My Failed
Diard Agustin
“Maya,
May! Bangun!!!”
Maya
mengerjap-ngerjapkan mata, lalu menutupinya dengan tangan. Ia terduduk bangun. Yang benar saja, Farrah mencipratinya dengan
air karena tak mau bangun.
“Cepat
piket, lalu mandi!” Farrah meletakkan sapu disamping ranjang Maya. Kamudian
berlalu pergi.
Maya
memelas. Pagi yang selalu buruk. Beginilah konsekuensi tinggal diasrama. Harus
belajar mandiri dengan adanya piket setiap hari. Harus berbagi karena banyaknya
saudara dari berbagai kota bahkan pulau yang ada disini. Dan yang lebih
menyeramkan lagi, harus punya kakak tertua sekejam ibu tiri dan sehoror nenek
sihir seperti Farrah.
“Wah,
wah. Putri tidur sudah bangun, sarapan May,” Rani mengangkat piring penuh omlet
telur.
Maya
yang baru turun dari tangga langsung mengambil piring, bersiap sarapan.
“Mau
apa?” Farrah menghadang jalan Maya.
“Ya
makan Kak, apa lagi?”
Farrah
mengambil piring dari tangan Maya, “Piket dulu, teras masih kotor.” Katanya
sambil menunjuk bagian depan asrama.
“Tapi...”
“Semua
sudah piket. Cuma kamu yang belum.” Kata Farrah tegas.
Maya
menghentakkan kakinya dengan kesal, lalu berjalan melewati Farrah dengan
tampang kusut.
“Apa?!”
sifat galak Maya muncul saat anak-anak lain menertawainya kecil.
Semua
langsung diam. Tapi saat Maya sudah tak terlihat, anak-anak menertawainya
kembali.
Selesai
menyapu, Maya sarapan dengan tenang. Sendirian. Hari ini adalah libur awal
semester sekaligus pengambilan rapor. Maya tak mau membayangkan betapa hancur
nilainya dalam rapor, karena ia sangat jarang belajar. Bisa-bisa ia pusing
memikirkannya.
Free day
kali ini sama seperti sebelum-sebelumnya, Maya gunakan waktu luangnya untuk
membaca. Dari seisi asrama, Maya adalah orang yang paling rajin membaca. Komik.
Bukan pelajaran atau sastra.
“May,
Filmnya lagi bagus lho!” Nene berpromosi. Seperti yang lainnya, semua sedang
asik menonton televisi selain Farrah dan Fey yang kebagian mengambil rapor dan
Maya sendiri. Ia menimang –nimang sebentar, lalu ia letakkan komik Narutonya
dan bergabung dengan yang lain yang sedang asik menonton film Titanic.
Satu
jam lebih Maya dengan yang lain menonton Titanic. Lyla dengan darah
melankolisnya sampai menangis terbawa suasana.
“Maya,
dipanggil Tante Rahma. Masih ada Fey dibawah.” Farrah berdiri diambang pintu
aula.
Maya
dengan mental ciut turun kebawah. Fey sudah berdiri dengan wajah tenangnya
seperti biasa. Dia melirik Maya sebentar saat Maya sudah didekatnya.
“Ya
Tante,” Maya mengamati ibu asramanya yang terkenal bijak namun tegas. Meneliti
baik atau buruknya yang akan ia terima nanti.
“Duduk,”
pinta Tante Rahma.
Maya
dan Fey menurut. Duduk dihadapan Tante Rahma.
Tante
Rahma mendesah, kemudian meletakkan kedua rapor dihadapan Fey dan Maya.
“Tante
sudah melihat hasil evaluasi kalian. Fey, Tante harap kamu tidak putus asa
dengan hasil akhir. Karena yang bernilai sebenarnya adalah usaha kita mewujudkan
apa yang ingin kita raih. Anggaplah kegagalan adalah kemenangan yang tertunda.”
Tante Rahma tersenyum bijak pada Fey yang tertunduk diam mendengarkan.
“Dan
kamu Maya,” Tante Rahma menatap Maya lurus-lurus.
Maya
mendengar desahan panjang dari Tante Rahma. Ia menggigit biibir bawahnya
khawatir. Bukan pada dirinya yang takut diberi kultum, kuliah tujuh menit oleh
tante Rahma. Tapi terlebih pada Tante Rahma karena takut mengecewakan baliau
sendiri karenanya.
****
Maya
melemparkan batu-batu kecil kearah danau dihadapannya. Pandangannya menerawang
kosong. Sekali lagi, ia telah gagal.
“Hidup
itu jangan seperti air danau. Tetap tanpa ada kemajuan. Tapi hiduplah seperti
air sungai yang selalu mengalir hingga mencapai tujuan akhir.”
Maya
menengok, mencari sumber suara dan mendapati Farrah yang berdiri dibelakangnya.
Lalu menjalankan kembali ritualnya. Melempar-lempar batu kerikil.
Farrah
duduk disamping Maya, “Kegagalanmu itu karena kesalahanmu sendiri.”
“Kak
Farrah tahu apa?” tanya Maya tanpa menoleh.
“Hmm...tahu?”
Farrah membenarkan posisi duduknya.
“Tahu
jika kamu hanya berani bermimpi tanpa bertanggung jawab mewujudkannya. Kamu
hanya banyak berangan-angan. Karena sebenarnya masa depan bukan hanya
angan-angan, tapi perencanaan. Dan kesalahanmu dimasa lalu itu, jadikan sebuah
pelajaran. Dan selebihnya kenangan.”
Maya
merasa bahwa ucapan Farrah benar. Ia terlalu banyak berangan-angan. Dan terlalu
berani bermimpi tanpa bertanggung jawab mewujudkannya. Tapi semuanya sudah
terjadi. Maya menarik napas panjang.
Farrah
berdiri dan berbalik badan hendak melangkah pergi.
“Tapi
Kak Farrah nggak berbuat apa-apa.” Kata Maya spontan. Mengeluarkan segala
pikirannya. Ia berdiri. Menghampiri Farrah yang berdiri mematung
membelakanginya.
“Seharusnya
Kak Farrah tahu, aku membutuhkan dukungan. Bukan malah disalahkan.” Maya
berjalan menjauhi Farrah yang masih berdiri dibelakang.
“Maya...”
“Dan
jangan melarangku untuk tetap bermain. Karena itu caraku ketika aku lelah
mengejar mimpiku. Meski akhirnya aku harus gagal lagi.” Maya meneruskan
langkah. Walaupun sangat berat untuk kembali pulang.
****
Hidup sendiri. Mungkin itulah yang Maya
definisikan dengan hidupnya saat ini. Liburan semester sudah hampir usai. Namun
masalahnya belum juga selesai. Ia hanya berbicara jika perlu, dan lebih asik
dengan dirinya sendiri. Meskipun terkesan menjauh, Maya tidak perduli.
“May,
Mr Bean-nya mulai, cepetan!” Lyla menyebutkan tontonan favorit mereka. Terlebih
Maya yang biasanya menjadi provokator.
Maya
menggeleng, “Enggak. Narutonya lagi asik,” seperti jawaban-jawaban sebelumnya,
Maya selalu menolak halus dengan berbagai alasan. Enggak, Shincannya lagi lucu.
Enggak, Conannya lagi seru dan alasan bermotif enggak lainnya.
“Maya,
ah. Nggak seru!” Lyla melenggang pergi.
Maya
menghembuskan napas pendek. Lalu melanjutkan membaca komiknya.
“Maya,
May,”
Sayup-sayup
Maya mendengar seseorang memanggil-mangil namanya. Oh, ternyata Maya ketiduran
karena keasyikan membaca komik.
“Ya,”
jawabnya lesu. Maya mengucek matanya yang berat untuk dibuka.
“Makan
dulu gih, dari tadi pagi belum makan kan?” Farrah duduk disisi ranjang Maya.
“Nggak
Kak ah, besok aja,” Maya hendak mau tidur lagi, namun tangannya sudah ditarik
oleh Farrah hingga terduduk kembali.
“Nggak
pake besok-besok. Sekarang!” Farrah berdiri sambil berkacak pinggang.
Duh nenek sihir, ibu tiri,
sukannya suruh-suruh. Pemaksaan! Batin Maya kesal.
Dengan malas ia turun untuk makan malam.
Dengan keheningan, Maya dinner sendirian. Hanya suara sendok dan piring yang beradu
denting yang terdengar.
Suasana rumah sangat sepi. Mungkin Tante Rahma sudah
tidur, pikir Maya. Saat melihat kamar Tante Rahma yang sudah gelap.
Setelah
selesai makan, Maya bergegas naik keatas. Untuk menghindari penyakit
akibat kekenyangan, Maya tidak langsung tidur setelah makan. Ia gunakan waktu
luangnya untuk menghabiskan komik Detektif Conannya yang tinggal setengah
akibat ketiduran tadi. Lampu sudah mati, dan semua saudaranya sudah pergi
kealam mimpi. Maya mengambil komik dan menuju balkon. Tempat paling tenang
sekaligus favoritnya diasrama. Dimana ia bisa melihat bintang, merasakan hujan,
dan menyambut hangat mentari setiap pagi. Angin malam yang berhembus pelan
membuat Maya dengan mudah terbawa kedalam cerita komiknya yang semakin seru.
“May,”
Fey yang tiba-tiba datang langsung duduk disamping Maya.
Maya
diam. Perhatianya tetap tertuju pada komiknya.
“Maya,
dengarkan aku!” Fey yang sudah hilang kesabaran menarik komik dari tangan Maya.
“Kembalikan
Fey!”
“May,
kamu nggak harus benci sama semua orang seperti ini. Kamu nggak perlu
menghindar seperti sekarang. Kita mahluk sosial Maya, bagaimana kita bisa hidup
sendiri?” Fey berdiri dihadapan Maya. Ia meletakkan komik disamping Maya.
Maya memalingkan muka. Tak ingin menatap Fey yang berdiri
dihadapannya.
“Maya, dengar. Semua orang menyayangimu. Tante Rahma, Kak
Farrah, dan semuanya. Kami peduli. Kamu tahu? Sudah lama aku iri sama kamu.
Tante Rahma sering kali membanggakanmu. Kak Farrah, dia sangat memperhatikanmu.
Bahkan sekecil apapun keteledoranmu, dia selalu mengingatkan. Dia menyayangimu
dengan bahasa cinta yang berbeda. Dan mereka, saudara-saudara kita yang lain.
Mereka selalu punya tempat untuk bercerita. Mereka punya orang yang tepat untuk
berbagi May, dan itu kamu.” Fey menarik napas panjang. Lalu ia berjongkok
didepan Maya.
“Fey...” Maya merasa jengah.
“Saat ini mereka kehilangan sosok itu May. Kamu terlalu
egois dengan tidak memikirkan mereka. Orang-orang yang menyayangimu.” Fey
mendesah. “Aku harap kamu mengerti,” Fey berdiri, melangkah pergi.
“Tak apa, kan. Kalau mereka punya saudara yang payah
sepertiku.” Maya mendongak, menatap bintang. Sambil menahan napas yang mulai
terasa sesak.
Langkah
Fey terhenti. Ia kembali menghampiri Maya.
“Ya,”
Fey mengangguk, mengusap air mata yang mulai mengalir dari sudut mata.
Maya
menatap Fey sambil tersenyum. Kemudian memeluknya. “Terima kasih. Terima kasih
telah menyadarkanku.”
Ya,
Maya akan tetap berusaha. Karena kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Jika
ia tak mau berubah untuk dirinya sendiri, setidaknya untuk orang lain yang
begitu menyayanginya.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for " My Failed - Diard Agustin - Lomba Menulis Cerpen"