Salam sastra semuanya. Kali ini saya akan membagikan salah satu cerpen saya yang ada di buku "Rahasia Hati" terbitan Kekata Publisher. Sebuah cerpen yang bertemakan rahasia hati ini, penulis coba ungkapkan melalui perasaan terpendam yang dimiliki sang tokoh. Perasaan yang begitu dalam sampaitak seorangpun layak mengetahuinya.
Tak Ada Yang Berubah
I
Bagaimana
aku menemukan jalan masuk yang tersembunyi, jika disini lebih gelap dari pada
dibaliknya? Kubiarkan semuanya berlalu begitu saja. Tanpa ada yang kudapat dan
tertempa dengan segala kesempatan yang ada. Baik langit yang ingin mencurahkan
segala isinya untuk dapat kubagi dengan orang-orang sekitar. Bumi yang
menyemburkan semburat hitam agar orang-orang yang menampikku tak lagi mengenal
kebaikan. Semuanya terasa tak berpijak saat sudah menyentuh hatiku yang kelam
dan terlelap dengan semuanya. Hanya karena mengenang setiap jengkal sentuhan
wanita yang selama ini memberikanku drama usang yang saat ini sudah tak laku
dipasaran.
Biarlah
kenangan ini merantaiku. Toh, aku juga menikmati kesendirian ini. Terkadang,
bukan terkadang, tapi selalu. Ya, aku selalu risih dengan keramaian yang ada.
Lelah dengan senyuman yang muncul di peron dengan gemuruh kereta api yang
menderu-deru dan mengalahkan suaraku yang memanggil namamu yang hanya terdiri
dari dua kata. Di etalase-etalase pinggir jalan yang memajang gambar-gambar
yang mengingatkanku akan sosok dan perawakan lembut dirimu. Gelang kaki
menghirukkan ingatanku tentang kau yang menerimanya dengan senyum lebar. Kau
memakai gelang itu keesokannya, padahal aku membelinya asal-asalan dari anak
kecil yang kebetulan menawarkannya di dekat stasiun depan rumahmu. Novel
romantis yang kau paksa aku membelinya. Tapi atas usaha senyum manismu yang
membuat tubuhku seakan dililit kebanggaan memiliki dirimu, membuatku membeli
novel romantis yang aku sendiri tidak hafal bentuk sampulnya. Tapi, tahukah
kau. Diam-diam aku membaca novel yang membuat dirimu terharu akan kisahnya.
Aneh, membuat diriku ini juga menitikkan air mata saat membacanya juga.
Ternyata asik juga membaca novel romantis yang memberikannku emosi tentang
masa-masa remaja yang kita habiskan percuma, bukan? Sampai kepada warung bakso
pinggir jalan dengan kepulan asap tipis yang sedikit membuat diriku ini
mengingat bibirmu yang memerah kepanasan akan kuahnya. Haruskah aku singgah
disana agar aku kembali melihat semua itu?
II
“Bagaimana
menurutmu tentang langit senja hari ini. Sudah satu semester kita memandang
langit yang sama, bukan? Tapi, baru kali ini aku merasakan bahwa kali ini
berbeda. Terlihat lebih tentram.” Kata gadis muda yang menyandang tas
sekolahnya itu.
“Ya.
Langit tetaplah langit. Itu tergantung suasana hati kita yang memandang.” Jawab
Hariz singkat.
“Benar.
Dan aku salah satu wanita yang memandangnya dengan hati bahagia.”
“Bahagia
akan sesuatu?”
“Bukan
sesuatu, tapi seseorang.”
“Oh!”
Hariz enggan untuk menanyakannya lebih lanjut. “Biarlah dia bahagia dengan dunianya. Aku tidak memiliki hak untuk
mencampurinya. ‘Bahagia,’ kata yang sudah lama tidak menyinggahi sanubariku.
Karena masih ada gadis lain yang harus kutunggu. Gadis yang selama ini menarik kebahagiaan agar tetap disampinggu. Ya,
itu.”
“Hariz,
kenapa kau baik selama ini kepadaku?” tanya gadis muda itu. Dengan rambut
lurusnya yang tergerai menarik taram di penghujung tahun, mengisyaratkan
harapan yang terpancar dari matanya. Tatapan yang menginginkan seseorang begitu
dalamnya.
“Memangnya
ada yang aneh dengan itu?
“Ya!”
“Teman
memang harus saling membantu, bukan?” jawab pria itu yang hatinya sudah
sedingin abu ditungku perapian.
“Oh
iya.” Kenestapaan tiba-tiba singgah dihatinya saat mendengar kata-kata yang
keluar dari mulut pria itu. “Aku cuma seorang teman.” Gadis muda itu berpalis.
“Ya,
teman!” jawab pria itu menerawang sambil membayangkan wajah gadis yang selama
ini ia tunggu. “Mungkin wajahnya sekarang
sedikit berubah setelah tiga tahun kami tidak bertemu. Hanya melalui memo-memo
yang tidak pernah kukirim kepadanya.”
Gadis
itu melihat kekosongan yang teramat dalam dimata Hariz. Apakah dia menyadari
sesuatu atau sebaliknya, dia juga tidak tahu. Ada sebuah ruang yang gadis itu
tidak bisa tempati apalagi menggantikannya dengan ruangan yang lebih indah
dengan berbagai kemewahannya. Semua itu terlalu dalam baginya. “Tidak bisakah kau memandangku sekali saja,
Hariz? Cukup sekali saja. Apakah cahaya senja tak memantulkan hatiku yang
dipenuhi kebahagiaan kedalam hatimu yang tak pernah nampak dasarnya bagiku?
Begitu dalamkah dasarnya sehinggah aku tidak pantas untuk menariknya keluar dan
berkata bahwa ‘kamu akan bahagia bersamaku’. Kenapa kau selalu baik selama ini
kepadaku? Mungkin aku yang terlalu menganggap serius semua perhatian yang
kutunggu setiap harinya. Indah, sungguh indah cahaya senja hari ini dan senja-senja
sebelumnya. Ya, indah bukan, Hariz?
Tiba-tiba
gadis itu menangis. Dia benamkan wajahnya dalam-dalam dengan menakurkan
wajahnya. Bahunya bergoncang saat ia mulai menahan sedu-sedannya. Sebenarnya,
pria itu paham akan derita yang gadis itu rasa. Tapi, pria itu tak mau
mengerti.
“Aku mengerti. Aku mengerti apa yang sedang
kamu tangiskan. Dan aku juga mengerti apa arti dari air mata itu. Maafkan aku,
karena tidak ingin mengerti tetasan hujan yang mendesau di hati ini. Maaf! ”
Pikir Hariz.
Kemudian gadis yang sejak tadi jalannya pelan,
kini berhenti dan terus menangis. Tangisannya membuat setiap orang merasakan
rasa sakit yang ia rasakan. Seakan semua kesedihan tertumpah kapada gadis muda
yang perasaannya selama ini tak mendapat balasan. Perasaan yang selama ini ia
kungkung dan jaga dengan sangat hati-hati. Tapi, pria yang ia harapkan pantas
untuk menerimanya, bahkan tak pernah ingin menyentuh perasaan itu. Tak pernah.
Hariz
hanya bisa memunggungi gadis itu dan membiarkan gadis itu menangis
dipunggungnya yang memantulkan cahaya senja. Hariz sungguh tidak mengerti
kanapa gadis itu menangis. Kini punggungnya yang basah oleh air mata gadis itu,
seakan-akan membuat gadis itu menelan setiap lengang yang ia rasakan dan
semakin hanyut dalam ingatannya. Menampikkan cahaya senja yang katanya
memantulkan senyum kebahagiaan untuk kehidupan remaja mereka.
“Aku sedari tadi bersamanya hanya bisa
menemaninya dan melihatnya menangis mengeluarkan semua yang ia rasakan. Biarlah
dia menangis mengeluarkan semua yang ia rasakan. Akan lebih baik saat aku tidak
mengganggunya. Mungkin langit senja terlalu indah untuk dipandang. Seakan
hatinya yang kosong menarik semua lipur yang setiap harinya matahari pancarkan.
Dan melalui cahaya senja ia berbagi semua sengsara yang mengungkungnya. Mungkin perasaan yang ia rasakan sama dengan
yang aku rasakan. Cinta tak memandang seseorang untuk merasakan kerinduannya.
Aku merasakan apa yang gadis itu rasakan. Rasa rindu, barangkali.” Pikir
Hariz dalam benaknya.
Kini
sosok kedua anak remaja itu tampak bagai siluet dengan bermandikan sisa-sisa
cahaya senja yang kelihatannya enggan untuk terbenam. Terbenam dengan
meninggalakn luka dihati gadis itu yang menerima kekecewaan dihatinya dan pria
itu dengan rasa rindu yang teramat sangat terhadap wanita yang selama ini ia
tunggu. Sedangkan corak sidamukti
yang terlukis di kain batiknya tak pernah ia pandang. “Langit tetaplah langit.” Tidak ada yang istimewa dengan itu semua.
III
Sekarang
tahun yang kesembilannya, Hariz tidak penah melihat wajah Lestari. Gadis yang
selama ini ia tunggu. Gadis yang nantinya akan menerima semua perasaan yang selama
ini ia dekam erat-erat dan meledak saat gadis yang ditunggu menerimanya. Pikir
Hariz penghibur diri.
“Lestari, di tempat kerjaku yang baru, tak
ada yang istimewa disana. Hanya disibukkan dengan tugas-tugas kantor yang
setiap harinya menulis dengan format yang sama. Surat ini, surat itu, hanya
menerima perintah dari atasan. Tapi, tahukah kau? Semua itu akan terasa ringan
dan istimewa saat kau ada disampingku.” Memo singkat yang ditulis Hariz
ditelepon genggamnya, tak pernah ia kirim. Sekarang sudah dalam jumlah yang
banyak. Tak pernah terlintas untuk menghapus pesan-pesan yang tidak pernah
sampai kepada orang yang dituju, apalagi mengirimnya kepada Lestari.
Tak
pernah sekalipun Hariz membuka hati untuk gadis lain. Begitu dalamnya dasar di
hati Hariz sehingga tak ada seorangpun yang pantas mengangkat semua kerinduan
yang ia simpan. Erat, sungguh erat. Bahkan ia sendiri tak sanggup mengangkatnya
sampai gadis yang ia pajang fotonya dikamar, datang untuk mengalirkan air segar
dihatinya.
Tempat-tempat
yang dulunya ia kunjungi bersama Lestari, sudah menjadi tempat istimewa
dihatinya. Tempat itu pula yang ia kunjungi setiap libur dari kantor. Peron
kereta api, dimana ia dan Lestari bertemu untuk pertama kalinya.
Lestari
sudah sangat sering melihat Hariz di peron kereta api itu. Tapi tak ada yang
istimewa dari pertemuan itu. Kecuali, memperhatikan Hariz yang selalu terlambat
menaiki kereta kerena keasyikan membaca buku dan akhirnya ketinggalan kereta.
Saat menunggu kereta, Hariz biasanya membaca buku yang selalu ia kantongi.
Dengan keasyikan itu pula, kadang-kadang Hariz tidak menyadari bahwa kereta
sudah berangkat. Semua itu, sudah menjadi perhatian Lestari.
Kali
ini, Hariz duduk disamping Lestari yang setiap harinya menunggu Ibunya pulang
kerja. Kali ini Hariz kembali ketinggalan kereta dan melanjutkan bacaannya.
“Ketinggalan
kereta lagi, ya?” Lestari memulai pembicaraan.
Hariz
hanya keheranan saat ada gadis yang tidak ia kenal bertanya kepadanya. “Ya!”
Jawabnya singkat dan melanjutkan bacaannya.
“Kelihatannya,
buku yang sedang kamu baca menjadi keterlambatan selama ini!”
“Mungkin!”
“Memangnya
tidak ada waktu untuk membacanya di rumah?”
“Ada!”
Jawab Hariz singkat untuk menunjukan kekesalannya yang terus ditanya oleh gadis
di sampingnya.
“Memangnya
buku apa yang sedang kamu baca? Bukunya cukup tebal.”
“Dunia
Sophie.”
“Dunia
Shopie? Karangan Jostein Gaarder?”
“Kamu
tahu tentang bukunya?” Tanya Hariz sedikit tertarik. Sangat jarang seseorang
tertarik dengan Novel Filsafat yang sangat membosankan dan membicarakan hal-hal
abstrak.
“Ya,
aku tahu. Soalnya aku juga sering membacanya di rumah.”
“Oh
ya?”
“Ya!
Sekarang kamu bab berapa?”
“Baru
bab empat. Tapi ceritanya terlalu teoritis pada bagian ini. Tidak seperti di
bab pertama yang sangat memancing keingintahuan kita tentang filsafat.
Bagaimana denganmu?”
Begitulah
pertemuan pertama yang mereka alami. Pertemuan yang menjadi awal sebuah arti
cinta bagi pria itu. Perasaan yang mengungkungnya selama bertahun-tahun. Dan
selama bertahun-tahun itu pula, ia mengunci semua perasaan yang dunia ini ingin
tunjukkan kepada pria itu. Bahkan ia sendiri enggan untuk melepas kerinduan
yang membuatnya membuang semua kenikmatan disekelilingnya.
Kamar.
Satu-satunya tempat yang memberikan kenikmatan bagi Hariz. Disana dia bisa
memandang foto-foto gadis yang selama ini ia rindukan. Semalaman hanya
memandang foto-foto itu. Meringkuk diatas lantai yang dingin sambil memeluk
kedua lutut. Dan sesekali membenankan kepala kedalam lamunan yang panjang. Membayang
apa yang sudah mereka lalui bersama. Bersama menarik bonanza yang dipersiapkan
untuk kebersamaan mereka kelak. Seakan-akan foto-foto yang sedang ia pandang
bergerak dengan sendirinya. Membelai tubuhnya yang sudah sangat merindukan
sosok gadis yang sudah membuat hatinya betah untuk bertahan dalam kedalaman
cinta yang sudah mereka buat. Begitu dalam semua ingatan itu. Menenggelamkan
mujur selama bertahun-tahun. Tanpa dia tahu bahwa, begitu banyak kenikmatan
disekitarnya yang tidak pernah ia rasakan.
Sungguh
sayang! Hariz sudah melewatkan begitu banyak sisa kekuatan yang ia tumpuk dan
hanya tercurahkan untuk mengenang gadis yang belum tentu mampu menarik semua
kebahagiaan kepadanya. Kebahagian semu menciprat tak terbendung. Semuanya sia-sia
untuk dikenang.
Bagus Yulianto
Tag :
Cerpen
0 Comments for "Cerpen Rahasia Hati, Tak Ada Yang Berubah"