-->

Bingkisan Sirih Terakhir - Vidra Revy - Lomba Menulis Cerpen

Bingkisan Sirih Terakhir
Vidra Revy

            Hawa panas mulai terasa ketika mobil Pak Jumadi memasuki pekarangan rumah. Sambil menggulung kumis, Mana anak- anak nebeng, kok belum datang?
            Tak begitu lama ibu memanggil, “Ragil, sudah siang.. dimana teman- temanmu? Mereka jadi berangkat sama kamu kan?”
            “Aku juga lagi nunggu, Bu.”
            Tak lama Pak Jumadi ikut menghampiri.
“Mas Ragil jadi berangkat jam berapa? Saya nurut saja. Semua sudah rapi, habis saya cek semua mesin mobilnya, aman bos!”, ujar Pak Jumadi setengah berlari menghampiri.
Sambil tersenyum, ibu ikut berkomentar, “Pak Jumadi bisa saja, nanti Ragil bisa besar kepala lho, Pak.”
Karena teman- teman belum juga kelihatan batang hidungnya, ku cek lagi ransel baruku. Di sana sudah rapi tersusun barang bawaanku yang berjibun itu. Siapa tahu ada yang aku lupakan. Senyumku merekah begitu mendapati kotak hijau berisi seikat daun sirih yang ku petik sendiri dari kebun. Rencananya, sirih- sirih itu ingin ku berikan pada Mbah Nirah sesampainya di Jogja.
Di tengah keasikanku menatap kotak hijau itu, tak sadar teman- teman rombongan yang ku tunggu sudah nongol di depan pintu.
Nyengir, “Kapan kalian di situ?”
“Kamu melamun apa lagi Gil?”, tanya mereka hampir berbarengan.
“Wah bisa serentak gitu ya?”, jawabku sambil garuk- garuk kepala.
“Ayo Gil.. tuh Ibu sudah nunggu di teras.”
“Iya, aku tahu dari tadi Ibu mondar- mandir menunggu kalian belum datang- datang. Sekarang jadi nggak sabar.”
“Lihat, semua sudah lengkap kok ya belum pada siap- siap?”, Ibu yang mungkin mendengar pembicaraan kami, menepuk bahuku pelan. Teman- teman langsung berebut menyalami Ibu begitu melihat beliau berdiri di sebelahku.
“Jangan berebut salim sama Ibu. Aku dulu dong, akukan kesayangan.”, timpalku sambil tertawa kecil.
“Gimana Mas, sudah siap ya? Jangan sampai ada yang ketinggalan.”, kata Pak Jumadi.
“Siap Pak, semua sudah aman.”
Ibu tak lupa memberi wejangan, “Gil, jangan lupa sampaikan sungkem Ibu buat Mbah Putri.”
Di hati dak-dik-duk karena pikiranku. Semoga bingkisan yang tidak seberapa buatku, dapat berkesan buat Mbah Nirah. Sebelum aku kembali ke Surabaya, dulu Mbah Nirah sempat berpesan, kalau anak laki- laki kayak aku membuat Mbah Nirah senang. Karena di jaman modern sekarang masih mau memperhatikan hal- hal tradisional yang jarang sekali di lirik anak muda, apalagi cowok.
Mungkin itu karena ibuku asli orang jawa yang harus ngerti jawane, begitu pesan ibuku setiap ngobrol. Apalagi aku anak laki satu- satunya, dan nasehat simbah yang harus selalu aku tanamkan dalam diriku. Seperti nilai- nilai kesopanan dan nilai- nilai kesusilaan.
                                                            ***
Gurauan teman- teman yang sedari tadi mewarnai perjalanan kami, tak terasa sampai juga sampai di Jogja, tempat kelahiran ibuku. Sungguh terasa, begitu kami memasuki kota indah ini, kota kebanggaan orang tuaku dan yang selalu aku banggakan pada teman- temanku.
Turun dari mobil bututku, Yu Darmi sudah siap beserta Mbah Putri sambil tersenyum hangat. 
Le capek ndak, perjalanan tadi?”, dengan ramah menyapaku.
“Lumayan Mbah Putri.”, tak sabar ku sambut tangan tua Mbah Putri yang selalu bau harum bunga melati ciri khasnya.
Dengan riang ku perkenalkan rombongan teman- temaku.
 “Mbah Putri, ini rombongan dari Surabaya. Mungkin kami akan nginap untuk beberapa lama. Merepot ndak Mbah?”, tanyaku.
“Mboten Mas.”, sahut Yu Darmi sambil tersenyum, dengan logat jawa medoknya itu.
Kurasa teman- temanku akan betah di sini untuk  beberapa waktu.
Aku melihat kesana-kemari, ku dengar Mbah Putri menyapaku. Aku menyambutnya. Seraya berkata, “Sungkem dari Ibu yang belum tersampaikan buat Mbah Putri.”
Lalu aku bertanya tentang Mbah Nirah pada Mbah Putri. Kemudian Mbah Putri menjelaskan kalau nanti saja setelah Ragil ikut bersama Yu Darmi ke rumahnya. Terganggu pikiranku karena sedari tadi aku tidak melihat Mbah Nirah yang biasanya menyapu halaman yang penuh tanaman bunga melati itu. Kelihatannya, Mbah Putri tadi berpesan pada Yu Darmi kalau memberi tahuku tentang Mbah Nirah setelah aku masuk dan duduk dalam rumahnya. Betapa senangnya, ketika aku melihat rumah Mbah Nirah yang nyaman. Kental dengan nuansa jawa. Pasti Mbah Nirah senang aku bisa datang lagi, apalagi di rumahnya. Dalam hati aku menimang- nimang, mungkin ada sesuatu yang di sembunyikan Yu Darmi sepertinya. Aku terkesan dengan Yu Darmi yang selalu patuh dengan Mbah Putri.
Dalam perjalanan tadi aku menunggu, tak lama Yu Darmi menyuruhku duduk. Ia bercerita tentang rumahnya yang ia sebut gubuk, dimana ia tinggal berdua bersama Mbah Nirah.
“Mana Mbah Nirah Yu.”, tanyaku.
Yu Darmi tiba- tiba terdiam. Tanpa senyuman.
“Ini bingkisan yang aku berikan Yu Darmi buat Mbah Nirah.”, aku lega, bingkisan itu sudah di terima.
Tak lama, Yu Darmi menjelaskan bahwa Mbah Nirah sudah meninggal.
Ku tahan nafasku, bersama detak jantung yang kencang. Seketika tubuhku lemas tak berdaya. Ku pandangi wajah Yu Darmi yang mendung dengan kabut kepedihan. Sirih yang sudah aku siapkan, ternyata terlambat aku sampaikan. Ku bawakan pesan Mbah Nirah yang menyuruhku untuk membawakan langsung buat Simbah sebagai tanda baktiku dan kesungguhanku. Hal ini menambah pengalamanku tentang kebiasaan orang dulu untuk menginag. Namun, sayang di sayang, semuanya terlambat. Bagaimanapun kenangan itu selalu bersama dan tersimpan manis dalam kehidupanku.
Selamat jalan, Mbah Nirah.

Kepribadian baik dan tulus itu, akan ku kenang selamanya.
2 Comments for "Bingkisan Sirih Terakhir - Vidra Revy - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top