-->

SURTINI - Anung D’Lizta - Lomba Menulis Cerpen


SURTINI
Oleh: Anung D’Lizta

“Masa laluku kelam, apa engkau tidak menyesal mau menikahiku?”
            “Tidak, karena aku ingin menjadi bagian dari masa lalumu, agar sakitmu tidak seperti bisul. Yang bila pecah, kamu merasakan sakitnya sendirian.” 
Sekarang kerinduannya bagaikan padi di sawah. Terus menerus diserang rumput dan hama menggerogoti tiap benih yang hendak tumbuh. Meski seupaya daya akar dan batangnya kokoh berdiri. Hanyalah kekosongan yang dihasilkan. Begitu juga dengan jiwa raganya. Kosong tak terisi oleh canda tawa layaknya impian tua.
            Pecutan rindu pada usia mudanya tak sekuat usianya kini. Rambut di kepalanya hampir seluruhnya dipenuhi uban. Setiap sudut wajahnya dipolesi keriputan. Nanar matanya menatap langit berwarna gulita. Kesunyiannya bagaikan senar-senar yang mengikat langkah kakinya.
            Sekian tahun berlalu. Dari pernikahan yang gersang. Tak ada air sungai mengalir memberikan kesejukan lahir dan batiniyah. Tatapannya pada hamparan padi yang menguning hambar. Kehampaan melilit sekujur sisa-sisa tuanya. Walau bertemankan sosok lelaki setia, tak mampu mengobati kerinduannya pada wajah bersih polos tanpa dosa. Kehadiran seorang anaklah yang ia dambakan.
            “Meski kita menua tanpa buah cinta, aku akan selalu setia menemanimu.”
            “Suamiku, apakah engkau tak merasa kesepian?”
            “Sungguh aku sangat kesepian. Maka janganlah berpaling meninggalkanku.”
            Mujur bagi wanita yang bernama Surtini itu. Ia memiliki suami, selain penyayang juga setia. Cerita kenakalan Surtini di Hongkong semasa masih TKW tak membalikkan niat Irham, suaminya untuk berpaling ke wanita lain. Cintanya pada Surtini begitu kental, hingga kedua telinganya ia tutup rapat-rapat dari bisikan para tetangga. Cerita miring apa pun tentang Surtini, Irham memilih buta dan tuli. Ia tak peduli sama sekali. Surtini hanyalah korban, keyakinan itu kokoh dalam relung hatinya. Pondasi cintanya terbukti kuat hingga sekarang.
            “Surtini, di Hongkong sudah bolak-balik aborsi.”
            “Iyah, hamil sama pacaranya, dan gonta-ganti lanangan.”
            Begitulah kira-kira bisikan dan godaan para tetangga yang berseliweran jika Irham melintas di hadapan mereka. Pun demikian benih cinta di dada Irham, laksana lentera yang siap menerangi Surtini. Tak akan redup walau angin puyuh beliung datang.
            Malam telah melintas. Tergambar bayang-bayang bocah kecil dalam benak Surtini. Dalam tidurnya ia sering memimpikan janin-janin bayi yang dulu ia gugurkan. Dengan bantuan obat-obatan, entah berupa ramuan yang ia racik sendiri dengan ilmu kengawurannya atau membeli pil perontok janin di toko China.
            Bagi Surtini tidak terlalu sulit melakukan semua itu. Apalagi di negara yang memiliki mitos memakan janin dapat menguatkan stamina kejantanan pria. Pada Along, sang pemilik toko, Surtini sering diiming-imingi lembaran dollar, jika mau memberikan guguran janinnya. Karena terdesak oleh rasa ‘ingin bekerja’ dan aib keluarga, maka dengan gampangnya Surtini mengikuti tawaran setan.
            Kehidupan masa lalu Surtini tak sekelam sekarang. Saat di Hongkong, ia sering dilempar ke satu buaya ke buaya lain. Yang sama-sama jantan, jika ia mengerang maka tubuhnya akan penuh dengan pukulan. Surtini kerap disiksa oleh majikan yang pecundang. Surtini mencoba kabur, ia ditolong oleh Singa jantan. Perlakuan menyakitkan pun dialami oleh Surtini. Bagaikan sistem barter, tubuh Surtini kerap dijadikan sajian di meja judi. Jika pacar Surtini kalah, maka sebagai jaminannya Surtini harus digilir lelaki bejat.
            Nyeri, amis, dan trauma membayangi tempurung kepala Surtini. Ia malu untuk menginjakkan kaki di tanah kelahirannya. Malu atas nasib yang menimpa pada dirinya. Hendak menyalahkan Sang Agung, rasanya ia juga terlalu bodoh. Andaikan saja, Surtini menggunakan akal sehatnya pasti penganiayaan yang dialaminya tidak berlarut panjang.
            “Ya Allah Mba, mending kabur saja ke KJRI, daripada disiksa majikan begini.” Begitulah saran dari setiap teman sesama TKW bila melihat Surtini di pasar.
            “Saya takut di blacklist Mba, saya juga butuh uang untuk keluarga.” Dengan dalil ‘butuh uang’ maka Surtini memilih resiko disakiti. Bukannya mencari perlinduangan ia malah asik menahan sakitnya.
            Matanya mengeluarkan airmata dalam tidurnya. Kekeringan benar-benar melanda masa tuanya. Bantal lapuk dan dekapan suami menjadi kasur kehangatan setiap malam-malamnya. Walau ia rasakan kadang kurang cukup menghangatkan kegigilan relung jiwanya yang kering kelontang.
            “Apa yang kamu tangisi lagi, Dik?” panggilan sayang masih menyala. Bibir Surtini bergerak, seakan ingin berbicara namun sekat pisau menusuk dua ujung bibirnya hingga ia tak mampu mengeluarkan kata-kata. Hanya rasa sakit yang kian mendalam, sampai ia sesunggukkan.
            “Apakah, aku tidak bisa membuatmu bahagia?”
            “Bukan begitu suamiku.”
            “Lantas apa yang membuatmu menangis?”
            “Aku hanya merasa rindu. Rindu pada tangis anak kecil.”
            “Bersabarlah, sekarang bersihkan pikiranmu dari rasa bersalahmu dan serahkan semuanya pada Yang di Atas.”
            Petuah suaminya, hanya berlaku sesaat. Kala kerinduan mencabik, Surtini pasti akan meringsek dalam dekap salah yang berlarut panjang.
                                                                   ~**~
            Getah yang mengering, ia tak akan mudah encer kembali. Begitu pula dengan sebuah penyesalan bila sampai ke ulu hati terdalam. Pagi itu, Irham berencana memanjakan Surtini dengan opor ayam bikinannya. Tidak susah mendapatkan bumbu-bumbunya. Ayam, tinggal ambil satu di peternakan kecilnya, sedangkan rempah-rempah, ada yang tumbuh di pelatar rumahnya.
            “Mas …”
            Meski sudah kakek dan nenek, Irham dan Surtini masih memanggil dengan panggilan muda. Surtini memanggil suaminya, tidak ada sahutan. Ia memanggil suaminya sekali lagi, “Mas …” masih juga tak ada sahutan.
            Surtini penasaran, mengapa suaminya tidak menyahut. Ia melongok ke belakang rumah. Irham sedang memotong leher ayam betina. Surtini tercekat, kakinya gemetar serta bola matanya mulai berair. Rasa sakit menyerang hatinya, jantungnya turut merasakan imbas dari kesakitan hatinya. Denyutnya berdetak kencang. Surtini semakin gemetaran melihat darah yang menetes dari leher ayam.
            Surtini meronta, ia kembali pada masa lalunya. Kesakitan itu yang berakibat, tidak mungkin lagi bagi Surtini untuk hamil.
            “Push … push … harder!” seru dokter yang memaksa Surtini menguat lebih keras lagi untuk mengeluarkan sisa-sisa janin dalam rahimnya. Meski, sudah melihat Surtini kehabisan tenaga, dokter itu masih memaksa Surtini.
            “Dik … kamu kenapa?” Irham bergegas memapah tubuh Surtini yang kurus kering.
            “Da-ra-h …”
            Irham paham akan maksud istrinya. Ketakutan Surtini kambuh kembali. Bila melihat darah, ingatan Surtini bagaikan peluru yang membidik-bidik jantungnya hingga bunyi dentuman kuat siap merobohkan bahkan mematikan jiwanya.
            Irham membaringkan Surtini di kursi kayu panjang, ia meladeni istrinya dengan pelayanan kelas atas. Diusapnya kening Surtini dan dibelai-belai layaknya anak kecil.
            “Apakah engkau tidak bosan denganku, Mas?”
            “Sampai ajal memisahkan pun, aku akan tetap menjadi suamimu.”
            Bibir Surtini mengembang, gambar bahagia tergurat di setiap ujung bibirnya yang tertarik oleh senyum tulusnya. Surtini mencium punggung tangan suaminya. Saat kata SAH dari para saksi, saat itulah Surtini menemukan malaikat dalam hidupnya. Rasa sunyi di hari-hari senjanya tidak seseram yang ia bayangkan.
                                                                        ~**~
            Rinai hujan bermain irama sore hari. Saat cakrawala menumpahkan gugusan gelap. Sesekali petir berburu lirih. Bagai kilatan kembang api, memainkan kerinduan pada semesta. Padi-padi di sawah bergoyang. Meski dingin tanpa selimut kandi-kandi yang digelar oleh petani.
            “Mas, kapan kita panen lagi?”
            “Mungkin minggu depan, Dik, kenapa?”
            “Rasanya aku ingin memetik padi-padi kita di sawah.”
            “Sebaiknya kamu di rumah saja, menyiapkan makan dan minumku. Urusan sawah biarlah aku yang mengerjakan.”
            “Engkau selalu melarangku menceburkan kaki ke lumpur, kenapa?”
            “Karena aku sayang padamu, dan tidak ingin kamu capek.”
            “Bukankah hidup itu sudah capek, suamiku. Lalu kenapa harus takut?”
            “Sekarang makan dulu opor ayam bikinanku. Pasti lezat sekali.”
            “Tentu aku percaya, suamiku memang pandai memasak.”
            Surtini menuruti ucapan suaminya. Nasi yang masih mengepul kukus dan opor ayam baru diangkat dari wajan. Di rumah tua mereka berdua. Begitu setiap harinya.  “Andaikan kita punya anak …”
            Irham tidak menggubris ucapan Surtini. Beruntunglah Surtini memiliki suami yang tingkat kesabarannya begitu luas tak berporsi. Meski kadang ada jenuh di lubuk hati Irham bila istrinya menyebut anak dalam suasana berdua. Dan memang mereka sudah terbiasa berdua. Kehadiran anak bukan tujuan nomor satu menikahi Surtini. Andaikan saja cinta Irham tak begitu tulus kepada Surtini, ia pasti sudah lama meninggalkan wanita tua yang tak bisa hamil lagi sejak lama.
            Kembang jambu air berguguran ke tanah. Sudah musimnya panen jambu. Biasanya anak-anak tetangga menjadi obat kerinduan Surtini dan Irham. Walau ingin mendekap—ada keraguan dalam hati Surtini.
            “Mbah, minta jambunya yah …”
            “Ambillah, petik pakai genter,”
            “Iyah Mba, suwun.”
            Lalu Surtini akan duduk di kursi depan rumah menyaksikan anak-anak memetik jambu air. Ada yang memanjat ada pula yang memetik memakai genter. Sudut bibir Surtini akan mengembang bahagia. Lalu Irham akan menemani duduk di sampingnya.
            Senja membuka tabir indah. Dekapan Irham ke pundak Surtini bukan kepalsuan. Demi Dzat yang memberikan rasa cinta, begitu juga Irham menjaga cintanya sebaik mungkin. Kepala mereka telah sama-sama ditumbuhi uban namun rasa jenuh dalam pernikahan jauh dari tempurung otak kepala mereka. Terlebih Irham yang menjadi lentera buat Surtini. Ia tak akan padam cahayanya. Meski sekelibat pendar membayang dalam cekam kesendirian.
            Bila berdua memangku kasih, anak-anak sering tersenyum memperhatikan Surtini dan Irham. Mungkin di nalar otak kecil mereka berkata, “Sudah tua tapi romantis.” Lalu apa yang bisa digambarkan oleh Surtini dan Irham, selain ketulusan cinta mereka. Seperti lidah Surtini berucap beberapa tahun lalu.
Jika musim padi telah datang
Sambutlah dengan keriangan
Dengan senyum mengembang
Di bawah teriknya surya ada kedahagaan
Maka engkau hadiahkan sekuntum senyuman
Sebagai penyegar kekeringan kasih sayang

                                                              ~**~
0 Comments for "SURTINI - Anung D’Lizta - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top