Mimpi Si Anak Kelinci
Fina Lutfiana
Kelinci
peliharaannya selalu menemani kegiatannya selama ia belajar dirumah. Ia tak
pernah lepas dari hewan kesayangannya tersebut, hingga teman-temannya
memanggilnya Si Anak Kelinci. Muhammad Aufa Ar-rasyid, itulah Si Anak Kelinci
tersebut. Semangat belajar yang tak pernah luntur dari seorang anak yang
berusia sembilan tahun tersebut.
SDN
Kembang Turi sudah tampak di ujung sana. Seorang anak laki-laki berbaju merah
putih dengan semangat berangkat ke sekolah. Aufa, itulah anak yang sedang
berlarian menuju tempat favoritnya itu. Ia selalu berangkat lebih awal, bahkan
ia selalu tiba ke sekolah sebelum pintu-pintu kelas dibuka.
“Alhamdulillah sampai di sekolah” ucap Aufa. Tak
lama kemudian teman-temannya mulai berdatangan. Bel masuk berbunyi, siswa-siswi
berebut masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Suara doa awal majlis menggema
ke seantero sekolah.
“Assalamualikum warahmatullahi
wabarokatuh..”
“Waalaikumsalam warahmatullahi
wabarakatuh.. Bismillahirrahmanirrahim”
“Selamat pagi anak-anak. Apa kabar
kalian hari ini?”
“Alhamdulillah.. luar biasa.. Allahu
Akbar..”
“Alhamdulillah semangat semua hari ini.
Nah hari ini ibu akan membagikan hasil ulangan yang kemarin kalian kerjakan.
Aufa, Alhamdulillah kamu masih mempertahankan prestasimu. Teruslah belajar nak
tingkatkan prestasimu lagi, ibu bangga dengan semangat belajarmu yang tinggi.
Untuk anak-anak yang lain contohlah semangat belajar yang dimiliki Aufa agar
kalian juga bisa berprestasi seperti dia. Ini Aufa kamu dapat seratus”
“Terima kasih bu Ilmi”
“Sama-sama Aufa”.
Setelah semua nama terpanggil pelajaran
pun dimulai. Bu Ilmi adalah guru favorit Aufa, beliau selalu memberi semangat
kepada anak didiknya supaya giat belajar untuk bisa menggapai impian-impiannya.
Bahkan bu Ilmi ini mampu merubah anak-anak yang malas sekolah menjadi anak-anak
yang rajin sekolah. Itulah alasan mengapa Aufa sangat menyukai guru IPAnya
tersebut. Selain memberi semangat belajar kepada setiap anak didiknya beliau
juga tak pernah lelah membantu anak didiknya yang kesulitan dalam memahami
materi pelajaran.
Bel
istirahat telah berbunyi. Seluruh siswa-siswi berebut keluar kelas, ada yang
menuju ke kantin, bermain di halaman sekolah atau sekedar duduk-duduk di depan
kelasnya. Namun berbeda dengan Aufa, ia lebih memilih menuju mushola untuk
menunaikan sholat dhuha. Inilah kelebihan lain yang dimiliki oleh Aufa
dibanding dengan anak-anak seusianya. Ia sangat memperhatikan syariat Islam,
bahkan untuk yang sunnah sekalipun. Ia di didik menjadi anak sholeh yang patuh
terhadap agama sejak ia masih kecil, sehingga patuh kepada syariat Islam telah
tertanam kuat dalam dirinya. Hal inilah yang membuat bu Ilmi kagum kepada salah
satu muridnya tersebut. Bahkan beliau terinspirasi dari Aufa dalam urusan
agama. Bel tanda masuk telah berdering tepat saat Aufa mengakhiri do’anya. Di
sela-sela pelajaran Aufa dikejutkan dengan surat yang diberikan oleh bu Ilmi.
“Nah anak-anak sebelum ibu menjelaskan
materi hari ini kalian baca dulu halaman 20 sampai 25”
“Baik bu...” seluruh isi kelas menjawab
serempak.
“Aufa kamu kedepan sebentar”
“Iya bu”
“Ini ada surat panggilan orangtua dari
kepala sekolah, kasihkan kepada orangtuamu ya”
“Baik bu” Aufa menerima surat itu dengan
sedikit ketakutan karena mendapat panggilan orangtua.
Keesokan
harinya Aufa berangkat dengan ibunya. Perasaan takut juga menimpa ibunya karena
ia tersadar belum melunasi biaya sekolah Aufa selama satu semester ini. Setelah
tiba di sekolah Aufa langsung menuju kelasnya dengan wajah yang murung,
sedangkan ibunya menuju ke ruang kepala sekolah yang berada tak jauh dari kelas
Aufa.
“Bismillah le, semoga tidak terjadi
apa-apa”
“Nggih bu”
“Sekarang kamu masuk ke kelas dulu,
belajar yang rajin agar kamu bisa menggapai impianmu le”
“Nggih bu, doa ibu selalu menjadi
penyemangat saya dalam belajar. Saya masuk kelas dulu, assalamualaikum” sambil berjabat tangan
dengan ibunya Aufa pamit masuk kelas, setelah itu ibu Aufa menuju ruang kepala
sekolah.
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam, bu Sunarsih ya?
Silahkan duduk bu”
“Iya pak terima kasih”
“Bu Sunarsih mohon maaf sebelumnya, saya
memanggil ibu kesini tentu ada maksud dan tujuan tertentu. Aufa anak ibu sangat
berprestasi disekolah ini bu, saya ikut bangga atas prestasi yang diraihnya”
“Alhamdulillah, terima kasih pak”
“Tapi ada satu masalah yang membuat anda
sebagai orangtuanya harus saya panggil. Selama satu semester ini Aufa belum
melunasi yang menjadi kewajibannya bu, jadi sekali lagi saya mohon maaf, saya
memberi kesempatan selama tiga hari untuk melunasi semuanya, jika tidak bisa
mohon maaf sekali dengan sangat terpaksa kami harus mengembalikan Aufa kepada
Ibu. Ini rinciannya yang harus dilunasi”
“Masya Allah, banyak sekali. Pak apakah
tidak bisa diperpanjang lagi pak?”
“Maaf bu tidak bisa, ini sudah keputusan
pihak sekolah. Sebenarnya saya juga merasa keberatan apabila Aufa harus
dikeluarkan dari sekolah, tapi karena sekolah ini milik negara maka saya harus
ikut peraturan yang dibuat oleh negara”
“Baik pak saya akan berusaha mendapatkan
uang untuk membayar biaya sekolah Aufa. Tiga hari yang akan datang saya akan
kembali untuk melunasinya”
“Baik bu akan saya tunggu tiga hari ke
depan. Semoga ibu bisa mendapatkan uang untuk Aufa”
“Terima kasih pak, kalau begitu saya
pamit dulu. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam” Bu Sunarsih keluar
ruang kepala sekolah dengan suasana hati yang sangat kacau. Bagaimana tidak,
biaya sekolah Aufa yang tidak sedikit harus lunas dalam tiga hari yang akan
datang. Sementara itu keadaan ekonomi keluarganya yang sangat minim membuat ibu
lima anak ini kebingungan. Sepulang sekolah bu Sunarsih menceritakan semuanya
pada Aufa. Dengan lapang dada Aufa bisa menerima semua itu, ia tahu bagaimana
keadaannya saat ini. Maka dari itu Aufa tak memaksakan diri jika ia harus
dikeluarkan dari tempat ia menimba ilmu tersebut.
Tiga
hari berikutnya bu Sunarsih datang ke sekolah, bukan untuk membayar biaya
sekolah Aufa melainkan memberi tahu kepada kepala sekolah bahwa dalam tiga hari
ini ia tak sanggup mendapatkan uang sejumlah biaya sekolah Aufa. Bu Sunarsih
juga menjelaskan bahwa ia dan Aufa telah bisa menerima jikalau Aufa harus
dikeluarkan dari sekolah.
“Baiklah bu saya mengerti keadaan
ekonomi ibu, namun karena sudah jatuh tempo saya terpaksa mengeluarkan Aufa
dari sekolah. Mohon maaf sekali lagi bu.”
“Iya pak saya juga mengerti, InsyaAllah
saya dan Aufa ikhlas menerima keputusan ini”
“Terima kasih bu, semoga Aufa bisa
mendapatkan sekolah yang jauh lebih baik untuk dirinya”
“Aamiin”
Ada rasa menyesal dalam diri bu Sunarsih
karena ia tak bersungguh-sungguh dalam menyekolahkan anak-anaknya hingga salah
satu anaknya harus dikeluarkan dari sekolah. Namun takdir tetaplah takdir, ia
harus menjalani kehidupan ini sesuai kehendak-Nya.
Kini
Aufa tak lagi berangkat ke sekolah, ia tetap pergi namun di tempat lain. Kini
ia pergi untuk menggembala kambing salah satu saudagar di desa seberang. Ia
harus mencukupi kebutuhannya agar ia bisa kembali lagi ke sekolah. Namun
semangatnya belajar tak pernah luntur. Di sela-sela ia menggembala ia
menyempatkan untuk belajar sembari ditemani kelinci kesayangannya. Ia juga
rutin bertanya kepada teman-teman satu kelasnya tentang materi yang di
sampaikan bu Ilmi setiap hari dan mempelajarinya di sela-sela ia menggembala.
Suatu
hari saat ia menggembala kambing, seorang pengusaha yang sedang berlibur di
desa tempat Aufa menggembala melihat ia sedang menggembala kambingnya sambil
belajar. Pengusaha tersebut penasaran kepada Aufa lalu ia mendatangi Aufa.
“Selamat pagi, apakah saya boleh
bergabung?”
“Pagi pak, oh iya tentu saja boleh”
“Adik kok belajarnya disini? Bukankah
ini masih jam sekolah”
“Saya tidak sekolah pak, saya
dikeluarkan dari sekolah”
“Maaf dik bapak tidak tahu, ohh iya
bapak belum memperkenalkan diri. Perkenalkan nama bapak Yoga Pratama, panggil
saja Pak Yoga. Adik namanya siapa?”
“Nama saya Muhammad Aufa Ar-Rasyid,
panggil saja Aufa pak”
“Emm Aufa kalu boleh bapak tahu kenapa
Aufa bisa di keluarkan dari sekolah? Mungkin bapak bisa bantu”
“Saya dikeluarkan dari sekolah karena
saya tidak segera membayar biaya sekolah saya pak, jadi saya harus dikeluarkan
dari sekolah”
“Anak serajin kamu seharusnya
mendapatkan keistimewaan, sayang sekali kalau kamu harus putus sekolah.
Saya ingin sekali membantu kamu Aufa, dimana kamu tinggal?”
“Di desa sebelah pak”
“Bolehkah saya pergi ke rumahmu”
“Tentu saja boleh tapi setelah saya
selesai menggembala kambing-kambing ini”
Aufa juga menceritakan mengapa ia harus
menggembala kambing milik saudagar kaya di desa ini. Menjelang sore barulah
Aufa dan Pak Yoga menuju rumah sederhana Aufa. Di rumahnya Pak Yoga bertemu
dengan Bu Sunarsih. Ia lalu mengutarakan keinginannya untuk membantu agar Aufa
bisa sekolah lagi, bahkan Pak Yoga juga mengatakan bahwa ia sanggup membiayai
adik-adik Aufa dan Aufa sampai ke perguruan tinggi sekalipun. Dengan senang
hati akhirnya Bu Sunarsih mengiyakan niat baik Pak Yoga ini.
Keesokan
harinya Aufa kembali ke sekolah dengan lebih bersemangat lagi. Semakin hari
semangat belajar Aufa semakin tinggi, ia terus berusaha menggapai impiannya
mendirikan sebuah yayasan dengan basic hafalan Al-qur’an. Hari
berganti minggu. Minggu berganti bulan. Dan bulan telah berganti tahun. Si anak
kelinci telah tumbuh menjadi seorang peternak kelinci muda yang sukses. Dan
dari usaha peternakan kelincinya tersebut ia mampu mewujudkan impiannya
mendirikan yayasan Tahfidzil Qur’an.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "Mimpi Si Anak Kelinci - Fina Lutfiana - Lomba Menulis Cerpen"