Iman Untuk Bapak
Aisyah Eka Fitri
Rizqi
“ Mas siapa yang
jadi imam untuk Bapak ?,” tanya seorang pria paruh baya.
Fathur dan Albar
terdiam saat mendengar pertanyaan yang di lontarkan pria tersebut. Mereka
saling pandang. Sementara pria tersebut masih menunggu.
“ Biar Sahin
saja ,” ujar seorang pemuda dengan jas rapi yang melekat di tubuhya.
“ Sahin , kapan
kamu sampai di Medan ?,” tanya Albar
kaget.
“ Sekitar satu
jam yang lalu,”ujar Sahin.
“ Ayo Pak Amin
biar gak kelamaan kasihan Babak,” ujar Sahin dengan suara yang parau.
Baru tadi pagi
Sahin duduk sejenak untuk mengistirahatkan tubuhnya. Setelah pulang
mengantarkan Zais dan Cihan ke sekolah , Sahin menyempatkan diri untuk menelpon
orangtuanya. Tapi sudah 15 kali di telpon tidak ada jawaban sama sekali. Sahin
mencoba menelpon Kakaknya yang tinggal tidak jauh dari rumah orangtuanya.
“ Kak Sinta.
Coba lihatkan Babak di rumah,” ujar Sahin khawatir.
“ Gak apa apa
itu Babak paling cuma ketiduran , kamu gak usah khawatir ,” ujar Kakaknya.
“ Tapi gak
biasanya Babak gak angkat telpon aku ?,” ujar sahin makin cemas.
“ Yaudah
sebentar lagi. Kakak masih di kantor camat ,”ujar Kakaknya dengan nada malas.
Sahin langsung
mematikan telponnya dan menunggu kabar dari saudarinya tersebut. Hatinya
sepertinyaa tidak tenang. Seperti ada
yang berat terasa di jiwanya. Sahin mencoba menyandarkan tubuhnya di sofa.
Mecoba untuk memejamkan matanya. Padahal dirinya tidak mengantuk sama sekali
tapi kenapa rasnanya berat sekali.
·
Rinai hujan masih setia jatuh membasahi permukaan
tanah yang kering. Sudah hampir seminggu tanah Brandan tidak merasakan segarnya
air yang turun dari surga. Sahin masih menunggu di dalam kelas sambil membaca
beberapa buku pelajaran yang tadi ia pelajari. Ini sudah kali kedua dia habis
membaca buku Bahasa Indonesia untuk pelajar kelas tiga.
“ Sahin , masih
mau di kelas saja ?,” tanya seorang dari balik jendela kelas.
Sahin menoleh ke arah suara yang memanggilnya.
“ Kamu pulang duluan aja , Ka . Aku langsung ke les
Inggris ,” ujar Sahin.
“ Baiklah , mau aku bawain makanan gak ?,” tanyanya
lagi.
“ Nggak usah Raka,” jawab Sahin sambil melemparkan
senyum kepada Raka.
Sahin menatap keluar. Masih ada rintik hujan yang
belum bosan bosannya jatuh ke bumi. Sementara jam sudah menunjukkan jam 2 siang
dan dia harus les jam 2.30. Tanpa pikir panjang Sahin menerobos hujan sambil
berjalan kaki terkadang dia melewati teras toko agar tubuhnya tidak terkena
rintik rintik hujan. Jarak tempat les dan sekolah memang tidak terlalu jauh
jika harus di tempuh dengan naik sepeda atau motor, hanya butuh waktu 15 menit
saja. Tapi jika harus berjalan kaki butuh waktu setengah jam untuk sampai ke
sana.
Baju yang lembab terkena rintik hujan ditambah lagi
dengan udara yang masih dingin membuat suhu tubuh Sahin seketika menurun. Untungnya
saat itu les belum dimulai. Ia selalu mengambil posisi duduk paling depan.
Sahin mencoba menggosokkan tangannya ke seragam sekolahnya agar terasa sedikit
lebih hangat. Terdengar suara pintu terbuka.
“ Kamu gak bawa jaket , Sahin ?,” tanya seorang yang
berjalan ke arahnya.
Sahin hanya menggeleng.
“Pakai ini,” ucap orang tersebut sambil menyodorkan
sebuah kaos dan celana olahraga.
Sahin hanya menatap orang tersebut.
“ Ya ampun , udah sana nanti kamu kedinginan,”
ujarnya dengan geram.
“ Makasih ya Raka ,” ujar Sahin dengan bibirnya yg
masih gemetar.
Raka hanya tersenyum sambil menepuk pundak
sahabatnya. Sudah dari kelas satu SMP mereka selau bersama dalam suka ataupun
duka. Banyak cerita dan derita yang mereka lewati bersama walau terkadang ada
sedikit permasalahan dalam persahabatan mereka. Sesusai mengganti bajunya
dengan baju olahraga miik Raka , Sahin duduk di samping Raka sambil membaca
kembali catatannya.
“ Kamu kuliah atau kerja setelah tamat SMA ?,” tanya
Raka sambil memakan bekal dari Ibunya.
“ Aku bakal
bantu Babak , Ka ,” jawab Sahin yg masih fokus dengan bacaanya.
“ Kamu pintar Sahin . Kenapa gak kuliah saja. Kalau
kamu kuliah dan suskses kamu bakal bisa bantu Babak kamu atau mungkin
kebahagian Babak ada di kamu ,” ujar Raka sambil terus memakan bekalnya.
Sahin menghentikan aktivitasnya dan menatap
sahabatnya yang acuh sambil memakan bekalnya. Dalam pikirannya dia membenarkan
apa kata sahabatnya tapi dalam hati kecilnya ia takut untuk meminta izin harus
kuliah, karena untuk kuliah dengan biaya yang besar akan jadi pertimbangan
Babak di masa krisis toko Babak yang semakin sedikit pelanggannya.
·
“ Janganlah kuliah Sahin ,” ucap Kakak perempuan
Sahin.
“ Kenapa aku gak boleh kuliah ?,” tanya Sahin.
“ Karena Bang Albar kuliah juga, kalau kamu kuliah
bakalan banyak pengeluaran Babak. Aku saja gak kuliah kok kamu yang mau kuliah.
Seharusnya kamu ngerti dengan keadaan Babak,” ujar Kakaknya Sinta dengan emosi.
“ Aku bisa biayai sendiri uang kuliah ku. Lagian aku
bisa dapat besiswa dari nilai ku yang bagus bagus. Aku juga lebih pandai bahasa
inggris dari pada bang Albar ,” ujar Sahin membalasnya dengan gemuruh kekesalan
dalam hatinya.
“ Kamu itu sombong sekali Sahin ,” teriak Sinta dan
keluar dari rumahnya.
Sementara Babak hanya diam melihat anak perempuan
satu – satunya pergi dari rumah setelah berdebat panjang dengan adik bungsunya.
Napas Sahin masih tidak teratur. Pikirannya kacau bagaimana bisa kata kata yang
di ucapkan terontar begitu saja dari bibir krcilnya. Dan darimana keberaian
sebebsar gunung itu datang untuk melawan Kakakya yang ia tahu sangat susah
untuk berdebat dengannya. Babak saja tidak bisa membantah kata – kata Kakanya.
Tapi hari ini Sahin membungkam semua kata – katanya.
Sahin menatap Babak yang masih menunduk lemah.
Dengan sisa sisa keberanian Sahin duduk di samping Babaknya. Di perhatikannya
lekat wajah renta yang dulunya sangat gagah.
“ Ambil wudhu Sahin. Dan pergilah mengaji ke masjid
susah jam 6 sore ,” ujar Babak.
Sahin hanya mengangguk dan mengambil wudhu lalu
pergi ke masjid untuk mengaji. Selama mengaji pikirnnya selalu terbelah tak
karuan hatinya semakin kuat untuk kuliah apalagi setelah menengar kisah kisah
sahabat Rasulullah yang tak pantang menyerah dengan segala halangan dan
rintangan.
“ Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum
, sampai mereka mengubah keadaan mereka
sendiri – Q.S Ar – Ra’d ayat 11” ujar sang Ustad.
Sahin terdiam dan kembali berpikir mendengar
perkataan Ustad tersebut. Kali ini hatinya semakin teguh dengan segala pendiriannya.
Sahin akan kuliah dan mengubah nasib keuarganya.
Semua bangkit memberi salam kepada Ustad , satu per
satu murid keluar dan meninggalkan masjid. Sementara Sahin masih membereskan
meja meja yang tadi di pakai untuk mengaji.
“ Sudah biar Angku dan Shaleh saja yang
membereskannya ,” ujar Ustad tersebut menghampiri Sahin.
Sahin hanya tersenyum dan terus melanjutkan
pekerjaanya.
“ Ada satu hal yang ingin saya tanya kepadamu ,”
ujar Ustad tersebut.
Sahin mengangguk dan menatap Ustad tersebut.
“ Apa mimpi terbesarmu ?,” tanya Usta tersebut.
Sahin diam mendengar pertayaan itu. “ Saya ingin
jadi imam di masjid ini .” ujar Sahin dengan lantang.
“ Tapi saya harus menuntu ilmu dulu supaya saya
bukan Imam yang kosong akan ilmu ,” sambung Sahin.
Ustad itu tersenyum dan mendekat ke tempat sahin
berdiri.
“ Maka tuntulah ilmu itu sampai ke negri China,”
ujar Ustad tersebut.
·
Hari dimana
semua anak SMA berlai tertawa lepas dari gerbang sekolah. Banyak dari mereka
merasakan kebahagiaan yang mendalam karena masa masa SMA sudah selesai. Tawa
yang menggema di setiap sudut jalan kota Brandan menjadi pemandangan yang
paling membahagiakan setiap orang yg melihat apalagi mereka yang sudah tua ,
pasti akan bernostalgia dengan masa masa remaja yang sangat indah.
Sahin dan Raka
juga tak luput dari kebahagian ini. Tawanya begitu lepas dari biasanya. Untuk
hari ini dia akan membuat kesan berbeda dan ikut berbahagia ria dengan sahabat
– sahabatnya.
“ Di sini Sahin
,” ujar seseorang memberikan sebuah spidol merah ke Sahin.
Sambil
membubuhkan tanda tangan di lengan baju temannya Sahin berkata “ Apa untungnya
di coret coret ?,” tanya Sahin.
“ Untungnya kita
bahagia ,” ujar temannya.
Raka tertawa
mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir Sahin.
“ Jadi dimana
tempatnya ?,” tanya Raka.
“ Apa ?,” ujar
Saahin tidak mengerti
“ Kampusnya ,”
ujar Raka.
“ USU ,” jawab
Sahin singkat.
“ Berat untuk
kamu ke kampus itu banyak saingannya. Kenapa gak swasta saja ? ,” tanya Raka.
“ Aku hanya
ingin masuk USU. Biarlah aku tidak kuliah di sana. Yang terpenting aku bisa
merasakan bagaimana rasanya masuk ke kampus duduk di bangku kuliah walau itu
hanya sebuah tes masuk. Satu hari saja aku ingin mersakan kuliah dan duduk di
sana ,” ujar Sahin.
“ Wooww... baru
kali ini aku dengar kamu ngomong panjang lebar seperti itu ,” ujar Raka sambil
menyenggol tubuh Sahin.
“ Kan sudah aku
bilang aku ingin memberikan kesan terakhir yang berbeda ,” ucap Sahin sambil
tersenyum manis.
·
“ Sahin ,
usahakan apa yang menjadi keinginanmu ,” ujar Babak.
“ Sahin cuma
ingin merasakan yang namanya kuliah , Bak . Walapun itu hanya satu hari saja,”
ujar Sahin.
“ Lakukanlah
kalau itu mau mu,” ujar Babak sambil melebarkn senyumnya.
Sahin
membalasnya dengan senyuman . Babak memberikan sebuah kantung yang berisi uang.
Sahin dim terkesiap dengan apa yang di berikan oleh Babak.
“ Sahin punya
uang dan itu cukup untuk semingu di Medan ,” ujar Sahin.
“ Ambil saja ,
pasti kamu akan membutuhknnya,” ujr Babak.
Sahin
mengambilnya dan mengangguk paham. Hari ini langkahnya keluar dari kota
kelahirannya dan jauh dari orangtua. Hanya untuk mengubah nasib keluarganya.
Deretan bus yang
akan mengantarnya ke Medan sangat banyak. Tapi dia harus mencari bus dengan
ongkos yang murah agar dia sampai di Medan dan tak kehabisan uangnya. Sahin
memilih bus paling depan yang sudah ramai. Dia memilih untuk berdiri dan
membayar ongkos dengan setengah harga. Saat bus melaju dan hampir mendekati
kota Stabat , lajunya terhenti di sebuah rumah besar di pinggir jalan kota
Stabat. Seorang anak remaja tampan dengan balutan kemeja biru yang harganya pasti
mahal masuk ke bus dan berdiri di dekat Sahin.
Sahin begitu
terkejut melihat anak tersebut. Dia langsung berbalik badan dan menundukkan
kepalanya. Ada rasa malu dan gengsi dari dirinya tapi apa boleh buat ini
perjuangannya.
“ Kamu anak
sekolah SMA 1 Brandan kan ? ,” tanya anak tersebut penasaran.
Sahin masih
tidak ingin berbalik badan dan terus menundukkan kepalanya.
“ Bukannya sekolah
lagi libur ya. Ini kan hari Sabtu ,” ujar anak itu lagi.
Karena dari tadi
pertanyaannya tidak di jawab . anak tersebut menarik bahu Sahin untuk dapat
melihat wajahnya.
“ Sahin ,” ujar anak
tersebut.
“ Iman ,” ujar
Sahin dengan semburat merah di wajahnya.
“ Kamu ngapain
pakai baju SMA lagi padahal kamu udah tamat,” ujar Iman heran.
“ Biar ongkosnya
murah sampai Medan,” ujar Sahin dengan suaranya yang pelan.
Sahin sengaja
memakai baju SMA saat berngkat ke Medan agar dia bisa dapat ongkos lebih murah.
Itu bukan masalah baginya walau sangat malu rasanya dia bertemu dengan teman
sekolahnya di dalam bus.
·
Sudah seminggu
Sahin berada di Medan dan hari ini adalah pengumuman dari hasil ujiannya
kemarin. Dengan langkah yang pasti dia optimis kalau dirinya akan masuk
Universitas Negri ternama di Sumatera. Sangat banyak juga yang ingin melihat
pengumumannya. Dari sana banyak terlihat anak – anak yang menangis di dalam
pelukan orantuanya saat dia tahu dirinya tak lulus. Ada juga yang melompat
lompat kegirangan saat dia di nyatakan lulus. Lalu apa ekspresi Sahin nanti saat
dia menjadi salah satu dari mereka. Karena Sahin disini sendirian tak ada
siapapun yang menemani. Dia berdiri di depan papan pengumuman. Matanya mecari
apakah namanya tertera di sana. Dan itu sangat tidak sulit karena namnanya ada
di urutan kedua hasil ujian terbaik dari 1200 orang mendaftar di fakultas itu.
Sahin langsung sujud syukur atas kebahagiannya. Ini lebih dari sebuah ekspresi
tapi sudah rasa kebahagiaan yang tak dapat di ungkapkan lagi. Dia akan merubah
nasib , dia akan sukses dan memiliki banyak usaha dan membanggakan Babak.
·
Sahin terbangun dari tidurnya dia mimpi tentang
perjalanan hidupnya. Belum sempat napasnya teratur banyak pesan yang masuk dari
Kak Sinta dan mengabarkan kalau Babak sudah tiada. Dan disinilah sahin berdiri
di depan jenazah Babaknya.
“ Mas Sahin siap ?,” tanya Pak Amin.
Sahin mengangguk dan mulai berdiri di depan jenazah
Babak. Mulutnya mulai membeikan doa terbaik untuk jenazah yang sedang ada di
depannya tak terasa air matanya jatuh dari pelupuk matanya. Di bacakan niat
dalam hatinya. Para jamaat yang hadir untuk menyolatkan jenazah Babak ikut
berbaris di belakang Sahin.
Setelah selesai di sholatkan jenazah Babak di bawa
ke rumh abadi Babak. Dan Sahin menjadi orang yang paling depan memikul keranda
Babak. Dengan lembutnya dia mengangkat jenazah Babak masuk ke lubang
peristirahtannya. Dengan doa dan adzan yang dikumandangkanya menjadi lagu
terakhir untuk tidur panjang Babak. Tak henti hentinya air mata keluar dari
ekor matanya.
Setelah semua selesai Sahin duduk di depan masjid
dimana dia sealu menimba ilmu. Anak – anaknya Zais dan Cihan berlari dan
bermain di sekitar halaman masjid. Sementara istrinya bersama dengan iparnya
yang lain sedang membersihkan rumah kecilnya untuk acara tahlilan nanti mlam.
Lamunannya melayang di masa saat dia bersama Babak. Masih ada di ingatannya Babak berjalan mendatanginya di
Aula tempat dirinya di Wisuda. Sebuah kebanggaan terpancar dari matanya.
Sekarang dia sudah gagah berdiri dengan kesuksesan yang di punya nya. Tapi dia
belum sempat membawa Babak ke tanah suci
untuk melihat keindahan Mekkah.
“ Sahin ,” panggil seorang dari dalam masjid.
Sahin melihat ke arah sumber suara. Seorang pria
paruh baya seumuran Babak dengan tongkat yang menopang tubuhnya tersenyum dan
berjalan ke arahnya.
“ Ustad ,” ujarnya sambil bangkit dan membantu ustad
itu duduk di sampingnya.
“ Sudah sukses kamu sekarang ,” ujar Ustad tersebut.
Sahin tersenyum. “ Iya tapi saya belum banyak mengabdi
kepada Babak dan mewujudkan mimpi saya untuk jadi imam di masjid ini ,”
“ Menjadi seorang cumlude dan punya keluarga yang
bahagia dengan cucu yang cantik dan tampan itu sudah suatu kebanggan yang
selalu keluar dari mulut Babakmu ,” ujar Ustad tersebut.
“ Dan kamu sudah menjadi imam paling bagus di masjid
ini ,” sambung Ustad tersebut.
“ Maksud Ustad ?,”
“ Menjadi seorang
imam untuk jenazah Ayahnya itu sudah hal yang luar biasa yg jarang
terjadi di dunia ini. Dan kamu sudah menjadi Imam untuk Babak mu dan untuk
Masjid ini hari ini. Pasti Babakmu bangga ,” ujar ustad tersebut.
Sahin tersenyum dan menangis tersedu dengan apa yang
usdah di lakukannya. Menjadi Imam untuk Babak di hari terakhir Babak adalah hal
yang paling luar biasa bagi dirinya. Dan itu sebuah kehormatan yang luar biasa
baginya.
“ Aku adalah Imam untuk Babak ,” ujar Sahin.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
1 Comments for "Iman Untuk Bapak - Aisyah Eka Fitri Rizqi - Lomba Menulis Cerpen "
pada paragraf pembuka kalimatnya tidak menarik pembaca, pemilihan kiasan dan mjas belum ada, endingnya cukup bagus namun masih dibutuhkan ketelitian dalam penulisan bacaan yang disempurnakan