-->

Bukan Sembarang Mimpi - Euis Ittauli Malau - Lomba Menulis Cerpen

Bukan Sembarang Mimpi
- Euis Ittauli Malau -


                Perkenalkan, namaku Andrauli. Andrauli Malaon. Kalian bisa panggil aku Andra, Uli ataupun Mala. Tapi jangan dengan Laon, apalagi kalau sampai diplesetkan menjadi La(e)on. Yang pasti, aku ini bukan singa. Walau memang sama-sama Mamalia, tapi itu beda ceritanya.
            Aku cuma gadis 15 tahun lebih 8 bulan yang tinggal di sebuah desa kecil di pelosok-pelosoknya Indonesia bagian Barat. Tepatnya Pulau Sumatera, Sumatera yang paling-paling-paling Utara. Remaja kurang pergaulan dan kurang up to date. Dan yang tak kalah menyedihkan lagi: kurang terkena sinar globalisasi. Mungkin karena terlahir jauh dari ibukota, mungkin seperti itu. Suka musik, suka baca cerita remaja yang bikin baper, dan suka dia. Dia yang tak pernah tahu, apakah aku pernah singgah di pikirannya barang sebentar saja, atau selama ini aku hanya bermimpi sendirian.
            Tak perlu panjang lebar bicara tentang cinta, kalau diceritakan, kisah cintaku akan lebih mengenaskan dari Jodi yang ditinggal mati pacarnya. Jauh lebih menyedihkan dari Isabella yang harus berpisah dengan kekasihnya karena perbedaan adat. Tapi bisa jadi, siapa tahu, akan lebih menyenangkan dari Ibu dan Ayah, yang katanya dulu tak lama pacaran, tapi bisa hidup bahagia sampai sekarang.

Sebenarnya ceritaku sangatlah konyol. Tapi biar kuperingatkan kalian sejak awal, kalau kisah ini sungguh sangat tidak masuk akal.

Entah bagaimana bisa terjadi, faktanya adalah aku seorang mahasiswa salah satu Universitas masyhur negeri ini, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Mungkin waktu atau apa yang telah membawaku hingga menjadi mahasiswa semester pertama Prodi Ilmu Hubungan Internasional di sini.
            Tak perlu heran dan bertanya-tanya:  “Mengapa harus Ilmu Hubungan Internasional?”  karena lulusan dari Prodi ini, dipersiapkan untuk menjadi duta atau konsul atau diplomat atau apalah itu, yang nantinya jika beruntung, akan menjadi wakil Indonesia di seluruh negara di belahan dunia ini. Menarik bukan? Bayangkan kalau aku sampai ditugaskan di Kedutaan Indonesia untuk Korea Selatan. Aku akan berpeluang bertemu aktor tampan Song Joong-ki atau aktris cantik Song Hye-kyo. Aku akan meminta tanda tangan dan mengambil beberapa foto bersama! Jika Tuhan mengizinkan, aku akan menikah dengan seorang pengusaha di sana dan hidup bahagia selama-lamanya. Oh.. indahnya.
            Tapi bayangan itu dulu. Sebelum aku terjun langsung bergabung ke fakultas itu. Malah sekarang, aku lebih banyak menyesal dan meratapi masa lalu. Kalau saja dulu aku mendengar nasihat ibu untuk masuk Akademi Kebidanan saja, mungkin tak akan semalang ini nasibku. Seorang gadis perantau yang tak bisa pulang kalau libur semester datang, karena terhambat mahalnya tiket naik Garuda.

-o-

            Hari itu di lapangan kampus semua junior sepertiku berbaris rapi. Mengenakan kemeja putih-hitam, seperti anak-anak sekolah minggu yang ingin ikut Natalan. Di tengah-tengah barisan kami, menyelinap beberapa makhluk beralmamater menyebalkan utusan Iblis dari Neraka, katanya itu senior. Dan apapun, bagaimanapun itu, sekarang aku benar-benar tidak peduli. Peluh yang terus berlomba menetesan, sudah memenuhi wajahku sebesar biji-biji jagung. Maklumlah, anak rantau dari kampung yang berhawa dingin, tiba-tiba terpaksa harus menyesuaikan diri di kawasan paling padat penduduk, sesak, dan bersuhu di atas rata-rata.
            Karena panas yang tak lagi tertahankan dan Pak Balia di podium sana belum juga selesai ceramahnya, aku pun pingsan. Salah satu hal bodoh yang sering terjadi di barisan. Tapi jangan salahkan aku,  salahkan Pak Balia yang tak juga bisa diam.
Bola mataku mulai menerawang jauh tanpa tatapan pasti. Tempat ini ternyata UKS. Dan tentu saja, aku masih di bumi, aku belum mati. Sebenarnya, aku tidak tahu bagaimana secara pasti kronologisnya bisa sampai di sini. Aku pingsan, ingat. Terakhir, aku sepertinya dibopong seseorang, ya seorang pria tampan semoga. Kemudian terbesit sosok pria malaikat tadi. Aku mencoba  mencari tahu keberadaannya. Namun sayangnya, aku tidak menemukan siapapun.
Berarti benar, pria itu seorang malaikat.
Tak perlu waktu lama, seseorang datang membuka pintu dengan kantong plastik putih di tangannya.
“Udah bangun?”
Aku hanya menunduk, masih bingung dengan pria pertama yang ku temui di tempat membosankan ini.
 “Makanlah dulu.”
Lelaki itu menyerahkan sepotong roti coklat. Aku tak henti-hentinya memerhatikan wajah lelaki ini.
Pasti dia orang yang telah menolongku tadi, pikirku.
 Berarti aku salah.
Dia hanya seorang manusia biasa.
Namun manusia biasa kali ini, memang berhati malaikat.
“Gak perlu lihat selekat itu juga.” katanya dengan mata coklat teh yang bersinar meledek. “Aku Iqbal Dhiristian. Pake Q. Iqbal A nya satu.”
Aku serasa memutar bola mata, ekspektasiku akan dirinya hancur seketika. Baru kali ini rasanya aku mendengar momen perkenalan seperti itu.
“Kenapa?” tanya Iqbal, “Aku cuma gak mau kamu salah, kalau nanti nulis namaku di buku nikah kita.”
Aku seperti sudah terbiasa memutar bola mata, merasa jijik dengan kalimat gombal yang biasa dilontarkan pria-pria sebelumnya. Tapi Iqbal Dhiristian ini: adalah pengecualian. Dan aku benar-benar tidak tahu apa alasannya.
“Apa?” kali ini aku yang bertanya, setelah mendapat tatapan dalam dari Iqbal.
“Menurut pengalamanku, kalau seseorang sudah memperkenalkan dirinya, harus ada yang balas memperkenalkan diri.”
“Andrauli Malaon. Seperti yang kau lihat, aku junior. Korban ceramah Pak Balia dan aku haus. Jadi aku duluan, ya. By the way, makasih.”
Lalu aku beranjak pergi.
Menuju pintu tanpa menengok ke belakang. Tanpa sempat melihat lagi pria itu dengan matanya, takut jatuh cinta. Dan sekali aku jatuh cinta, aku bisa jatuh dengan keras.
“Andrauli,” suara dari belakang menghentikan langkah kaki kananku. “Pisang uli” aku melihat Iqbal yang tertawa dengan mata tertutup.
“Apa lagi?” tanyaku cepat.
Dengan senyum setengah meledek, “Ketemu lagi, ya, nanti.” menjadi kalimat terakhir yang Iqbal Dhiristian ucapkan hari itu.

-o-

            Beberapa hari setelah hari itu, ingatan akan Iqbal tidak mudah pergi begitu saja. Dia seperti telah menarikku dalam-dalam dan tak membiarkanku berlalu. Tak lama sejak saat itu, tak pernah lagi kulihat penampakannya. Satu pertanyaan; Dimana Iqbal, Iqbal Dhiristian?
            Aku semakin ingin tahu saja. Aha! Gean Semeru. Gean sepertinya sahabat Iqbal. Di setiap bayang-bayang Iqbal, selalu ada Gean. Aku menyusuri seluruh ruas kampus, ku cari Gean di segala sudut. Hingga aku sampai di depan pancuran, di tengah kampus UI. Walau dalam keadaan terengah-engah dengan cepat aku langsung menetralisirnya, karena ini menyangkut Iqbal.
Gean tampak kebingungan. Maklum saja, dia tidak kenal aku siapa. Mungkin dia pikir aku perempuan gila yang ingin mengejarnya.
“Kamu Gean, kan?”
Gean menunduk mendengar basa-basiku pertanda: iya.
“Kenalkan aku Andrauli, anak Prodi HI. Aku ke sini cuma mau nanya, Iqbal dimana ya? Akhir-akhir ini aku seperti tidak pernah melihatnya.”
Ekspresi Gean langsung berubah drastis ketika aku mengucap nama Iqbal. Dia tiba-tiba diam tanpa kata. Sebenarnya ada apa dengan Iqbal?
“Apa kau memang tidak tahu?”
Aku menggeleng bingung. “Iya, memangnya ada apa?”
Aku langsung seperti terkena sambar petir saat mendengar penuturan Gean. Hanya tujuh kata, memang, tujuh kata. Tapi, itu benar-benar menghujamku begitu dalam.

“Tiga hari lalu, Iqbal kecelakaan, Iqbal meninggal.”

            Aku lemas. Kakiku seperti tidak kuat lagi menahan berat badan. Aku terduduk di pelataran kampus. Menunduk dalam-dalam, mencoba mencerna maksud dari semuanya. Ini begitu sakit, sangat sakit. Aku sudah terlanjur jatuh hati. Air mataku terus jatuh, tak peduli lagi dengan buruknya penampilanku.
            Tiba-tiba aku merasa percik-percik air hujan turun membasahi tubuhku. Ku angkat kepala seraya membiarkan hujan turun lebih leluasa. Ku buka mata perlahan dan ku temuilah Ibu dengan gayung oranye berisi air di tangan kirinya. Tak ketinggalan, roman wajah jengkel juga terlukis di raut wajahnya.
Aku bingung, heran. Apa yang sebenarnya terjadi? Ku lihat ke sekeliling, ini ternyata kamar tidurku dan aku, aku tertidur masih dengan mengenakan pakaian sekolah!
“Mau sebesar apa lagi kau, hah? Sudah jam berapa ini? Baju sekolah pun belum diganti!”
Itu dia Ibuku. Ibuku seorang Rapper profesional yang selalu ku rindukan.
            Aku langsung bangkit, berlari mencari Adik untuk menjelaskan semua ini. Setelah sekian lama mendengar penjelasannya, aku pun tersenyum aneh. Merutuki kebodohanku yang benar-benar tak bisa ku percaya. Menurut Adikku, sepulang sekolah aku langsung menuju kamar tidur. Sudah lama tidak jua keluar, didapatilah aku sudah tertidur lelap. Kata Ibu, aku tidak perlu dibangunkan, mungkin aku lelah setelah harus bertemu dengan 3 les mata pelajaran Matematika di sekolah. Hmm.. Ibuku yang pengertian.
            Setelah selesai mandi, aku duduk dan kembali merenung. Mengapa Iqbal? Aku bahkan jarang mendengar nama orang seperti itu. Mengapa Universitas Indonesia? Aku bahkan tidak pernah berpikir untuk kuliah ke sana.
Apa mungkin ini efek dari motivasi Pak Panjaitan di sekolah tadi? Pernyataan artistiknya benar-benar memenuhi kelas kami di les terakhir, les paling rawan akan rasa kantuk itu. Membuat kami jauh lebih hidup. Mengenalkan nama-nama baru yang sebelumnya, sangatlah janggal di telinga kami. Membuka harapan besar bagi putra-putri daerah masuk dalam seperti kami. Tidak terkatakan memang. Sungguh..
“Kalian harus punya mimpi! Beranilah bermimpi menginjakkan kaki ke Perguruan Tinggi Negeri masyhur Indonesia ini! ITB; di Bandung. UI; di Banten. UGM; di Yogyakarta. Tak ada yang tak mungkin bagi kalian!”
Sungguhlah mahadasyat kata-katanya, benar-benar bisa menghipnotisku dan mengantarkanku ke salah satu Universitas itu. Walau hanya dalam mimpi, memang.
            Satu hal yang dapat kumaknai dari kejadian itu. Mimpi kali ini, bukan sembarang mimpi. Ini mimpi yang sama yang HARUS ku temui kembali di masa depan. Bukan berarti aku terobsesi dengan seseorang dari masa depan yang bernama Iqbal, bukan, bukan begitu. Tapi aku HARUS benar-benar bisa mengenakan almamater pusaka berwarna kuning itu. Aku tidak akan takut bermimpi lagi. Karena aku: Sang Pemimpi. Tanpa mimpi orang sepertiku akan mati. 
0 Comments for "Bukan Sembarang Mimpi - Euis Ittauli Malau - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top