-->

PADA SEBUAH RAMADHAN - Annie Soedasmo - Lomba Menulis Cerpen

PADA SEBUAH RAMADHAN
Annie Soedasmo

Entah di penghujung Ramadhan yang mana, aku pulang kampung dalam perjalanan Denpasar-Jogjakarta. Sebenarnya di Jogja hanya singgah saja karena tujuan akhirku adalah Cilacap. Menumpang sebuah bus malam berAC yang cukup nyaman, perjalanan bisa ditempuh sekitar 12 jam.
Kali ini ada yang menarik perhatianku saat pandanganku menyapu para penumpang yang masuk ke dalam bis. Di bangku seberang kutemukan sepasang suami istri dengan 3 anak kecil. Yang besar bocah laki-laki kira-kira 7 tahun, yang  kedua gadis kecil kira-kira 6 tahun, dan sibungsu yang juga perempuan mungkin 4 atau 5 tahunan lah. Hal yang luar biasa adalah kedua orangtuanya, mereka adalah para penyandang tuna netra!
Pertanyaan pertama yang spontan terlontar dari hati kecilku adalah, bagaimana caranya mereka mengasuh anak-anak mereka yang semuanya sehat dan normal secara fisik? Orang tua dengan fisik normal saja, masih kerepotan mengurus anak-anak, bagaimana dengan mereka? Aku makin tertarik untuk memperhatikan keluarga luar biasa ini.
Mereka terlihat sangat bahagia, berbincang dan bercanda. Sang Ayah dan Ibu terlihat sering menampakkan senyum saat materi candaan anak-anak membuat mereka geli. Meski keduanya berpuasa, anak-anak sepertinya berbuka dalam perjalanan tersebut. Saat makan sore tiba, subhanallah... Ibundanya dengan tekun menyuapkan makanan sesuap demi sesuap ke mulut anak-anaknya tanpa kesalahan dan tanpa ada yang terlewat. Memang sih, ada saja nasi yang nyasar sedikit menempel di pipi – tapi menurutku itu bukan masalah karena itu juga normal terjadi dalam keseharian kita.
Anak-anak kadang rewel, begitu juga dengan anak-anak itu. Mereka sepertinya tidak merasa bahwa orangtua mereka punya kekurangan fisik. Aku tidak melihat anak-anak itu berempati dalam hal ini. Aku sungguh tidak mengerti, apakah mereka terlalu kecil untuk bisa memahaminya atau apakah ada penjelasan lain yang masuk akal yang bisa membuatku memakluminya? Tiap kerewelan dihadapi dengan sabar, selama perjalanan itu tak satu pun kalimat keluhan keluar dari bibir kedua orang tua itu. Subhanallah! Kalau aku ingat ini, malu rasanya jadi orangtua yang dilengkapi dengan kesempurnaan tapi sering mengomel, sering mengeluh, sering marah-marah menghadapi kelakuan anak-anak yang sulit. Duh yaa Allah, ampunilah kami...
Ada sebuah peristiwa lagi yang membuatku tercengang bukan kepalang. Saat bus melaju kencang dalam kepekatan malam, tiba-tiba sibungsu merengek ingin buang air kecil. Sang Ayah dengan sigap dan hati-hati mengangkatnya, menggendongnya dan membawanya pergi ke kamar kecil, seolah itu bukan hal yang sulit buatnya. Satu tangan menyangga gendongan, sementara tangan lain mencari pegangan untuk berjalan. Subhanallah!!! Dalam kondisi normal saja orang mungkin sedikit kerepotan melakukannya, kok dia bisa? Saking penasarannya, mataku terus mengikuti lelaki itu sampai di toilet bus. Perhatianku tidak bisa lepas dari pemandangan yang menurutku sangat menakjubkan ini.
Kurasakan kedua bola mataku memanas dan mulai melelehkan cairan bening yang membasahi kedua pipiku. Tak jemu aku memuji Allah, subhanallah... kekurangan fisik tidak membuat kedua manusia itu merasa terbatasi, mereka masih bisa memaksimalkan “pemberian” lain seperti tangan, kaki, hidung, dll untuk dimanfaatkan. Artinya mereka masih terus bersyukur dengan anggota badan yang lain yang Allah berikan kepada mereka. Mahluk pengeluh seperti aku, sering melupakan ini semua. Ya Allah, ampunilah hamba yang tak pandai bersyukur atas nikmat-nikmatmu. Dapatkan hamba menjawab dengan benar  saat waktunya tiba kelak - Engkau pertanyakan untuk apa sajakah semua anggota tubuh ini kumanfaatkan selagi hidup? Nuraniku makin tertusuk, dan airmataku  membanjir.

Jogjakarta menyambut kedatanganku di pagi hari yang cerah dan sangat tenang. Tak ada angin bertiup, tak ada pepohon bergerak. Rasa damai dan bahagia menyelimuti hatiku. Aku tak sempat berterima kasih pada keluarga istimewa yang memberiku pencerahan sepanjang sore dan malam tadi. Tapi aku mengucapkannya pada Allah yang memberiku tontonan luar biasa itu. Tadi malam mungkin saja sebuah malam ganjil, mungkin aku tidak mendapat Lailatul Qadr yang terkenal itu karena aku tidak melakukan ibadah khusus, tapi aku sangat bersyukur mendapat sebuah pelajaran yang sangat berharga yang tiap ramadhan aku mengingatnya - agar aku tetap menjaga malu dan terus belajar bersyukur dalam tiap kesempatan.
0 Comments for "PADA SEBUAH RAMADHAN - Annie Soedasmo - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top