-->

Dekat Oleh - Heni Kusuma - Lomba Menulis Cerpen

Dekat
Oleh: Heni Kusuma

Hujannya pertama bulan November, setelah sekian lama dinanti, setelah rerumputan kering, setelah hutan terbakar, setelah mata air surut dan setelah-setelah lain yang membuat kami harus sholat istisqo’ di sana sini. Tak henti-henti kami mengucap syukur, melihat sekeliling menghijau asri. Balut-balut kabut menenteramkan hati, hujan telah kembali.
“Sudah jam empat, Mas Rosyid”, seru Pak Amir, penghuni rumah terdekat masjid Al-Hidayah. Hampir satu jam sejak sholat ashar berjamaah, Pak Amir dan aku masih setia bersila di atas karpet hijau masjid. Jamaah sholat ashar hari ini hanya lima orang. Aku, pasangan suami istri berumur 70 tahunan yang masih bersaudara dengan pak Amir, istri Pak Amir, dan Pak Amir sendiri. Tak heran, hujan mengguyur sejak ba’da dhuhur. Sangat lebat dan tak kunjung berhenti. Maka dari itu Pak Amir sengaja tinggal untuk menemaniku barang membaca Al-Quran satu juz.
Kami keluar menuju teras masjid. Seperti tak ada tanda-tanda hujan akan mereda, apalagi berhenti. Ember penampungan di bawah talang air di sisi kanan masjid, dimana genteng rumah Pak Amir dan genteng Masjid bertemu, sudah tak mampu lagi memberi ruang bagi curahan air. Berdiri tak banyak bicara. Kami hanya menatap bulir-bulir itu yang dengan tegasnya jatuh menimpa dan mengalir ke penjuru manapun yang mereka mau.
“Sepertinya mereka tidak datang, Pak Amir”, aku menengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Sepuluh menit lewat dari jam empat. Aku menatap papan hitam kelabu yang tertulis beberapa doa sehari-hari. Terlihat sisi kiri papan itu tersabik air tampuan hujan yang terpias halus dari atas. Bercak-bercak basah melunturkan goresan kapur tulis.
“Sayang ya, rumah mereka jauh dari masjid. Orang tua mereka pasti juga banyak yang belum pulang kerja. Tidak ada yang mengantar”, pak Amir mengusap wajahnya. Air hujan juga tertampu di wajah beliau yang kian keriput. Aku tersenyum, dan kembali menatap hujan.
“Apa ya saya perlu mendatangi rumah mereka satu-satu? hahaha”, kataku sambil terus menerawang selimut kabut di udara. Pak Amir tertawa, lalu memandangku.
“Sampean ini semangat sekali. Alhamdulillah, padahal baru tiga bulan bertugas. Sebelum-sebelumnya, bulan tiga itu mereka masih belum bisa kerasan lho, Mas. Sayangnya…. nggak ada prawan di sini. Kalau ada, pasti sampean sudah saya rekomendasikan. Hahahaha….”, aku terhenyak dan ikut tertawa.
“Mas Rosyid, kalau saya balik duluan bagaimana? Saya mau mengurus itu, anu, buat penyambutan KKN minggu depan. Besok juga masih ada rapat di balai desa”, Pak Amir membuka payungnya. Hadiah undian sepeda sehat dua bulan lalu, dari sponsor.
“Oh, monggo, monggo, Pak. Alhamdulillah jaza kallahu khoiroo sudah menemani saya. Maaf malah mengganggu pekerjaan, Bapak”. Pak Amir tertawa renyah sesaat sebelum mengenakan sandalnya.
“Sampean istirahat aja, Mas. Paling-paling mereka juga nggak datang wong masih deres begini hujannya. Libur dulu nggak apa-apa. Assalamualaikum!”
“Iya, Pak. Wa’alaikumsalam”, Pak Amir setengah berlari dan hilang dibalik daun pintu. Aku masuk ke kamarku yang ada di bagian belakang masjid. Sebuah ruangan berukuran 3 x 3 meter yang memang sengaja disediakan untuk orang-orang sepertiku. Tidak terlalu luas, tapi sudah lebih dari cukup untuk menampung barang-barangku. Aku hanya butuh lemari kecil. Di atas lemari itu bisa kugunakan untuk menaruh buku-buku dan kitab. Juga meja untuk tulis-menulis atau sekedar menopang dagu sambil melamunkan keluarga di rumah. Serta sebuah dipan untuk membaringkan tubuh usai mengajar ngaji.
Mas mubaligh atau mas ustadz, begitu orang-orang desa ini menyebutku. Setelah setahun lebih menggali ilmu agama di pondok pesantren, kini aku diamanahkan untuk menyampaikannya kepada orang-orang. Bahasa kasarnya, aku dilepas di daerah yang bahkan mungkin tak pernah kucari dalam peta Indonesia. Aku dipertemukan dengan masyarakat baru, kebudayaan baru, kebiasaan baru, dan aku harus membantu memperbaiki serta memantapkan kepercayaan mereka akan Islam yang murni berbekal ilmu yang telah kumiliki.
Hujan memang belum ingin berhenti. Aku membenamkan diri dalam selimut. Sesungguhnya aku sangat lelah. Sejak pagi aku sudah ikut Pak Amir bekerja bakti di kampung sebelah. Selepas itu aku masih harus membantu mengepel lantai masjid dan membersihkan jelaga di atap-atapnya. Bulan depan aku juga harus siap dengan laporan rekapitulasi nilai anak-anak TPA. Semalam tadi ada pengajian umum hingga pukul 23.00. Aku mengantuk. Sejenak aku terbayang keluarga di Lampung. Kelihatannya saja aku baik, rindu mendalam itu tetaplah ada. Bulan-bulan pertama di pondok pesantren, di kota Kediri, rasanya memang ingin segera lulus dan pulang. Kontras budaya dan semua hal yang benar-benar baru membuat hari-hariku kian tertekan. Tetapi, sejak awal, menjadi diriku saat ini adalah mimpi. Sehingga pilu itu tidak selamanya ada. Aku sekarang bahkan sangat menikmati.
***
“Mas, nanti malam ada penyambutan sekaligus acara sosialisasi dari KKN. Mas Rosyid dapat undangan nih. Nanti berangkatnya bareng saya, di rumah Pak Andi”, Pak Amir menemuiku ba’da dhuhur. Aku menerima selembar surat undangan, masih rapi dengan klip menahan lipatannya.
“Mahasiswa UNY?” aku mengintip.
“Iya, KKN-nya mahasiswa UNY. Universitas bagus itu, Mas. Nggak cuma UGM. Nanti kalau sudah selesai tugas di sini, sampean kuliah di Jogja, siapa tahu ketemu jodoh. Hahahaha…”, canda Pak Amir.
“Pak Amir bisa aja. Aamiin, Pak. Doakan nggih, Pak. Siapa tahu? Saya sebenarnya juga kepengen kuliah di sini. Katanya kan ada PGSD ya, Pak. Nah, pengen banget saya Pak masuk jurusan itu. Tapi katanya juga susah masuknya, saingannya banyak. Hahaha!”
“Yakin saja, Mas. Bapak doakan, kalau memang mau kuliah. Semoga dimudahkan sama Gusti Allah”
“Aamiin, jazakallahu khoiroo, Pak Amir. Oh iya, KKN-nya ini tinggal dimana? Biasanya kalau KKN di daerah saya itu tinggal di rumah kepala dusun. Kok nggak tinggal di rumah Bapak?”
“Woalah Maas…sampean juga tahu to kalau rumah saya cuma segitu? Mahasiswa 12 orang itu mau saya taruh mana? Hahaha. Nggak cukup, Mas. Mereka tinggal di rumah Pak Andi, itu lho dekat Alfamart ujung jalan mau ke jalan propinsi. Ya sudah mas, saya siang ini mau ke rumah mertua. Saya balik dulu. Assalamualaikum”,
“Wa’alaikumsalam”, lagi-lagi Pak Amir adalah jamaah sholat terakhir yang meninggalkan masjid. Kuiringi langkah beliau hingga tak tampak lagi.
Masih di atas karpet hijau shaf pertama, aku membuka undangan itu perlahan. Aku cermati waktu dan tempatnya. Sebuah angan melayang-layang. Aku teringat seseorang.

‘ayah kamu ingin kamu belajar di pondok kan, Hanif?’ Hanif diam.
‘kamu tetap mau kuliah? Pergilah ke pondok dulu. Toh nanti masih bisa melanjutkan kuliah’ aku khawatir, kefahaman agamanya belum mantap.
‘aku udah terlanjur mendaftar, mas. Udah diterima dan udah bayar’ jawab Hanif seminggu kemudian.
‘jadi…kamu kuliah dimana? Jurusan apa?’ aku khawatir, berjilbab pun rambutnya kemana-mana.
‘di UNY, mas’.
Sejak itu Hanif pergi dan nomornya tidak bisa dihubungi. Aku juga pergi. Aku banyak berharap. Ada Hanif di sini.  Ya Allah, tiba-tiba aku rindu.
“Mas Rosyiid, mahasiswa yang KKN di sini ada anak PGSD juga lho, sampean bisa tanya-tanya. Saya pergi dulu, mas. Assalamualaikum” Pak Amir membuatku kaget. Aku melambaikan tangan.
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati di jalan, Pak!”
***
Rumah Pak Andi tak seperti biasanya yang sepi dengan pintu yang selalu tertutup rapat. Malam ini keadaan itu berbalik. Kulihat beberapa tokoh masyarakat dusun seperti ketua RW, ketua RT, ketua karang taruna, dan ketua komunitas-komunitas lainnya telah hadir. Pintu rumah Pak Andi dibiarkan terbuka lebar. Tampak beberapa mahasiswa beralmamater biru lalu lalang di dalam. Beberapa yang lain menyambut kedatangan kami. Aku cemburu. Pada jas biru itu.
Ba’da Isya, kami lengkap berkumpul di ruang tengah kediaman Pak Andi. Pandanganku menyisiri satu persatu mahasiswa yang duduk rapi di hadapanku.
“Mahasiswa UNY itu ribuan. Seangkatan ada berapa mas?” tanya seorang warga.
“Banyak. Pak. Enam ribuan lebih” jawab seorang mahasiswa berambut keriting.
“Ini cuma 12 orang. Lainnya KKN di mana?” tambah yang lain.
“Banyak yang masih di lingkup DIY, beberapa ada yang di Magelang, Klaten, luar jawa, bahkan luar negeri Pak” jawab mahasiswa berambut keriting lagi. Mereka lalu memperkenalkan diri satu-satu. 
Tidak ada Hanif.
“Mas Rosyid, nanti sampean bawa motor saya, ya? Saya bareng Mbah Jamal mau ambil cetakan batako di rumahnya Mas Rizal dulu, takut lupa lagi”, bisik Pak Amir. Aku mengangguk.
“Mas Rosyid!” seorang mahasiswa memanggilku saat aku hendak menstarter sepeda motor. Dia yang berambut keriting, tersenyum ramah dan mendekatiku.
“Hampir lupa Mas, saya. Begini, besok sore ada TPA kan, ya? Beberapa dari kami mau gabung nih, sekalian bahas proker kami di TPA. Bisa, Mas?” lanjutnya.
“Siap Mas!!” Mahasiswa berambut keriting yang kuketahui bernama Rifky itu tersenyum semakin lebar.
“Terima kasih banyak, Mas. Terima kasih. Hati-hati di jalan”, aku pun meninggalkannya. Berhenti di depan alfamart. Masuk, biar dapat ucapan selamat malam. Aku menuju meja kasir sambil membawa sebotol shampoo dan beberapa batang sabun di tangan.  Rupanya masih antri.
“Ini kembaliannya, Mas. Terima Kasih…” ucap Mbak kasir ramah.
“Silakan Mbak….” Sapa Mbak Kasir pada antrian di belakangku.
“MasyaAllah!!!” aku terhenyak melihat siapa yang sedari tadi berdiri di belakangku. Dua perempuan beralmamater biru. Tak tampak logo di sakunya karena tertutup jilbab yang menjuntai panjang.  Dia pun spontan menoleh ke arahku.
“MasyaAllah, Mas Rosyid?” pekiknya.
“Hanif?”
“Yuk, Hanif. Cepat, cepaaat…” temannya menarik lengan Hanif.
“Eh, assalamualaikum, Mas Rosyid!”
Mereka segera melaju kencang ke arah jalan propinsi. Sepertinya buru-buru. Kutatap dari jauh. Dia juga masih memandang ke arahku. Jilbab ungu lebarnya menciptakan siluet, berkelebat tertiup angin.

“Wa’alaikumsalam, Hanif”, Hanif ada di sini. Dekat.
0 Comments for "Dekat Oleh - Heni Kusuma - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top