-->

Hikmah Suatu Duka - Nadia Sutra Lismi - Lomba Menulis Cerpen

Hikmah Suatu Duka
Oleh : Nadia Sutra Lismi
 


“Aku akan kembali, Nam. Bersabarlah menantiku.”
***
Lingkaran pagi dengan rutinitas seorang perempuan sederhana. Hanya menulis pada hamparan debu di jendela dan meja kaca. Lolongan bibir teko menyayat telinga merintih tuk segera tertuang di kopi yang menanti sabar. Denting spatula tak kalah nyaring. Aroma tumbuhan yang regenerasi dengan umbi lapis menyeruak, kalahkan segarnya embun bergelayut di rumput. Nyanyian tanpa nada terlantun dari perut raga lusuh hanya baru tersentuh wudhu.
Fatih memeluk istrinya manja.
“Nam?”
“Mmm, kenapa Fah?”
“Fatih mau pakai sweater rajutan buatan Namira waktu besok pergi. Agar kehangatan Nam selalu terasa dekat di hati Fatih.”
“Iya Fah. Nanti Namira ambil sweaternya ya Fatih sayang.” Kata Namira sambil tersenyum mesra. Lalu meletakkan masakannya di atas meja diikuti oleh Fatih.
“Makasih Nam sayang. Nanti selama Fatih berlayar, jaga diri baik-baik ya.”
“Iya Fah. Nam pasti akan sangat merindukan Fatih.” Ucap Namira sambil memeluk Fatih. Air bening menggelayut rapuh di mata sendu dengan retina berwarna coklat bening itu. “Nam sayang Fatih.”
“Fatih juga sayang sama Nam. Jangan sedih ya.” Sambil menghapus air mata istrinya, Fatih mengelus kepala Nam dengan sayang.
Namira sadar, sebagai  Anak Buah Kapal menuntut Fatih lebih banyak menghabiskan waktunya di bentangan samudra, menyisirinya berbulan-bulan lamanya. Ia hanya dapat menjumpai kekasihnya pada setiap sewindu dikurangi 5 bulan. Namun kali ini ada rasa yang berbeda di hatinya. Perasaan yang menginginkan untuk Fatih tetap di sampingnya bukan kembali bercumbu dengan lautan.
***
Namira mengantarkan Fatih menuju pelabuhan yang akan menghantarkan imamnya itu menuju air-air asin yang luas. Di tepi pelabuhan, Namira kembali memeluk Fatih lebih erat seakan tak ingin Fatih pergi. Tapi apalah daya, suaminya harus menjalankan kewajibannya. Namira masih terduduk di tepian pelabuhan, menatap kapal suaminya pergi hingga ditelan horizon cakrawala.
“Aku akan kembali, Nam. Janji telah kuletakkan di titik nadi. Yakinlah, Tuhan telah menggoreskan skenario indah buat kita. Bersabarlah menantiku, Nam sayang.” Ucap Fatih di saat ia akan pergi.
Matahari telah hampir masuk ke dalam peraduannya. Dengan amat perlahan menuruti perintah dari alam gaib, ia berangsur turun, turun ke dasar lautan yang tidak terlihat tanah tepinya. Cahaya merah telah mulai terbentang di ufuk barat memberi sensasi indah di wajah lautan yang tak berombak. Di sana sini terlihat layar perahu yang terkembang melaut mencari koin-koin kehidupan.
            Namira melangkah gontai antara pengharapan dan cemas akan suaminya. Entah mengapa perasaannya semakin teraduk-aduk laksana pusaran-pusaran air di lautan.
***
            Di luar sana, puzzle-puzzle cakrawala telah rata dengan warna abu-abu pekat. Satu persatu pecahan petrichor turun untuk berjumpa tanah. Menyelinap malu-malu di balik epidermis dedaunan. Wanginya makin menyeruak, pun menyelinap memenuhi rongga udara pada diri Namira. Hari itu sudah sebulan Fatih berlayar. Selama sebulan itu jugalah hari-hari Namira dipenuhi kegiatan merajut, kegiatan yang selalu dilakukannya di kala menanti imamnya datang. Merajut sweater-sweater dengan penuh cinta untuk suaminya ketika ia telah tiba di singgasananya. Akhir-akhir ini kegelisahannya semakin meningkat. Ditambah lagi beberapa akhir ini cuaca sedang tidak bersahabat. Menderu-deru mengetuk atap rumah. Dalam keadaan sendiri menunggu kepulangan Fatih itulah biasanya Namira akan pulang ke rumah ayahnya. Seorang pensiunan guru yang berwirausaha di bidang kuliner.
Pada rabu yang kelabu, sambil merajut sweater-sweater itu Namira mengganti-ganti channel televisi namun tidak dapat acara yang menarik perhatiannya. Semuanya berisi sinetron-sinetron yang menjenuhkan. Akhirnya ia memutuskan untuk menonton berita.
Deg!
Jantungnya berdebar kencang. Dengan tergesa ia meraih handphone yang tergeletak lesu di sudut meja. Butiran bening mulai jatuh. Bukan petrichor, bukan pula hujan, tetapi air mata Nam. Sambil terisak diiringi suara hujan ia mencoba berkali-kali menghubungi Fatih, tapi tak pernah tersambung. Napasnya bertambah sesak. Bagaimana tidak? Berita di televisi tersebut mengabarkan bahwa kapal tempat Fatih bekerja tenggelam disapu badai. Ia mencoba menenangkan dirinya. Berulang kali ia beristighfar. Memohon ketenangan hati kepada Dzat Yang Maha Membolak-Balikkan Hati para hamba-Nya. Kemudian ayah Namira muncul dari tirai dapur sambil membawa sebakul jahe untuk diletakkan di gudang penyimpanan bahan makanan. Langkahnya terhenti ketika ia melihat anaknya terbenam dalam kursi rotan sambil terisak dan tatapannya terhenti pada televisi ketika ia mendengar berita yang sedang disiarkan di televisi tersebut. Berita tersebut menjalar bagaikan setruman di sekujur tubuhnya. Dengan segera ia meletakkan bakul yang berisi jahe tersebut dan segera memeluk Namira.
“Ya Allah, Nak. Kamu yang tabah, Nak. Tenangkan dirimu dulu. Sebaiknya kita segera ke kantor tempat Fatih bekerja untuk mengetahui kabar suami kamu, Nak.”
Bersama mereka menuju kantor tempat Fatih bekerja. Tatapan Namira sudah kosong. Seperti orang linglung. Ketika sudah sampai di kantor tempat Fatih bekerja, banyak orang berkerumun dengan berderai air mata. Hari itu, pada Rabu yang turut berduka, pada udara yang dihirup setiap molekulnya adalah tentang Fatih yang menghilang di batas senja, di tepian pelabuhan, dalam air asin yang beriak-riak.
***
Pada hari manakala engkau menghilang dari peta hidupku.
Malam terasa makin sunyi ketika aku memikirkanmu.
Tangisan langit lirih menyayat bumi bersama jatuhnya air mataku.

            Sejak kabar hilangnya Fatih, kejiwaan Namira berada di garis ambang. Kadangkala ia bersikap normal dan melanjutkan hari dengan merajut sweater dan membantu ayahnya berjualan, namun kadangkala tatapannya kosong dan setelah itu akan melakukan tindakan-tindakan aneh. Pernah suatu ketika, ia menyemprotkan parfum Fatih pada dirinya sendiri dan di sekeliling rumahnya. Ia tak sadar telah melakukan itu dan heboh ketika mencium aroma Fatih. Mengira Fatih telah kembali namun ia tak melihat Fatih di hadapannya. Ia pun berteriak kesenangan mencari Fatih di setiap sudut ruangan. Memanggil-manggil nama Fatih layaknya anak kecil yang mencari harta karun. Lama kelamaan nada panggilan yang menyenangkan itu sedikit demi sedikit berubah menjadi tangis histeris. Atau ketika Namira memaksa ayahnya untuk pergi jalan-jalan menaiki sebuah kapal, merengek-rengek seperti anak kecil yang ingin dibelikan harum manis di sebuah pasar malam. Namun ketika kapal berlayar, ia kembali berteriak kegirangan mengatakan bahwa ia melihat Fatih sambil menunjuk-nunjuk laut. Ia mengatakan akan menjemput Fatih ke sana dan kalau tidak dicegah oleh ayahnya, Namira sudah tentu akan mencebur ke laut.
***
            Namira berbaring letih di ranjang kamarnya. Berharap air mata tidak berjatuhan. Berharap mengering dan tiada kembali membasah. Perlahan ia memejamkan mata. Terlukis wajah Fatih sedang tersenyum manja, mendengar riuh suaranya, bisikannya, tawanya serta tangisnya. Terus terpejam, Namira menyentuh lembut wajah Fatih. Menyeka air matanya. Mendekapnya erat. Menepuk-nepuk pundaknya. Meyakinkannya bahwa sejauh apa pun Fatih pergi, sejauh itulah Namira tetap mencintainya. Seperti itulah yang Namira rasakan setiap matanya terpejam. Bayangan Fatih begitu menancap dalam dinding pikirannya. Terukir dalam barisan fragmen yang bernama kenangan. Namira memaksakan untuk membuka matanya.
Lantas ia pergi menuju ruang keluarga sambil menenteng beberapa gulungan benang wol. Lazuardi pada warna benang tersebut mengingatkan Namira akan Fatih. Warna biru yang disukai oleh Fatih. Di ruang keluarga tampak ayahnya sedang duduk sambil mengelus-ngelus sweater rajutan Nam. Di atas meja juga tampak secangkir kopi hitam mengepul-ngepul hangat yang baru diseruput seperempatnya saja.
“Nak, ayah mau bicara sesuatu.”
“Ada apa ayah?” sambil menarik kursi rotan dan duduk di dekat ayahnya. Kepalanya berpangku pada tangannya sambil tersenyum manja.
“Nak, apakah kamu mau membuat Fatih bangga sama kamu?”
“Tentu ayah. Namira ingin membuat Fatih bangga sama Nam.”
“Fatih pasti tidak ingin membuat istrinya yang manis ini terus-terusan sedih. Fatih pasti ingin istrinya bahagia. Fatih pasti sedih kalau melihat keadaan Nam seperti ini. Nam harus bisa tabah. Coba lihat ini.” sambil menunjuk sweater-sweater rajutan Namira. “Sweater-sweater Nam ini bagus. Mengapa tidak kamu membuatnya untuk dijual saja? Nam bisa membuatnya sebagai ungkapan kerinduan Nam kepada Fatih. Sweater yang dirajut dengan hati. Suatu saat nanti, ketika Fatih kembali, pasti Fatih akan bangga melihatnya. Melihat begitu besar kerinduan Nam kepada Fatih. Apakah Nam mengerti maksud ayah?”
Sambil menghela nafas panjang. Namira mengenggam tangan ayahnya erat.
“Iya ayah. Nam mengerti. Namira akan mengikuti saran ayah. Nam tidak ingin membuat ayah dan Fatih bersedih karena Nam. Nam sayang ayah.” Namira lantas memeluk ayahnya. Tangis haru antara ayah dan anak. Sajak-sajak biru seperti sang bayu menyapa mereka berdua, nyiur melambai mesra.
Sejak saat itu, Namira mulai menjual sweater-sweater tersebut. Lambat laun, usaha Namira mengalami kemajuan dan mulai mempekerjakan orang-orang di sekitar rumahnya. Sweater-sweater rajutan Nam bahkan sudah dipasarkan ke luar negeri. Sweater-sweater tersebut juga dikenal dengan sejarah cinta tentang pendirinya akan penantian suaminya juga tentang support seorang ayah kepada anaknya. Bahwa cinta dan kehilangan adalah suatu pengisi untuk lebih mencintai dan bukan untuk diratapi. Duka adalah hikmah yang tersembunyi untuk bisa menebar manfaat. Sebuah kisah cinta sejati. Namira juga membangun banyak yayasan sosial yang merupakan cita-cita dari Fatih.
“Yakinlah, Tuhan telah menggoreskan skenario indah buat kita.” Sebuah kalimat terakhir yang disampaikan oleh Fatih yang menjadi penyemangat buat Namira menjalani hidup.
***
“Fatih, di mana pun engkau berada. Yakinlah, aku akan mencintaimu selalu.”
***

Di lain tempat, pada hutan-hutan bakau, berselimutkan lumpur-lumpur pekat.  Seorang anak manusia  terbaring menghadap Rabb-Nya. Melayang jiwanya meniti tangga-tangga titah. Dia adalah FATIH.
0 Comments for "Hikmah Suatu Duka - Nadia Sutra Lismi - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top