CINTA ATAU HANYA
PENUTUP LUKA
Avira
Kristin Mahadewi
Buku
usang yang nampak seperti buku lainnya, tersimpan dilemari dan sudah lama tak
tersentuh, menggugah hatiku untuk membukanya. Setelah kubuka ternyata buku itu
adalah buku harianku selama di SMK. Kubuka buku itu lembar demi lembar, di
lembar tengah terdapat beberapa lipatan kertas yang masih rapi. Kubuka kertas
itu dan kubaca tulisan disana, terdapat beberapa puisi, puisi yang
mengingatkanku pada seseorang yang memberiku pengalaman suka dan duka secara
bersamaan. Dan seseorang itu adalah laki-laki pertama yang berani datang
kerumahku.
Pertemuan
pertama yang tak disengaja ditempat yang menjadi tempat favoritku saat
istirahat. Aku ingin meminjam buku diperpustakaan, ketika itu terlihat
dijendela seseorang berjalan menuju perpustakaan. Wajah asing yang memberiku
senyum kecil tanpa henti, yang hanya kubalas dengan ekspresi wajah heran
bercampur bingung menatapnya. Orang yang belum pernah aku lihat sebelumnya,
padahal aku adalah orang yang cukup terkenal dan cukup mengenal orang-orang
disekolahku apalagi orang yang berkunjung ke perpustakaan.
Lain
hari, adik kelas ku beniat berkunjung kerumahku, aku dengan senang hati
mengijinkannya. Dengan semangat aku menunggu didepan gerbang perumahanku.
Setelah lama menunggu aku melihat seorang laki-laki bersama adik kelas ku naik
sepeda motor. Laki-laki yang pernah aku lihat diperpustakaan dan aku bertemu
lagi dengannya tanpa sengaja.
“Mbak,
mana rumahmu?” tanya laki-laki itu.
“Ayo
ikut aku!” jawabku.
“Aduh
mati aku. Ada cowok lagi.” Kataku dalam hati. Karena meski sudah sebesar ini
belum pernah ada cowok yang berkunjung ke rumahku. Setelah sampai dirumah, aku
segera menemui ibukku sebelum ibukku salah paham dan aku berkata bahwa cowok
itu yang bernama Tommy adalah temanku. Dan ternyata ibuku sangat welcome dengan kehadiran mereka berdua.
Hari-hari
berikutnya rumahku selalu mendapat kunjungan dari Tommy. Hampir setiap pulang
sekolah dia selalu kerumahku bahkan sebelum aku sampai rumah. Tommy seseorang
yang mudah akrab sehingga kamipun makin dekat. Suatu hari aku diajak Tommy
pergi ke kos pacarnya. Aku yang orangnya cuek dalam hal berpenampilan, pergi
tanpa persiapan. Setelah sampai dikos pacarnya dan setelah masuk entah apa yang
terjadi dia keluar lalu mengantarku pulang. Dalam perjalanan, di seberang jalan
terdapat dua wanita yang sedang berjalan. Tiba-tiba Tommy berhenti lalu
menyalakan rokoknya dan memutar balik sepeda montornya. Betapa terkejutnya aku
ternyata dia ingin pamer kepada mantan pacarnya yang berjalan dipinggir jalan
bahwa dia sedang membawa seorang wanita dan itu adalah aku. Setelah hari itu
aku tidak mau diajak pergi lagi dengannya. Aku sangat malu dan shock melihat
kelakuan kekanakannya.
Tommy
masih saja main kerumahku, meski aku sudah malas menemuinya. Keluargaku dirumah
malahan makin dekat dengannya. Karena apa yang aku alami tentang Tommy aku
simpan dalam-dalam. Suatu hari ayah ibuku sedang pergi, dirumah hanya ada bude
dan aku saja. Tommy mengatakan kalau dia ingin mengukur baju untuk PMI dan aku
yang anak busana disuruh untuk membantunya, tapi mengukurnya harus dirumah guru
pedamping PMI. Aku yang sudah kapok tidak mau lagi dibodohi. Tapi dia pintar
sekali mencari cara dengan membujuk bude ku. Akhirnya aku pun mau diajak pergi
dengan pakaian seadanya (kaos dan celana kolor + belum mandi). Perhentian
pertama seperti biasa dikos pacarnya.
“Tuh
kan. Kamu bohong. Ya udah aku pulang jalan kaki ya.” Kataku sambil marah.
“Ya
udah ayo kita pulang.” Katanya sambil tertawa.
Kami
naik sepeda montor lagi tapi arahnya bukan jalan pulang, aku malah diajak
ketempat-tempat aneh, melewati jalan untuk track-trackan
yang bergelombang sehingga aku hampir jatuh.
“Kita
mau kemana to?” Tanya ku dengan nada ngambek.
“Kita
ke kos ku dulu.” Katanya sambil
tersenyum-senyum.
Dalam
perjalanan kekosnya yang terlintas dipikiranku adalah hal-hal negatif karena
aku baru pertama kali masuk kos cowok. Sesampainya dikos, aku mendapat sambutan
dari budenya lalu aku masuk ke dalam. Tempatnya besar tapi sepi dan hanya ada
empat kamar.
“Kok
sepi ya?” Tanyaku.
“Belum
pada pulang semua.” Katanya singkat.
“Bude
ngaji dulu ya le.” Kata budenya
“Nggih
bude.” Jawab Tommy.
Didalam
rumah itu hanya tinggal kami berdua. Aku membiarkan pintu terbuka dan aku duduk
didepan televisi. Pikiranku hanya memikirkan cara untuk keluar atau meminta
tolong apabila nanti terjadi sesuatu. Tommy memberiku air putih hangat. Tapi
aku curiga karena ada larutan didalamnya.
“ini
air apa?” tanyaku
“Itu
air hangat aku kasih gula biar manis.” Katanya tanpa ekspresi.
Akupun
meminta untuk diberi air putih biasa saja. Tommy juga mengeluarkan agar-agar
dari kulkas hasil masakannya. Katanya dia memang suka masak dan juga juara
dimana-mana, karena hal itu pula dia pindah jurusan dari perhotelan ke jurusan
patiseri. Selama didalam situ aku tidak makan dan meminum apapun karena aku
takut kalau semuanya mengandung obat tidur atau lainnya. Aku disana sampai
Tommy selesai mandi. Tommy sempat pula cerita kalau dia putus dengan pacarnya.
Aku pun bertanya-tanya apakah karena orang ketiga atau lainnya. Dia hanya diam
dan tidak menjawab. Selanjutnya dia berkata ingin mengantarku pulang, tapi
malah mengajakku ke Gereja, sedangkan aku lusuh dan belum mandi. Disitu aku
benar-benar marah dan hanya bisa duduk diam ditengah keramaian. Satu yang aku
harapkan yaitu tidak ada orang yang mengenaliku dalam keadaan seperti itu.
Hubungan
kami makin dekat apalagi disekolah sering bertemu dan juga sering
berkomunikasi. Dia orang yang lumayan romantis, sering membuatkan puisi, lagu,
dan kata-kata. Beberapa kali dia menyatakan cintanya, tetapi aku masih ragu
dengan sifat pembohongnya, mungkin aku yang sudah terpikat masih sadar dengan
wataknya. Dan aku ingin memahaminya lebih dalam. Tommy yang ibunya sudah
meninggal dan ayahnya super sibuk serta berada jauh darinya, hidupnya yang sepi
sendiri, dia pernah berkata bahwa dia merasa nyaman berada dalam keluargaku
yang mengayomi. Kehangatan dalam keluargaku membuat dia merasa bagian
didalamnya. Hatiku tergugah untuk menerimanya meski tanpa status pacaran, menurutku
pacaran merupakan status yang membuat kita terpaku pada status itu karena
kebanyakan orang pacaran setelah putus tidak memiliki hubungan baik dengan
mantannya. Lebih baik mempunyai komitmen untuk saling setia.
Kesibukanku
dan kegiatanku sendiri yang melelahkan seringkali terhibur dengan tingkah laku
dan kata-kata semangatnya. Dia datang saat aku merasa jenuh dan butuh penolong.
Tapi saat semua mengalir tenang tiba-tiba badai datang secara beruntun tanpa
memberi waktu jeda untuk mengatasinya.
Sore
itu Tommy datang kerumahku diantar temannya, dia bilang kalau montornya hilang
dikos.
“Hilang
dimana? Plat nomer berapa biar dicari bapakku. Bapakku tau penyaluran barang
curian kaya gitu.” Tanyaku
Dia
hanya diam. Saat itu aku mulai curiga. Keesokan harinya aku bertemu dengan
guruku untuk mencari informasi. Selama ini yang aku tahu Tommy memiliki banyak
masalah keluarga yang mengakibatkan dia juga terganggu tapi selebihnya aku
belum tahu. Guruku mengatakan hal-hal yang membuatku shock, yaitu bahwa montor
Tommy sebenarnya tidak hilang tetapi digadaikan ke temannya, ada hal lain juga
yang membuatku kaget katanya Tommy juga seorang pengguna narkotika. Tommy memang
kulitnya putih, wajahnya pucat, dan suarnya pun serak, terlebih banyak bekas
goresan di tangannya, orangnya pendiam, dan kadang teryawa sendiri, sekilas
memang seperti pecandu. Tapi memang belum bisa dipastikan. Lalu guruku menyuruh
aku untuk menjadi mata-mata untuk mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Tadinya aku tidak mau, karena mungkin hal itu bisa menyakitinya. Tapi demi
kebaikan bersama akhirnya aku mau.
Siang
itu sebelum kegiatan pramuka aku mengobrol banyak dengannya termasuk soal
tanda-tanda bahwa dia pecandu. Dia menjawab bahwa dia memang anak yang mudah
frustasi atau merasa down tapi dia
bukan pecandu. Aku merasa jawabannya sudah jujur, tetapi setelah aku tau
informasi seperti itu, aku mulai sedikit berhati-hati. Dirumah ternyata banyak
pihak yang sudah menghubungi keluargaku bahwa aku harus menjauhi Tommy karena
dia tidak baik. Aku sudah diberitahu oleh keluargaku, aku berkata iya, tetapi
secara diam-diam aku masih berkomunikasi dengannya. Karena dalam hatiku berkata
sepertinya ada yang harus aku ketahui lebih dari itu.
Hubungan
tanpa status ini berjalan. Aku ingat saat dia menyuruhku memasang badge pramuka. Setelah aku menjahitnya,
aku menulis surat yang berisi kata-kata nasihat yang berbentuk puisi aku juga
menyertakan plester luka agar dia tidak sering menyakiti dirinya sendiri.
Semenjak surat pertamaku itu, hampir setiap hari dia memberiku surat yang
berisi puisi yang masih aku simpan sampai sekarang.
Puncak
masalah akhirnya datang. Tommy sudah sering tidak masuk sekolah. Dia juga sudah
tidak boleh berkunjung kerumahku. Dia juga tidak menghubungiku. Aku bertanya
pada wali kelasnya ternyata Tommy sudah keluar sekolah. Hal itu membuatku
sedih, karena berarti kami gagal. Aku pernah berkata kepada Tommy untuk
menunjukkan perubahan positifnya agar hubungan kami dapat diterima. Dan berita
keluarnya Tommy dari sekolah menghancurkan semuanya. Guruku berkata bahwa Tommy
keluar karena dia memiliki tato dikakinya dan dia tidak bisa menutupinya lagi.
Tommy tidak memiliki nilai praktik renang karena dia tidak pernah ikut renang
sama sekali. Hal itu membuatku semakin sedih karena ternyata dia masih saja
berbohong.
Setelah
kejadian-kejadian itu aku menutup diriku untuk melupakan dia secara perlahan.
Aku yang mudah mencintai tetapi tidak mudah melupakan, jujur merasa sulit untuk
melupakannya. Meski semua kontak sudah aku hapus, dan aku juga tidak pernah
membalas pesannya, tetapi masih saja kenangan bersama dia muncul sekejap saat
melalui tempat-tempat yang pernah kami lalui. Lama-kelamaan aku lupa meski terpaksa,
aku menyibukan diriku untuk tidak memberi waktu bagi pikiranku memikirkan
dirinya. Dan sepertinya Tuhan tahu cara membantuku agar mudah melupakannya
yaitu dengan tidak mempertemukan aku dengan Tommy.
Waktu
berlalu, sekarang yang ada hanya surat-surat dari Tommy dan kalung pemberiannya
yang aku tempel dibuku harianku. Terkadang aku sempat meliahat orang-orang yang
mirip dengannya, terkadang aku masih menerima pesan darinya, dan terkadang aku
memimpikannya. Tapi aku mencoba menjadi anak berbakti yang tidak ingin
mencintai orang lain dengan menyakiti orang lainnya yang aku cintai. Tommy
memberiku pengalaman-pengalaman yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya,
pengalaman suka duka yang sebagian besar gila. Sebenarnya aku masih
bertanya-tanya dalam hatiku apakah aku benar-benar mencintainya atau aku hanya
menjadi penutup luka masa lalunya? Apakah aku seperti ini karena merasa kasihan
melihat penderitaannya? Itu yang belum terjawab sampai sekarang. Tetapi satu
hal yang aku tahu, entah cinta atau hanya penutup luka yang terpenting yaitu
Tuhan memiliki alasan menghadirkan dia dalam hidupku.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "CINTA ATAU HANYA PENUTUP LUKA - Avira Kristin Mahadewi - Lomba Menulis Cerpen"