Mimpi
Buruk Di Suriah
Muhammad
Nooryasin Irhami
Rezim
Laknat
“Tolong!!
Tolong!! Tidakkk!!” ,“Asif, bangunlah!!, kenapa kamu berteriak seperti itu!?”
Aku terbangun, aku hanya bisa menatap ibu saat itu, Aku membisu dengan wajah
pucat. “Sudahlah, ayo cepat bersihkan badanmu!” perintah ibu itu tak segera ku
laksanakan, aku hanya mengangguk dan menunduk, saat ibu keluar dari kamar, aku
merenung, “Lagi-lagi mimpi itu” gumamku. Ya, mimpi tentang kejadian dua hari yang
lalu, kejadian dimana saat militant rezim Bashar Al-Asad mendobrak rumahku lalu
mencoba menghabisi kami sekeluarga yang terdiri dari ayah,ibu,aku, dan kedua
kakakku, yang satu laki-laki dan yang satunya perempuan. Pasukan itu berjumlah
tiga orang, mereka berbaju kamuflase dengan senjata lengkap, yang siap melepaskan
bijih timah panas mematikan itu, mereka menodongkan senjata itu ke arah kami.
Aku
hanya diam terpaku, merasa pasrah dengan keadaan dan hanya menanti maut yang
akan datang sebentar lagi, namun pikiran itu sangat tidak tampak pada wajah
ayahku, dia dengan lantang menyuruh pasukan itu pergi, merasa tak terima
diusir, akhirnya kaki ayah ku ditembak peluru yang keluar dari senjata jarak
dekat AK-47 itu. Kakakku Fatimah dan ayahku yang jadi korban. Aku dan ibuku
hanya menangis, kakakku oman memeluk
kami, melihat pasukan rezim laknat ini membawa kakak ku Fatimah dengan ayahku
ke mobil perangnya, mereka di ikat dan diseret masuk ke mobil itu.Semua
berakhir begitu saja, Aku shock dan hampir pingsan.
Masjid Ummahatul
Mu’minin
Tak berselang lama setelah mengingat kejadian
itu air mataku menetes, kak Oman mendatangiku dan menyuruhku agar segera cuci
muka, Aku menurut saja. Selepas mencuci
muka aku melihat sepiring nasi untuk bertiga dan sepiring tahu tempe goreng,
mungkin menurut kalian itu makanan yang sangat sederhana, namun bagi kami para
anak-anak di suriah, itu adalah makanan yang sangat mewah. Aku termasuk anak
yang cukup beruntung bisa makan makanan ini.
Banyak
teman-teman yang ku kenal di masjid Ummahatul Mu’minin, masjid yang sering kami
pakai untuk menghafal Al-Qur’an, mereka hanya makan nasi yang hampir basi, ditemani
dengan RUMPUT. Ya rumput, mereka terpaksa memakan rumput karena tak ada lagi
stok makanan di rumah darurat mereka, yang penting bisa menahan lapar. “Bu, aku
ke masjid ya?” “Iya nak, hati-hati” aku membuka pintu rumah sesaat setelah
berpamitan dengan ibu. Baru beberapa langkah aku keluar, terihat di langit
sebuah benda hitam berbuntut asap hitam pula dengan bunyi yang sudah sering
kudengar, terbang kearah masjid Ummahatul Mu’minin, “DARRR!!!” terdengar bunyi
ledakan dari rudal jelajah yang di lepaskan oleh rezim laknat ini, rudal ini
menghancurkan masjid kami, rumah Allah, tempat aku dan teman-temanku menghafal
Al-Qur’an.
Terlihat
ibu berlari menghampiri aku yang terpaku di tengah jalan, ibu membawaku ke
pinggir untuk menenangkan perasaan ku, sekitar 30 menit kemudian kami pergi ke
masjid untuk melihat keadaan, disana nampak wajah-wajah sedih meneteskan
berlian-berlian cair, di depan mereka tersusun mayit-mayit para syahid yang
gugur saat menghafal Al-Qur’an, jelas senyum di wajah mereka walau sudah tak
bernyawa, begitu hebatnya kekuasaan Allah. Aku pulang dengan hati hancur karena
iri dengan teman-temanku yang mati syahid, mati yang dipastikan masuk surganya
Allah.
Kabar baik dan kabar
buruk
Seminggu
berlalu, Aku bertekad melanjutkan hafalan yang sudah 8 juz ini, tiba-tiba
seorang militan rezim laknat ini datang ke rumahku. Kami bertiga hampir pasrah
lagi, tapi di luar dugaan, justru mereka mengantar surat dari ayahku, yang
katanya kabar baik.
Kami
membaca isi surat itu yang kurang lebih seperti ini “Assalamu’alaikum,
keluargaku yang aku cintai, ada kabar baik bagi kalian, Aku akan di bebaskan
besok malam, tapi dengan syarat, Fatimah harus mau menjadi pelayan untuk mereka(para
militant), dan Fatimah menerima persyaratan ini, menurutnya yang penting aku
selamat, Aku harus meminta keputusan kalian wahai keluargaku, karena itulah aku
diizinkan mengirim surat ini, balas lah surat ku dengan memberikan jawaban
kalian kepada orang yang mengantar surat ini. Hanya itu yang ingin ku
sampaikan, Wassalamu’alaikum”.
Ibu langsung tak sadarkan diri setelah membaca
surat ini, kakak ku oman membantu ibu, aku yang tak begitu mengerti isi surat
ini hanya bisa diam terpaku. Tak lama, ibu sadarkan diri dan langsung memeluk
kami berdua, isak tangis terdengar. Militant itu memancarkan wajah tak tega
melihat kami, akhirnya ibu memberi sebuah keputusan.
Ibu
“Assalamu’alaikum”
ucap seorang laki-laki dengan suara lembut, kak Oman menjawab salam dan
membukakan pintu, Nampak seorang laki-laki dewasa dengan pakaian cukup kotor
yang wajahnya taka sing lagi bagiku, bersama dengan wanita cantik yang
tersenyum bahagia di warnai air mata, ya, mereka keluargaku, keluarga yang
beberapa hari yang lalu hampir terbunuh. Dengan kaki yang masih luka, ayah
perlahan bersujud ke arah kiblat, diiringi oleh kak Fatimah di belakangnya.
Betapa bahagianya kami saat itu, isak tangis bahagia mewarnai pertemuan kami,
aku dan kak Oman mengabil langkah seribu untuk membantu mereka berdiri dan
berjalan ke kursi.
Namun satu hal yang jadi pertanyaanku “Dimana
ibu?” tanyaku pada mereka, mereka hanya saling pandang. Lalu ayah memelukku,
“Nak, tahu kah kamu apa keputusan yang diambil oleh ibumu? Tentu tidak bukan?
Karena ibu tak ingin kau tahu” Tanya ayahku, aku dan kak Oman hanya mengangguk,
yang aku ingat adalah saat ibu membisikkan sesuatu pada militant itu, lalu
mereka pergi. Ibu hanya tersenyum pada kami dan berkata “Tenanglah nak, mereka
berdua pasti bebas”, ayah melanjutkan certitanya “Ibumu menawarkan diri kepada
militant itu sebagai pengganti Fatimah, kami sempat berdebat tentang siapa yang
akan berkorban demi keluarga ini, namun ibumu bersikeras ingin mngorbankan
dirinya, aku dan Fatimah mengalah lalu....” “HENTIKAN!! AKU TAK INGIN MENDENGAR
CERITA SEPERTI ITU LAGI!!” potong kak Oman dengan nada tinggi sambil
mengeluarkan air mata.
Kami
akhirnya sadar, betapa besarnya pengorbanan seorang ibu terhadap keluarganya.
Ibu rela mengorbankan apapun, bahkan harga dirinya. Aku dan kak Oman tak nafsu
untuk makan untuk beberapa hari, jujur saja, aku sampai saat ini masih belum
merelakan sepenuhnya kepergian sosok malaikat tak bersayap itu, ibu yang selalu
ada disisiku apapun keadaannya. Kini ini aku tak bisa lagi melihat senyum yang
menenangkan hati itu. Entah bagaimana keadaannya sekarang, Allah lebih
mengetahuinya.
Pesanku
Ingatlah wahai akhi dan ukhti, orang tua
kalian akan rela melakukan apapun demi kalian, jadi jangan lah kalian berani membantah perintahnya apalagi sampai
membentak, jagalah perasaan mereka. Ingatlah, bahwa kau takkan bisa yang bisa
membalas budi orang tuamu, namun berusahalah membahagiakan mereka.
Cintailah ibumu, ibumu, ibumu, ayahmu,
adikmu, dan kakakmu. Dan sayangilah saudara-saudara muslim mu, tak hanya yang
di Indonesia, tapi juga di Suriah, Palestina, Turki, Yaman, dan semua negara islam
yang sedang dilanda krisis. Kehidupan mu di Indonesia sangat mudah, tak ada
bunyi ledakkan dimana-mana, kau bisa pergi ke masjid untuk menghafal Al-Qur’an
dengan aman, sangat jauh berbeda dengan anak-anak di suriah, kemanapun mereka
pergi, malaikat maut selalu siap mencabut nyawa mereka, namun mereka tetap
semangat menghafal Al-Qur’an meski nyawa taruhannya. Masihkah kau malas untuk
menghafal Al-Qur’an? Jangan kau terlalu larut dalam kebahagiaan sesaat di dunia
ini wahai akhi dan ukhti.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "Mimpi Buruk Di Suriah - Muhammad Nooryasin Irhami - Lomba Menulis Cerpen"