pernikahan sah papah kamu dengan madunya. Hanya bibi yang tahu masalah ini. Tapi pernikahan papah kamu dengan istri keduanya tak kunjung dikaruniai seorang anak. Dan mamah kamu sedang hamil kamu saat itu. Setelah lahir kamu, mereka membuat perjanjian akan bercerai ketika kamu genap berusia 20 tahun. Dan kemarin,saat ulang tahun kamu yang ke 20, papah kamu resmi menjatuhkan talaknya untuk mamah kamu dan memilih tinggal bersama istri kedua dan anaknya yang baru kelas dua sekolah dasar. Mamah kamu orang yang luar biasa. Dibalik senyumnya, tersembunyi sandiwara besar. Dihadapan kamu, dia sangat tegar dan membungkus rapi semua masalah nya dengan papah kamu. Tapi meskipun begitu,mamah kamu tetap patuh melayani papah kamu dengan ikhlas dan selalu mencintai papah kamu yang dingin.”
Sejak saat itu, aku mengerti kata ikhlas dan tulus tanpa mengharapkan balasan meskipun itu dalam urusan cinta. Dan semenjak itu pula secangkir susu menjadi sangat pahit dan tidak menyegarkan lagi.
“Terimakasih bu Susan, tapi maaf saya tidak suka susu.” Seraya menyodorkannya sedikit ke tengah-tengah meja.

Sudah lima tahun ini, secangkir susu sangat asing dalam hidupku karena rasanya yang berubah menjadi pahit. Tapi tidak dengan seseorang yang aku panggil PAPAH.
0 Comments for "PAHITNYA SECANGKIR SUSU - Fitri Robiatul Adawiah - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top