Ayo Makan
Karya ; Muhammad Lutfi
Seorang remaja lelaki sedang mencuci
beras di sebuah kran pada siang hari. Berulang kali beras itu dicucinya hingga
bersih tanpa sisa-sisa padi dan kerikil kecil. Langkahnya tegak berjalan masuk
ke dalam kamar meletakkan panci pada kompor dan mulai menekan tombol penghangat
untuk memasaknya. Ditunggunya beras itu sampai matang sembari menatap warna
merah pada pemasak nasi itu. Matanya tak sekalipun berkedip, tak goyah
sedikitpun gerak tubuhnya. Tangan dan kakinya diam kaku dan mulutnya membisu
berteman dengan hampa kamar. Perlahan diraihnya sebuah kipas angin dan
dinyalakannya sebagai teman bicara. Hanya ada angin yang membisik pada sekujur
tubuhnya pada siang itu. Kipas hanya bisa menggeleng-geleng kepala tanpa
mengajaknya mengobrol. Lagu-lagu dari nada di lubang-lubang radio melantunkan
irama kecil. Kecil dan kecil, semakin membius jiwa memulai tidur. Perlahan mata
mengantuk, tubuh bersandar pada tembok, dan rebah pada ranjang. Dalam mimpi
seakan-akan ada di hadapan mata berbagai wajah yang berubah menjadi hidangan
yang nikmat dan penuh nikmat. Ada daging yang tersaji dengan berbagai resep.
Saat bibirnya mulai mencoba menggigit salah satu daging dari mimpinya itu, tiba-tiba ia tersontak kaget
dan terbangun. Ternyata begas gigitan itu adalah pada jempol di jarinya. Seakan
tak lupa pada kerjanya tadi, segera beruap pemasak nasi yang sudah sedari tadi
mengebul asap panas dan memuntahkan bubur. Nasi sudah matang, dan daging berada
dalam mimpi. Apa yang harus dilakukan?
Suara lapar mengaum seakan sudah tak
bersabar. “Sabarlah! Apa kau kira aku juga tak berfikir sama sepertimu? Diamlah
sebentar, akan segera kucarikan pemuas dirimu”, hardiknya pada suara auman itu.
Langkah kakinya sontai sekonyong-konyong. Jalanya lemas sudah tak karuan.
Perlahan turun melewati anak-anak tangga. Sepasang sandal dibawanya dengan
pegangan kanan-kiri. Kini ia harus mencari, menapaki jalanan yang sedikit
rindang di bawah pepohonan dan aspalan batu-bata. Wajahnya menengok ke samping
kanan, dan dilihatnya sebuah warung kecil bernama ‘Barokah’. Nama yang
menurutnya enak didengar, enak untuk dicoba. Tanpa ragu-ragu segeralah masuk
kedalam serambi pintu dan mengucap “Bu Yem, dua bungkus nasi dan gorengan
saja.”
Kata ‘saja’ ini lah yang menghantui
pendengaran Bu Yem. Diambilkannya dua bungkus sayur dan gorengan seperti
perintah yang didengarnya. Kertas dan plastic membalut makanan istimewa itu.
Kini diulurkan plastic pesanan pada sebuah remaja yang member perintah.
“Lima
Ribu, Sin.”
“Ini
sepuluh ribu. Sisanya untuk yang kemarin.”
“Ya,
kupikir kau tak ingat tentang ini.”
“Tentu
aku ingat, aku adalah pelanggan setia di sini.”
“Kebiasaanmu
Sin… Yasin. Dasar bocah pelawak.”
Percakapan terhenti dan kembali menuju jalan yang
dilalui. Jalan yang sedikit menanjak dan rindang dibawah pepohonan kembali
dilalui dan menghiasi. Alangkah terkejut, tapi hati terenyuh dan iba. Ada anak
kecil memungut botol dan kaleng bekas yang sudah using dan tak berlabel. Di
punggungnya sebuah karung goni yang sudah berlubang nampak setengah penuh diisi
oleh kaleng-kaleng dan botol. Pakaian kumal dan sandal berbekas lumpur
menghiasi bocah kecil pemulung. Hati manusia mulai berpudar dan bergetar. Dari
getarannya menghasilkan air mata dengan bayangan tak karuan. Bagaimana mungkin
anak yang masih bocah disuruh memulung. Bukannya sekolah atu bermain dengan
uang jajan bersama teman seperjuangnnya. Wajahnya masih ragu dan ragu.
Keraguannya menuntut diri menghampiri dan berjalan di belakang bocah. Pundak si
bocah terasa ada yang menempel sebuah tangan. Mendudukkanya pada bangku di
depan rumah tetangga.
“Bukanya bermain dengan kawan saja. Ini bukanlah
untuk anak sepertimu. Bahkan memulung bukanlah untuk orang dewasa dan orang
lain. Kau harus menjadi pelajar dan mencari buku, bukan mencari kaleng.”
“Bagiku kaleng bukanlah hal asing. Karena kaleng
sudah menghiasi rumah dan menutup pintu impianku, bang. Lihatlah mereka yang
bersama ibunya. Meminta jajan dan coklat, serta minum es. Di sakunya selalu ada
uang beribu-ribu. Bahkan uang recehan tak sedikitpun berada pada kantong
celanaku. Jangankan uang, kantong pada pakaian akupun tak punya, bang.”
Wajah
Yasin mengerut dan kantong matanya mengeluarkan tangisan membasahi pipinya yang
masih di tamparinya sendiri. Seakan tak percaya dengan hal semacam ini. Memang
ini bukan pertama kali ia melihat hal seperti ini. Tetapi hati telah tersentuh
dan mulai teringat pada kebaikan dan kewajiban sesama manusia. “Sudah makan
hari ini, siapa namamu?”, ucapnya pada bocah pemulung. “Belum untuk hari ini,
bang. Ayah dan ibu terbiasa memanggilku Komat”, sahut bocah. “Kalau begitu
jadilah kawan pengalamanku. Akan kukenalkan kau pada peringatan dan kita akan
makan hari ini”, kata Yasin.
Dirangkul dan dibelai bocah pemulung itu. Karung
yang dari tadi berada pada pundak si bocah kini sudah ditenteng ringan oleh
Yasin, pemuda yang menjadikannya kawan dan mengajak makan bersama untuk hari
ini. Dimasukkannya bocah tadi ke dalam kamar yang sudah terhias sebingkai nasi
pada meja dan sebungkus lauk pada tangan. Piring di samping kardus kini tak
terabaikan. Dibasuh dengan air dan diusap oleh serbet. Bau sabun masih belum
kering bersama air yang membasahi dua buah piring. Namun mentari nampaknya jua
paham tentang ini. Sinarnya merasuki permukaan dua buah piring hingga sisi atas
dan bawah. Rasa lapar segera terobati, rasa sedih segera juga terobati. Makanan
terbagi adil pada dua buah piring. Air putih pada dua buah gelas juga menambah
lengkap suasana hari ini.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "Ayo Makan Karya - Muhammad Lutfi - Lomba Menulis Cerpen"