Cinta Semi Bersemi di
Musim Semi
Oleh: Nurbahjan
Kami
sekeluarga pindah ke
Bandung dua bulan yang lalu. Pekerjaan ayah yang seorang PNS menyebabkan kami
sekeluarga hidup nomaden, baik manusia purba yang tidak pernah betah tinggal pada
satu tempat. Perbedaannya hanya, kalau manusia purba dulu berpindah karena
merasa tempat berteduh mereka tidak nyaman atau alam sekitar sudah tidak bisa
lagi menyediakan bahan makanan untuk dimakan. Sedangkan, kami sekeluarga berpindah karena Ayah dipindah
tugaskan dari daerah yang satu ke daerah yang lainnya di Jawa Barat. Aku ingat
sekali, selama aku SMP saja, Ayah sudah
dipindahkan hampir tiga kali. Tidak aneh, kalau selama ini kami sekeluarga hidup di
rumah kontrakan atau di perumahan sekolah yang disediakan oleh pemerintah.
Walaupun bangunannya sederhana, setidaknya Ayah tidak harus mengeluarkan biaya
lebih untuk membayar rumah kontrakan.
Ketika
kami pindah di Bandung, Ayah memilih untuk tinggal di rumah kontrakan daripd a
di perumahanan sekolah yang berada di tempat Ayah mengabdi sebagai guru, hal
itu Ayah lakukan agar jarak tempuh Aku dan Gina tidak terlalu jauh dari sekolah
kami. Rumah kontrakan tersebut cukup sederhana,
terdiri dari tiga ruang kamar tidur,
ruangan dapur, 1 kamar mandir, ruangan tengah dan ruang tamu, sedangkan halaman belakang yang memiliki
panjang 15 meter dan lebar 10 meter, telah ibu sulapmenjadi kebun sayur dan
sebagiannya lagi untuk tempat jemuran. Sedangkan halaman depan yang lebih
sempit dibandingkan halaman belakang, ibu gunakan untuk menanam beberapa jenis
bunga seperti bunga mawar, bunga matahari dan yang lainnya. Selain itu ibu
membuat apotek hidup, di mana rempah-rempah seperti palawija, kunyit, jahe dan
tamulawak hidup subur di dalamnya.
Setiap
hari sebelum berangkat ke sekolah, aku dan ayah selalu rajin membersihkan
tanaman liar yang tumbuh disekitar tumbuhan tersebut. Sedangkan adikku Gina,
setiap pagi membantu ibu di dapur. Ayah dan ibu selalu mengajarkan kami untuk saling
membantu. Selain itu, kami sekeluarga selalu berusaha untuk melakukan sholat
berjamaah di rumah, menurut Ayah, waktu yang paling baik untuk berkumpul adalah
selesai sholat. Setelah sholat subuh,
aku dan Gina harus menyetorkan hafalan Al-Qur,an kepada Ayah, walau Ayah tidak
pernah memaksa tapi kami rutin tiap
selesai sholat subuh menyetor walau satu ayat yang kami hafal.
Hari
ini setelah selesai membantu Ayah, aku mandi dan bersiap berangkat ke sekolah.
Sebelum berangkat ke sekolah aku dan Gina sarapan, setelah itu kami pamit
kepada Ayah dan ibu. Tidak seperti ketika kami di Cirebon dulu, Ayah selalu
mengantar kami jika hendak berangkat ke sekolah karena sekarang jarak dari
rumah ke sekolah hanya 10 menit, jadi bisa dilalui dengan jalan kaki.
Sekolah
kami adalah salah satu sekolah negeri dan juga salah satu sekolah elit yang
berada di Bandung. Kami tidak pernah tahu bagaimana Ayah mendapatkan biaya
untuk menyekolahkan kami di sini. Pernah suatu ketika aku bertanya kepada Ayah,
tetapi Ayah hanya menjawab bahwa hal itu tidak usah dipikirkan karena Ayah selalu
ada uang kalau untuk membiayai pendidikan anak-anaknya
Dua
bulan menimba ilmu di sekolah ini, aku sudah dipercayakan menjadi ketua OSIS
dan beberapa kali mewakili sekolah untuk ikut lomba. Alhamdulillah, prestasi
yang aku raih dalam lomba-lomba tersebut semakin mengukuhkan aku menjadi primadona di sekolah. Banyak perempuan
yang menurut Somad teman satu kelas aku,
yang sudah antri untuk menjadi pacar. Tapi aku tidak berminat untuk hal
tersebut, karena bagiku mengukir prestasi dan membanggakan orang tua adalah
tugas utama aku saat ini. Aku tidak ingin kerja keras Ayah, terbuang sia-sia.
‘Ayolah, Sem.
Masa kamu kalah sama Jakariah!” celetuh Somad
“Mad, ini bukan
masalah kalah atau menang, hanya saja saat ini, itu bukan prioritas aku.” jawab
aku penuh ketegasan
“Semi Rahardian
Sepian, aku tahu itu bukan prioritas. Tapi setidak itu bisa kau jadikan salah
satu pilihanmu.” Jawab Somad sedikit memaksa
“Iya, pilihan yang tidak harus dipilih
sekarangkan?” kata aku
“Terserahlah, mau
dipilih sekarang atau 100 tahun lagi itu urusanmu!” tukas Somad kesal
“Wah, Bang Somad
sepertinya gantengmu sedikit berkurang sekarang.”
“ha ha ha, tidak
apa-apa, asal tidak banyak saja” mereka berdua saling berpandangan dan tertawa
lepas menuju ruang kelas XI IPA I
Dalam
ruangan bercat putih inilah Semi, Somad dan teman-temannya, banyak menyerap
ilmu dari guru-guru mereka. Kelas XI IPA 1 adalah kelas unggulan yang
memberlakukan sistem di mana tiga siswa yang memperoleh nilai terendah setiap
pembagian raport akan dikembalikan ke kelas non unggulan, jadi tidak aneh di
kelas ini tidak kita menemukan siswa-siswa yang suka bermain-main saat guru
mengajar, malas-malasan dalam belajar. Mereka menghabiskan waktu istrahat
dengan selalu belajar.
Setelah
berkutat dengan proses KBM selama tiga jam lebih, bel istrahatpun berbunyi. Aku
mengajak Somad untuk melakukan sholat dhuha di mushollah sekolah. Selesai
berwudhu, kamipun melaksanakan sholat sunah dhuha berjamaah, kali ini Somad,
aku tunjuk jadi imam sholat kami. Pada rakaat pertama setelah membaca Surah
Al-Fatiha Somad melanjutkan dengan membaca potongan Surah Yusuf ayat 102 sampai
108. Aku ingat ayat tersebut berisi tentang pelajaran yang dapat diambil dari
kisah Nabi Yusuf A.S. Sedangkan pada rakaat ke dua setelah membaca Surah
Al-Fatiha, Somad melantunkan bagian dari Surah An-Nur 30-31. Kalau aku tidak
salah ayat 30 berbunyi “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah
mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat”. Selesai tahiyatul akhir, kami membalikan wajah ke kanan dan kiri serta mengucapkan salam.
Somad
memang teman yang suka bercanda dan
isengin aku. Tapi bukan berarti
dia anak yang tidak pintar, terbukti selama ini, dia selalu masuk 10 besar di
kelas dan bacaan Al-Qur,annya sangat indah sekali. Dia selalu mewakili sekolah
untuk mengikuti lomba mengaji, ceramah dan bahkan lomba kaligrafi, Jadi tidak
perluh kaget mata pelajaran agama, menjadi pelajaran yang paling disukainya.
Sebelum masuk SMA, dia sekolah di MTs dan sekaligus mondok di Pondok Pesantren
Gontor Ponorogo, Jawa Timur.
Ketika
hendak meninggalkan mushollah, hujan turun cukup deras. Jarak mushollah yang
jauh dengan gedung sekolah yang lain, menyulitkan Aku dan Somad untuk terus
berjalan menuju ruangan kelas. Kamipun memutuskan untuk menunggu sampai hujan
tersebut reda “toh juga masih jam istrahat” pikirku. Saat aku dan Somad sedang
asyik bercerita, kami dikejutkan dengan suara seorang wanita yang menawarkan
payungnya untuk kami. Aku lihat ke arahnya, ternyata dia adalah perempuan yang
sama yang aku lihat ketika aku menjemput ibu dari pengajian di Mesjid dekat
rumah sore kemarin.
“Maaf, saya
menganggu, jika kalian berkenan kalian boleh menggunakan payung ini agar kalian
bisa masuk kelas dengan cepat. Sedangkan saya bisa memakai payung teman saya,”
melihat kearah Lisnu yang dibalas dengan senyuman pertanda Lisnu sepakat dengan
apa yang dikatakan perempuan di depan kami.
“Tentu kami tidak
keberatan. Terimakasih ya, Rena Agustin Ramadhani” sambar Somad menjawab
tawaran tersebut dengan sigap
Sebelum
berjalan menuju temannya, perempuan tersebut tersenyum kepada kami dan senyuman
itu mampu melumpuhkan segala penglihatan aku. Aku hanya terdiam melihat wajah
yang sangat tenang dengan kain penutup kepala yang lebih lebar dari teman-teman
di sekolah tersebut berjalan meninggalkan baltara mesjid.
“Semi, jangan
bilang kalau kamu jatuh hati pada perempuan itu?”pernyataan Somad ini membuat
aku terbangun dari lamunan
“Tidak begitu
juga” tegas aku malu
“Terus kenapa
kamu memandangnya begitu dalam? Kamu tahu, dia adalah santri yang juga mondok
di tempat yang sama denganku. Aku jujur baru dua kali ini bertemu dengannya,
yang pertama adalah ketika kami pertama kali mendaftar di sekolah ini. Dulu, di
pondok dia selalu jadi buah bibir santri putra karena kecantikan dan
kecerdasannya. Tapi kamu tahu, walau banyak yang suka dengan dia, ia tidak
pernah bermimpi untuk pacaran. Dia itu perempuan yang tergabung dalam KP3 alias
Komunitas Perempuan Pacaran Pascanikah.” papar Somad yang masih diikuti gelak
tawanya yang khas “Jadi, kamu jangan berharap dia menjadi pacarnya?” tambah
Somad
“Aku juga tidak
ingin menjadi pacarnya, kamu tenang saja.” jawab aku, “tapi aku ingin menjadi
suaminya nanti.” tambah aku dalam hati
Seketika
ada butir-butir bahagia yang tiba-tiba memenuhi ruangan hati. Sebuah bulir yang
tak sanggung aku sampaikan kepada Somad. Karena sesungguhnya, rasa ini begitu
asing bagiku. Di umur aku yang hampir 17 tahun, aku jatuh cinta untuk
pertamanya, dan itu dengan perempuan yang aku kenal hanya dalam hitungan menit.
Setelah
sekian lama, akhirnya hati ini telah memiliki seorang penghuni. Penghuni yang tidak
pernah aku kenal lebih dalam. Apa yang disukainya, di mana rumahnya, berapa
nomor telefon, atau kelas berapa dia. Lucu memang, walau satu sekolah dan aku
ketua OSIS di sekolah ini, tapi aku tidak pernah melihat dia sebelumnya. Tapi itu bukan
masalah yang begitu besar bagi aku. Mengetahui namanya sudah lebih cukup bagiku.
Nama Rena Agustin Ramadhani akan terus tertancap dalam hati. Aku jatuh cinta
pada perempuan itu di musim semi dan semoga perasaan ini juga bersemi di
hatinya.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "Cinta Semi Bersemi di Musim Semi - Nurbahjan - Lomba Menulis Cerpen"