-->

HAMILAH QUR’AN - M.Darmawan - Lomba Menulis Cerpen

HAMILAH QUR’AN
M.Darmawan

Apa yang terjadi denganku ? Seorang pemuda berbakat, dapat diandalkan, namun selalu dipaksa menyerah dan kalah oleh keadaan! “ Oh Tuhan, apa yang hendak kau sampaikan kepada hamba ?

Benakku berpikir kencang. Mungkin aku dan dia ditakdirkan hanya sebatas teman. Padahal, keharmonisan, keromantikan, kesetian dan rindu mendampingi rambutku rontok, dan mulai semakin merenggang.

“Tinggallah mahkotaku memikirkanmu”.

Hari sudah lalu tua. Matahari bertukar bulan. Keramaian bertukar senyap. Mencekam semakin mencekam di ujung lampu. Tak tersisa tampa kesan, tampa harapan dan sebuah pesan. Cerita sudah berada diujung tanduk, siap usang ditelan waktu.

Kehidupan tetap berputar sebagaimana mestinya. Bak sekeping logam. Sisi satu dan sisi lain saling bertolak belakang, juga saling melengkapi.

Aku tak tau lagi apa yang terjadi. Aku sudah bosan hidup dalam keputusasaan, kenestapaan dan keberpura-puraan. Dunia ini sungguh di penuhi oleh angan-angan, mimpi dan ilusi.

Aku sudah berusaha semampu dan sekuat yang aku bisa. Aku tak tau lagi harus berbuat apa. “Oh Tuhan, bantulah hamba”.

Manusia tak akan pernah bisa lepas dari ikatan cinta. Tidak juga kau, tidak juga mereka, tidak juga bajingan, tidak juga aku.

Aku mengetuk pintu hatinya, dan dia tak membukanya, menghiraukan saja (mungkin) tidak. Kuketuk lagi dengan sekelumit catatan ; rumus hukum fisika, sejarah aku dan dia dan sekangkir puisi.

“Aku tidak begitu yakin”, jawabnya singkat.

Kutaris nafas dalam, kuhembuskan secara perlahan. Ada sedikit rasa lega, dan setumpuk sesak di dada. Ternyata dia membaca sekelumit catatanku, dan pergi meninggalkan beribu tanya dalam benakku.

Kuketuk kembali pintu hatinya, dengan munajat terakhir dibulan kelahiranya, Februari. Kupikir ketukan ini akan menjadi ketukan terakhir.

Satu hal yang harus perempuan ketahuai tentang seorang lelaki dan harga dirinya, bahwa ketika ia memutuskan pergi, selamanya ia takkan pernah kembali.

Ini tentang kedewasaan berpikir dan pengambilan keputusan, bahwa dewasa bukan soal usia. Tetapi soal bagaimana sikapmu dalam memikul tanggung jawab yang diberikan. Juga tentang kebijaksanaan lelaki.

Begitu juga denganku. Tetapi, yang terjadi malah sebaliknya. Kalang kabut aku dibuatnya. Sungguh.

“Boleh akau bertanya, apakah munajatmu itu merupakan sebuah tanda, bahwa kau akan berhenti membuathku percaya ?”,tanyanya kepadaku.

Belum sempat aku berpikir untuk menjawab tanya darinya, ia sudah kembali berkata ; “Padahal, tadi malam, aku baru saja berubah pikiran. Aku akan berusaha mempercayaimu.

Tapi, jika itu memang keputusanmu, ya sudahlah. Tak apa bagiku. Aku sungguh berterima kasih untuk semuanya. Terutama untuk februari ini.

Maaf jika selama ini terlalu berbeli-belit. Aku terlalu lambat menerjamahkan semuanya. Semoga allah memudahkan segala urusanmu, sekarang besok dan seterusnya”.

Deg.... Aku terteguh. Aku tertohok. Terdiam dan tak tau keadaan apa yang sedang menghapiriku. Aku tak menyangka, ternyata ia menghiraukanku. Berbanding terbaking dengan anggapanku sebelumnya.

“itu terlalu jauh”, jawabku sinkat.

“benarkah begitu ?’’, timpanya. Lalu kembali melanjutkan ; “Kukira kau akan berhenti membuatku percaya, saat aku menyakinkan diriku sendiri kalau aku akan mempercayaimu”.

“Kau menduga terlalu jauh”, balasku singkat.

“Jujur ini pertama kalinya aku membuka hati, setelah dulu aku sempat meminta izin orangtuaku untuk dekat dengan seseorang, tetapi diminta focus kuliyah”, jelasnya.

“Jangan paksa aku mempercayaimu. Biar jikalau aku memang harus percaya, kepercaya itu muncul dengan sendirinya”, tambahnya.

Pikiranku semakin runyam. Aku semakin tak tau keadaan apa yang sedang menghapiriku. Ku ambil sebatang bambu, lalu kupukulkan kelagit-lagit kamar dan tembok sekitar. Semakin aku berusaha memahami sosok bernama perempuan, semakin itu pula aku tidak mengerti.

Dia perempuan yang hafal al-qu’an, karenanya kupanggil ia dengan “Hamilah Qur’an”. Kusadari saat itu, hatinya begitu suci. Dan betapa tidak separuhnya aku, tepatnya bajikan sepertiku, yang telah berani menyentuh pintu hatinya, yang begitu suci.

Sehebat apa aku? Sudah berapa ratus/ribu buku/ kitab yang kubaca/ kutelaah? Kok berani-beraninya mengetuk pintu hati seorang Hamilah Qur’an?.

Kumenarik nafas dalam, kuhembuskan secara perlahan. Kuputuskan untuk meneruskan kegilaan itu, dan berkata kepadanya ;

“Wahai Hamilah Qur’an, aku tak pernah memaksamu percaya kepadaku. Aku setuju dengan pendapatmu, biarkan itu berjalan secara alamiah. Namun aku tak setuju dengan perkataanmu “Biarkan kepercayaan itu muncul dengan sendirinya”. Tidak, tidak semudah dan sesederhana itu. Untuk mendatangkan kepercayaan, kau harus berusaha untuk membuatnya percaya”.

Kemudia ia berkata, “Aku takut. Takut hatiku terlalu lemah. Takut dosa. Aku tak pernah mengizinkan seorangpun untuk menggoyahkan hatiku. Aku selalu diam, atau menghindar, jika seorang ada yang berusaha mendekatiku. Hanya untuk kali ini, aku tak bisa  diam”.

“Oh, begitu suci hatimu”, kataku

“Aku masih belajar”, songgahnya.

Hatinya begitu suci. Sungguh-sungguh suci. Aku tak tahu harus bersikap dan memasang mimik wajah seperti apa. Bahagia, karena ia membuka hatinya untuk yang pertama kali, dan itu hanya untukku. Takut, aku takut, khawatir, sekaligus bertanya-tanya, “apa ia menerimaku apa adanya? Apakah ia dapat menerima segala bentuk masa laluku?”, dan tanya-tanya lainya menghujam benak pikrku.

Aku bukanlah lelaki suci, namun telah jatuh hati kepada sosok yang begitu suci. “Oh Tuhan, suratan takdir apa yang telah kau rencanakan?.
***
Setelah percakapan yang entah aku harus merasa dan memasang mimik wajah seperti apa itu, aku meminta kepadanya untuk bertemu secara langsung, bukan jagad maya. Aku hanya meminta waktunya sebentar, untuk sekedar menyerahkan catatanku, yang semuanya tentangku, Dia dan dirinya.

“Duh, harus ya?”, ia tak mengindahkan

Kujawab; “Ya terserah dirimu. Jelasnya ini hanya bagian dari usahaku untuk membuatmu percaya”.

Aku sungguh tak ingin menjadi penjuang nafsu yang berlabel cinta. Bila ia memang merasa bebas, lepas dan bahagia dengan tampa adanya aku, aku akan dengan senang hati menghilang dari radar peredaraannya, angkat kaki dari kehidupannya.

“Ada opsi lain tampa harus bertemu?’’, tanyanya.

“Apa opsi itu”, aku balik bertanya.

“Itu yang aku tanyakan”, sanggahnya.

“Kalau begitu, tak ada opsi lain. Ini sifatnya privasi. Tak peduli benda atau manusia, mereka tak boleh ikut campur”. Jelasku.

“Lainya, please !”, pintanya

“Apa yang kau takutkan bila bertemu denganku?”, aku menyanggah permintaannya itu.

“Hanya tak nyaman saja”.

“Baiklah kirimkan aku alamat kediamanmu. Kukirim via pos saja”.

Pada saat itu, angin tertiup perlahan dan menyibakkan dedaunan di pepohonan lapangan, membuat daun-daun kering kecoklatan berguguran.


Perlahan daun-daun itu melayang dan menyentuh tanah. Letak jantungnya tak beraturan, terserah angin ingin membawanya kemana.
1 Comments for "HAMILAH QUR’AN - M.Darmawan - Lomba Menulis Cerpen"

cerpen ini sangat miskin kosa kata dan dalam penulisan tidak sesuai dengan aturan bacaan yang disempurnakan

Back To Top