Ikatan Pita
Hasna Asjad Allamah
Kami masih bertengkar. Masih saling diam. Masih saling
menghindar. Dan masih saling membela diri benar. Tidak seperti di SD atau TK
kami bertengkar lalu menangis sejadi-jadi mungkin dan melapor pada orang tua
masing-masing. Tidak. Kami sudah dewasa. SMA lebih tepatnya. Maka hari ini,
kelas XI.B sungguh terasa sepi tanpa
senda gurau dari Kami berenam. Seli, Dina, Danny, Andra, Febri, dan Aku. Kata
orang-orang yang sudah melewati masa-masa SMA, ‘masa-masa paling indah
disekolah adalah masa SMA’ katanya. Aku tidak mengerti. Yang Aku rasakan saat
ini sangatlah buruk. Seli dan Dina memihak padaku, sedangkan Andra dan Febri
memihak pada Danny. Kami bagaikan sebuah pita yang terputus.
***
Seminggu yang lalu Kami melaksanakan ujian tengah
semester. Kami berenam benar-benar berjuang mengdapatkan hasil terbaik. Seperti
biasanya Kami selalu membuat kelompok belajar. Ada Seli yang pandai di bidang
Bahasa Inggris, Dina yang menguasai semua rumus-rumus fisika, Danny sang atlit,
Andra si jenius matematika, Febri sang seniman, dan Aku penguasa bahasa
Indonesia dan Daerah. Kami saling membantu satu sama lain. Kini kami
kebingungan mengerjakan beberapa tugas. Aku membutuhkan Andra yang lincah
menghitung. Sepertinya yang lain juga begitu, namun tak ada satupun yang
beranjak mendekat. Sudah terlihat teman-teman tak ingin terlibat dalam
perseteruan Kami.
“Syaf?” Suara Fio menyadarkanku. Aku tersenyum, Fio pun
membalas senyum. Hari ini kami melakukan penilaian loncat kangkang dan loncat
harimau. Pak Dio, guru olahraga Kami sudah siap dengan buku penilaian dan
pulpen yang siap mencatat hasil loncatan kami. Sebelumnya kami diperbolehkan mencoba
menloncat beberapa kali. Seli dan Dina kesulitan melakukan loncat harimau.
Biasanya Danny, Andra dan Febri akan membantu Kami berlatih hingga bisa. Tidak
kali ini. Kami bertiga berusaha sebisa kami. Sehari sebelumnya kami bertiga
juga tidak membantu Danny, Andra, dan Febri yang kesulitan dalam pelajaran bahasa.
Mungkin mereka balas dendam. “Kalian berdua pasti bisa! Ayo kita latihan lagi”
ucapku menyemangati dan mengajak Seli dan Dina berlatih lagi. “Heem! Semangat!”
Seli dan Dina penuh semangat.
***
Seminggu yang lalu, Aku dan Dina asyik mencorat-coret dan
mengamati keadaan dikelas kami. Ada Hari yang duduk seperti orang yang sedang
makan di warteg, ada Sisil dan Andra yang sedang mengerjakan tugas kelompok,
ada Hasfi dan Akmal yang sedang bermain games, bahkan ada Atta yang asik
mengupil. Haha kami tertawa terbahak-bahak melihatnya.
“Hihi Aku menemukan sesuatu yang menarik!” ujar Seli
tiba-tiba, menghentikan tawa kami berdua. Dina dan Aku mulai penasaran. “Apa
kalian sadar perilaku Randi akhir-akhir ini bagaimana?” tanyanya yang semakin
membuat penasaran. Kami berdua menggeleng.
“Coba kalian ingat-ingat lagi”. Kami berdua terdiam,
pikiran kami masih bergulat mencari-cari sebuah ingatan.
“Ah! Aku tau! Aku sering melihat Randi berbincang-bincang
dengan Lala” mengagetkan.
“Benar!” tegas Seli. Aku masih mengingat-ngingat.
“Dan Aku pernah membaca sebuah puisi dibelakang buku
Randi yang ditujukan untuk sesorang berinisial LH” akhirnya Aku menemukannya.
“LH berarti Lala Hayyuning” tebak Dina. “Benar!” tegas
Seli lagi. “Kesimpulannya...” Seli memancing. “Randi suka Lala!” ucap Aku dan
Dina menebak.
“Haha. Tepat sekali!” Kami mulai merencanakan sesuatu.
Kami berniat membantu Randi menyatakan perasaannya pada Lala. Awalnya kami
hanya iseng, namun lama kelamaan kami menjadi serius setelah pengakuan Randi
pada Kami bertiga. “Tapi kalian janji jaga rahasia ini. Dan terimakasih kalian
mau membantuku, akan ku traktir kalian setelah hari itu datang” ujar Randi
kemudian pergi dengan sebuah senyuman yang mengembang diwajahnya. Benar, SMA
adalah masa-masa indah sekolah.
Selama dua hari kami merencanakan apa saja yang harus
Randi katakan pada Lala. Kami benar-benar serius. Ini sungguh menyenangkan.
Kami mencatat rencana Kami disebuah buku bersampul pink, agar Kami tidak lupa.
“Kalian kenapa dari kemarin senyum-senyum, ketawa-ketiwi
terus?” tanya Febri tiba-tiba mengagetkan. Kami segera menutup buku yang berisi
rencana-rencana kami.
“Kami sedang bermain” jelas Dina. “Iya benar” Seli
meyakinkan.
“Coba Kami liat” ucap Andra tangannya sudah memegang buku
pink Kami. “Jangan!” Aku menyela dan mengambil buku itu.
Tanganku tak memegangnya dengan benar. Danny dengan
lincah mengambil buku itu dan mengangkatnya dengan segera, Ia
menggerak-gerakkan tangannya. Semakin sulit Aku meraihnya. Seli dengan sigap
dari belakang merebutnya dengan kencang. “Kalau gak boleh ya gak boleh!” omelan
Seli keluar. Kami meninggalkan mereka bertiga.
***
Keesokan harinya. “Danny ajarin cara nendang bola” rengek
Dina. Hari ini kami akan melaksanakan penilaian materi sepakbola. Dan hari ini
juga tugas matematika dikumpulkan. “Dra ajarin nomer 9, Aku gak maksud sama
soalnya” ucapku pada Andra yang asik memainkan games dihpnya. Seli masih sibuk
menulis-nulis rencana dibuku pink.
Bel istirahat pertama berbunyi. “Kalian ngerasa aneh gak
sih sama sikapnya Danny, Andra, Febri?” tanya Seli. “Iya, tadi pagi Danny gak
mau bantuin Aku cara nendang bola” ucap kesal Dina. “Andra juga gitu”
***
Urutanku sebentar lagi, Aku bersiap-siap melakukan
loncatan terbaik agar mendapat hasil yang baik pula.”Syafaa!” Pak Dio sudah
memanggilku. “Yess!” Aku berhasil loncat dengan baik. Giliran Dina dan Seli maju.
Aku bersorak menyemangati “Fighting! Fighting! Fighting!”.
Sepekan yang lalu tepat 2 hari lagi, hari dimana Randi
menyatakan perasaannya pada Lala. “Kita harus bilang ke Randi kalo dia nanti
harus...” Dina berhenti berbicara. Danny,Andra dan Febri mendekati kami
menunjukan sesuatu dan pergi begitu saja. ”Eeh! Itu buku Aku!” ucapku lantang
dan mengejar mereka bertiga hingga bel masuk. Bel pulang sekolah Aku segera
merebut buku dari tangan Febri. Terjadilah tarik-menarik dan buku itu robek!.
Aku berlari pulang dan mengambil buku
yang robek itu, buku yang berisi kenanganku bersama sahabat ku diSMP. Sahabat lama yang telah pergi, dan sahabat baru
yang berdatangan
(Seli, Dina, Danny, Andra dan Febri). Sama seperti
hari-hari biasanya. Hari yang lama pergi, dan hari yang baru datang. Pandanganku agak buram dan pipiku basah terkena tetesan
air mata. Kesal. Seli dan Dina yang melihatnya langsung memarahi Febri. Kami
bertiga gagal memberitahukan Randi.
H-1. Aku benar-benar bermusuhan dengan Febri. Hari ini Kami
akan memberitahukan rencana Kami pada Randi. “Jadi gimana?” tanya Randi. “Jadi
nanti pulang sekolah...” ucapan Dina lagi-lagi terpotong. Sekarang giliran
Danny dan Andra yang berulah. Handphone Seli berada digenggaman Danny. Mau tak
mau Seli dan Dina mengejarnya dan merebut kembali hpnya. Dan mau tak mau Aku
yang menjelaskan pada Randi. “Nah jadi nanti..” ucapanku kembali terpotong. “Akuu..”
Giliran Febri menganggu. “Apa? Mau ngajak ribut?!” ucapku lantang.Febri tak
terima dengan balasanku. Kami berdua beradu kata. Randi pergi tak ingin
terlibat dalam perkelahian. Aku benar-benar mengeluarkan kata-kata pedas. Febri
mendorongku hingga badanku hampir terjatuh. Kelas menjadi sunyi karena
pertengkaran kami berdua. Aku menangis lagi. Aku tak tau apa yang salah dengan
Febri. Seli,Dina,Danny,dan Andra memisahkan kami berdua.
***
Hari yang ditunggu-tunggu datang, semenjak kejadian
kemarin Kami benar-benar bermusuhan. Saling diam dan saling membela diri benar.
Bel pulang sekolah Kami langsung memberi tahu Randi dengan tiba-tiba. Untungnya
Randi dapat menerima dengan mudah. Dan langsung mencari keberadaan Lala. Kami
mengikutinya dan menyembunyikan diri. “Ada apa Ran?” dengan lembutnya Lala
bertanya. “Heem..” Randi terlihat gugup. Lala menunggu. “Heem.. Aku suka kamu.
Kamu mau gak jadi pacar Aku? Ucap spontan Randi. Sangat terlihat gugup. Giliran
Randi menunggu jawaban Lala.
“Maaf” kata pertama yang Lala ucapkan. “Aku paham” Randi
pergi dengan sangat kecewa. Kami bertiga masih berada ditempat yang sama.
Mengejutkannya lagi Kami melihat Danny.
“Looh itukan Danny, Dia mau apa?” tanya Seli penasaran.
Jarak kami tidak terlalu jauh. Kami dibuat kaget lagi. Danny juga menyatakan
perasaannya pada Lala. Dan jawaban yang diberikan Lala pun sama dengan jawaban
yang diberikan pada Randi.
Kami paham.
***
Seli berhasil loncat dengan baik sedangkan loncatan Dina
meleset. Kakinya menghantam lantai lapangan. Kami berdua menolongnya. “Syafa, Seli,
Dina, Danny, Andra, Febri bersihkan lapangan. Yang lain bereskan peralatan”
perintah Pak Dio. “Hah kita berenam?” Seli melongo. “Iya cepat! Lama, lari 10
kali lapangan!”. Suara lantang Pak Dio sudah seperti seorang kapten tentara
yang membuat kaget dan panik kami bercampur menjadi satu. Kami segera membersihkan lapangan selayaknya
seorang prajurit dan Kami tetap saling diam tanpa ada sebuah obrolan.
Kami telah selesai. Entah mengapa kami tetap harus
berlari mengelilingi lapangan. Sebenarnya Aku tak masalah. Dina yang menjadi
masalahnya, Ia tak sanggup berlari lagi. Aku dan Seli memapahnya untuk tetap
berlari. “Gerak yang cepat! Lambat sekali kalian” teriak Pak Dio tak ada ampunnya
untuk Kami. Dina menangis, Seli menenangkannya. Danny, Andra dan Febri tetap
berlari. Tidak, mereka berhenti tepat dihadapan Pak Dio. “Pak, Kami siap
menambah putaran berlari asalkan Syafa,Dina, dan Seli diperbolehkan berhenti
berlari” ucap tegas Danny diikuti anggukan kepala Andra dan Febri. “20 kali
putaran!”. Mereka melanjutkan berlari, kami segera membawa Dina ke UKS. Kami
sungguh berterimakasih pada Pak Dio dan juga Danny, Andra serta Febri.
“Looh larinya udah selesai? Cepet banget?” tanya Seli
penasaran mendapati Danny, Andra, dan Febri datang ke UKS. “Kalian mengerti
mengapa Bapak berikan hukuman lari?” Pak Dio datang dan berdiri ditengah-tengah
Kami berenam.
“Ibaratkan kalian berenam adalah seekor kuda yang
berlari. Jika salah satu kaki kuda tersebut terluka, maka kuda itu tidak akan
bisa berlari atau bahkan berjalan.” Kami saling memandang satu sama lain.
“Sama seperti kalian. Satu diantara kalian sakit, kalian
tidak bisa menyelesaikan hukuman itu.” Pak Dio memandang kami satu persatu.
“Butuh sebuah kebersamaan, kekompakan, dan kerjasama
untuk dapat menyelesaikan suatu permasalahan.” Kami mengangguk bersamaan.
“Bapak tau kalian bertengkar. Sudahlah, jangan egois pada
diri sendiri. Dan jangan pula merasa diri kalian paling benar. Akui saja kalian
memang sama-sama salah.” Aku menunduk, semua ikut menundukkan kepala.
“Proses dari teman menjadi sahabat membutuhkan usaha
pemeliharaan dari kesetiaan, dan inisiatif memberikan dan mewujudkan apa yang dibutuhkan oleh
sahabatnya.”. Pak Dio memberikan kode pada Kami semua. “Maafin kita ya Syaf,Sel,Din.
Kemarin Aku mau njelasin tapi kamu motong dan bikin Aku kesel juga” ucap pengakuan
Febri mengawali. Aku, Seli, dan Dina mengangguk. “Kita juga minta maaf, Kita
gak bermaksud ngejauhin kalian” Aku membalas. “Lagi pula Aku juga salah,
seharusnya Aku cerita sama kalian. Bukan diam-diaman” jelas Danny. “Naah!
Karena kalian sudah baikan, kalian harus berterimakasih dengan teman kalian
yang mengusulkan ide hukuman lari itu” jelas Pak Dio sedikit tertawa. Fio
tersenyum diluar ruangan UKS, melambaikan tangannya. Sudah kuduga, berkat Fio
Kami bersatu kembali seperti sebuah pita yang terputus lalu seseorang mengikatnya
dengan cantik agar pita tersebut bersatu kembali. Percayalah, bukan pengkhianatan yang akan
mengakhirkan Kami,
namun pertemanan abadi yang akan menemani Kami hingga akhir hayat. Memang benar, terkadang apa yang kita alami demi teman kadang-kadang
melelahkan dan menjengkelkan, tetapi itulah yang membuat persahabatan mempunyai
nilai yang indah. Karena ada satu ikatan yang tak mungkin putus,
"Persahabatan".
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "Ikatan Pita - Hasna Asjad Allamah - Lomba Menulis Cerpen"