-->

NOSTALGIA - Rose - Lomba Menulis Cerpen

NOSTALGIA

Oleh: Rose

Aku melangkahkan kaki memasuki SMA Gema Nusantara. Sudah hampir lima belas tahun aku meninggalkan sekolah ini. Tugas negara membawaku kembali kemari. Tak kupungkiri ada rasa rindu yang merayap didasar hatiku. Sekolah ini punya terlalu banyak kenangan untuk kulupakan.

Tak kulihat ada perubahan di sekolah ini, kecuali fakta bahwa sekolah ini sudah termakan usia, selain itu, semuanya masih sama seperti lima belas tahun lalu. Warna bangunan yang didominasi warna putih, kini telah kusam, kulihat dibeberapa bagian bangunan catnya sudah mengelupas. Gentengnya yang dulu berwarna merah bata, kini telah ditumbuhi lumut. Pagarnya pun sudah berkarat.

Ingatan kembali berputar ke masa itu, lima belas tahun yang lalu. Saat itu, aku adalah gadis polos yang penuh semangat dan keyakinan, impianku hanya satu, menjadi seorang dokter. Aku masih ingat betul, ketika pak Susilo bertanya kepada murid-murid tentang cita-citanya. Aku berdiri dengan percaya diri mengatakan aku ingin menjadi dokter, tak kusangka, ucapanku menjadi lelucon bagi murid lain. Ningsih, anak juragan terkaya di desaku, mengejekku, “Anak buruh tani mana punya uang untuk sekolah kedokteran,” begitu katanya, seisi kelas menertawaiku, wajahku merah padam. Pak Susilo hanya tersenyum kearahku dan meminta murid-murid untuk tenang. Ucapan Ningsih begitu menusukku, dengan amarah yang meluap-luap aku mendatangi dan menantangnya. Kukatakan padanya aku akan menjadi lebih kaya dan lebih hebat dari bapaknya, perkataan yang membuatku dihadiahi lemparan telur busuk dan tamparan di pipi kiriku.

Aku sebisa mungkin menahan tawa ketika mengingat betapa konyolnya aku yang dulu. Entah kudapat darimana keberanian untuk menantang Ningsih. Ningsih anak juragan, sedang aku hanyalah anak buruh tani rendahan. Waktu itu aku juga sama sekali tak berpikir, akan hancur hidup keluargaku jika Ningsih mengadukan perlakuanku pada bapaknya, bapaknya mungkin akan memecat orang tuaku. Aku sungguh beruntung karena Ningsih tak mengadukanku, walaupun sampai sekarang aku tak mengerti apa alasannya.


Semenjak kejadian itu, Ningsih selalu menggangguku, tak cukup hanya menghinaku, bahkan dia dengan begitu berbaik hati memberiku julukan ‘gadis tak tahu diri’. Julukan yang akhirnya dipakai seisi sekolah untuk memanggilku. Lama-kelamaan Ningsih semakin keterlaluan. Dia, berkali-kali dengan sengaja menarik kursi tempat dudukku atau melapisinya dengan lem. Hingga akhirnya satu-satunya rok yang kupunya robek. Aku terpaksa memakai rok tambalan ke sekolah.

Suatu hari, aku sudah sampai pada batas kesabaranku. Aku berkelahi dengan Ningsih, itu pun karena dia yang memancingku duluan. Tentu saja Ningsih dapat kukalahkan dengan mudah. Kemampuanku yang sudah terbiasa hidup keras dan mandiri jelas tak sebanding dengan Ningsih yang hidup dengan bermanja-manja. Kami berdua dipanggil ke ruang kepala sekolah, tapi bukan hidup namanya jika keadilan dipegang teguh. Dalam situasi seperti ini, semboyan bahwa hukum ada untuk dilanggar, sangat sesuai. Aku mendapat hukuman berat, setiap jam istirahat aku harus menghormat bendera di lapangan yang terik, ditambah lagi aku harus membersihkan WC sepulang sekolah. Sedangkan Ningsih? Jangan tanya, dia bahkan diijinkan tidak masuk sekolah seminggu untuk menyembuhkan lukanya yang tak seberapa.

Bukan gadis tak tahu diri namanya jika aku diam saja saat diperlakukan tidak adil. Di lapangan upacara, aku slalu berteriak dengan keras, “ Ini tak adil, sama sekali tak adil !”. Hanya itulah yang dapat kulakukan untuk melawan, tapi, kurasa itu sia-sia saja, bahkan malah memperburuk keadaan. Aku mendapat ancaman dari kepala sekolah, jika aku terus bertingkah, aku akan dikeluarkan.

Gemerisik daun yang tertiup angin menyadarkanku untuk kembali ke masa sekarang. Pandanganku tertuju pada sebuah pohon beringin tua yang berdiri tegak di ujung taman sekolah. Disanalah tempatku mengadu, menangis sepuas-puasnya, mempertanyakan ketidakadilan yang kualami. Biasanya aku ditemani oleh Sari, satu-satunya teman yang kupunya. Nasibnya tak lebih baik dariku. Sari anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan. Ketika murid-murid lain menghabiskan waktu istirahat dengan makan bakso dan bakwan goreng di kantin. Aku dan Sari masih setia menyantap singkong rebus di bawah lindungan pohon beringin. Sari adalah satu-satunya orang yang tak menertawakan cita-citaku. Alasannya sederhana, kami memiliki cita-cita yang sama, menjadi dokter.

Aku duduk di bawah pohon beringin, menyandarkan punggungku ke batang pohon yang sudah berkerut, pertanda usianya yang sudah tua. Kurasakan semilir angin menerbangkan rambutku, membawa kesejukan. Sari, aku merindukannya, aku selalu ingat kata-kata yang selalu diucapkannya untuk menyemangatiku, “Jangan menyerah sekarang, kita harus terus berjuang, kita tak tahu apa yang ada didepan jika menyerah sekarang.” Ah, meski sudah lima belas tahun berlalu rasanya baru kemarin dia mengatakannya padaku. Setahun lalu aku bertemu lagi dengannya, dia sekarang telah menjadi dokter, aku benar-benar kagum dengan perjuangannya. Dia berhasil meraih mimpinya, tak sepertiku, yang menyerah di tengah jalan. Sedangkan Ningsih, kudengar ia menikah tak lama setelah upacara kelulusan, Ningsih hamil di luar nikah.

Handphone-ku berdering, sebuah pesan dari wakilku, Tika.
From : Tika
Maaf bu, ada wali siswa yang ingin bertemu ibu.
Tolong temui beliau, terimakasih.
Aku tersenyum membaca pesannya. Entah mengapa aku begitu bersemangat menjalani tugas-tugasku, aku memang gagal menjadi dokter, tapi aku tak lagi kecewa, aku mencintai pekerjaanku sekarang.

Kulihat seorang wanita seusiaku duduk di sudut sofa, penampilan memang jauh berbeda dari yang dulu, tapi wajahnya tak pernah bisa kulupakan.
“Maaf ada yang bisa saya bantu?,” aku tersenyum lembut padanya.
“Bisakah saya meminta keringanan biaya anak saya?,” wajahnya memelas.
Untuk sesaat aku terdiam, terkejut mendengar permintaannya itu.
“Jangan khawatir, saya yang akan menanggung biayanya”
Bola matanya membesar, tatapan matanya seakan tak percaya dengan perkataanku.
“Terimakasih,” ujarnya ragu, aku kembali tersenyum

“Sama-sama Ningsih”
0 Comments for "NOSTALGIA - Rose - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top