-->

Sosok yang Tak Pernah Hilang - Viviean Anneesa - Lomba Menulis Cerpen

Sosok yang Tak Pernah Hilang
Oleh Viviean Anneesa

Pujangga dalam mimpi, mimpi dalam kalbu memasuki pikiran. Entah apa yang akan keluar dari bibir praduga tak bersalah karena lidah. Apa hanya aku yang merasakan atau hanya aku yang terlalu berlebihan dengan keadaan. Aku mulai melangkahkan kaki meyakinkan diri. Seolah tak ada yang membuatku ragu. Detik ini siang setengah sore akan melukiskan kertas ceritaku yang hampir selesai. Mereka bilang cerita disetiap kertasku belum selesai. Namun, saat ini aku akan menyelesaikan selembar kertas ceritaku dengan sebuah kenangan yang tak akan pernah bisa untuk dilupakan sekalipun suatu saat nanti aku membuka kertas ceritaku yang baru.

Tepat pukul dua siang. Aku beserta teman-temanku akan melukiskan cerita akhir di kertas ceritanya masing-masing. Semua wajah berubah menjadi putih susu. Keringat dingin datang keluar dengan sendiri nya dari kulit. Saat itu pula tak ada satu katapun yang keluar dari lidah yang tak bertulang ini, entah kenapa bisa terjadi. Hingga tibalah hasil perjuanganku dan teman-temanku selama tiga tahun. Semua akan terjawab pada detik ini juga. Siapa mengira bahwa kami semua akan melukiskan cerita terakhir kami dengan kabar yang tidak membuat hati pilu. Kami bernyanyi bergembira layaknya sang burung yang berterbangan di tepi pantai. Semuanya berubah seketika. Tak ada lagi wajah seputih susu, keringat dingin yang mengalir deras dari kulit, serta yang tadinya lidah yang tak bertulang ini tak bersuara mendadak seperti pasar di hari Minggu. Tak terkontrol namun terkendali.

Pada akhirnya kami telah menyelesaikan cerita akhir di kertas cerita kami. Cerita akhir yang tidak menggores luka di kertas. Mereka mengira bahwa setelah kami menyelesaikan cerita akhir kami dengan lukisan indah, kami juga akan melukiskan hal itu di seragam yang sederhana namun penuh arti ini. Perkiraan mereka salah besar mengenai itu. Kami tidak melukiskan kebahagiaan kami di sana. Kami hanya merayakan hari jadi kami lepas dari masa-masa puber. Ya masa SMA.

Aku dan teman-teman masa puber atau masa SMA. Menghabiskan waktu hanya untuk merayakan hari jadinya kami menjadi alumni. Perasaan senang, terharu dan bahagia tercampur menjadi satu. Riang, canda dan tawa tak henti diluapkan karena sadar selepas ini semua akan sibuk pada urusannya masing-masing. Sehingga tak rela untuk melewatkan momen indah ini begitu saja. Undangan ulang tahun mengatakan “Tiada kesan tanpa kehadiranmu”. Aku dan teman-temanku seraya mengatakan “Tiada cerita tanpa kebersamaan”.
Selesai sudah kertas ceritaku terisi dengan akhir cerita yang indah. Saatnya aku dan teman-temanku dengan kehidupan baru yang sudah menanti. Pilihan ada pada diri sendiri. Tuhan sudah mengatur skenario dengan sesempurna mungkin. Pilihanpun sudah tercantum dalam skenario-Nya. Aku dan teman-temanku memiliki pilihan masing-masing yang bervariasi yang dipandang baik.

Aku memilih untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri. Begitu pula dengan sebagian temanku. Kenapa sebagian? karena sebagian ada yang lebih memilih untuk terjun ke dunia pekerjaan. Apa mau dikata itu pilihan masing-masing.

Untuk saat ini aku dan teman-temanku sudah terpisah. Raka, mengikuti kursus chef di Yogyakarta yang sekarang telah bekerja di sebuah hotel ternama di Yogya. Putra, mengikuti tes PLN yang pada akhirnya lulus di sana sekarang ia telah menadapat pekerjaan tetap. Agustin, Frizka, Sari, dan Siska mengikuti kursus menjahit yang sekarang telah memiliki kemampuan membuat baju sendiri. Aku apa kabar?. Aku tetap dengan diriku masih dengan cita-cita yang sama dan masih dengan motivator yang sama.. Aku bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena doaku selama ini terpenuhi. Usahaku selama tiga tahun di SMA berbuah manis. Begitu pula dengan teman-temanku yang memilih bekerja telah dapat menghasilkan uang sendiri. Manisnya buah yang aku petik saat ini semua tidak terlepas dari doa orang tua. Di samping itu juga ada seseorang yang tak hentinya memotivasi aku dari aku menginjakkan kaki di SMA hingga sekarang aku dapat menginjakkan kaki di Fakultas Kedokteran. Ia adalah seniorku. Saat ini ia sedang menempuh pendidikan di Fakultas Ekonomi.

Dimulai dari sebuah perkenalan antara junior dengan senior kala itu. Tak pernah disangka kalau akan terjalin baik hingga aku dan dia menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Sebelumnya, aku dan dia membuat sebuah kesepakatan. Kesepakatan untuk memilih Kedokteran sebagai target utama ketika akan melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Ya. semua karena aku dan dia memiliki cita-cita yang sama. Namun, sekarang aku dan dia berada pada  Fakultas yang berbeda, perguruan tinggi yang sama. Walau begitu aku dan dia tetap sulit untuk bisa bertemu.

“Hai buk dokter, apa kabar?”. (Ujarnya padaku serambi mendekatiku)

“Hai kak Natan. Alhamdulillah kabar baik, ah jangan panggil gitu kak. Masih dalam proses. Eh kakak apa kabar nih?”. (Jawabku dengan senyum)

“Alhamdulillah kabar baik juga. Bagaimana dengan kuliahnya buk dokter? Hehe”. (Tanyanya padaku dengan seyum)

“Sejauh ini alhamdulillah lancar kak. makasih banyak ya kak. Berkat motivasi kakak yang tiada hentinya ke Celine. Sekarang Celine bisa duduk di perguruan tinggi. Eh apa kabar kuliahnya calon pengusaha?”.(Tanyaku padanya)

“Eh ngomong apa buk dokter nih. Itu semua karena usaha dan doa buk dokter sendiri. Kakak engga ada apa-apanya. Buk dokter hebat. Rajin-rajin kuliahnya ya buk dokter. Sepuluh tahun lagi kakak harus lihat buk dokter jadi dokter yang hebat ya”. (Pesannya padaku)

Selalu panggilan itu yang ia ucapkan padaku. Walau kadang aku kesal tak mau dipanggil dengan sebutan ibuk karena aku belum tua. Ya, dia seseorang yang aku anggap sebagai motivator. Seorang lelaki dengan kesederhanaannya serta kerendahan hatinya yang selalu dipancarkannya. Alasanku memanggil dia kakak lantaran dia seorang laki-laki adalah karena dia juga merupakan seniorku dalam ektrakurikuler pramuka ketika SMA saat itu.

Sepuluh tahun telah aku lalui dengan berbagai lika-liku dunia perkuliahan yang aku alami. Akhirnya aku mendapatkan gelar dokter. Kehadirannya tak pernah terlewatkan di saat momen penting bagiku. Dimulai dari kelulusan SMA ku, pengucapan janji hipokrates, kelulusanku menjadi sarjana kedokteran hingga aku mendapatkan gelar dokter. Ia selalu hadir dalam pandanganku dengan kemeja coklat muda, jas hitam, dasi coklat tua, celana hitam serta sepatu hitam mengkilatnya. Tak ada hentinya ia memotivasi diriku sampai saat ini. Kata yang selalu ia ucapkan padaku dan selalu ku ingat adalah “Selalu ingat Allah”

Kata-kata itu yang aku pikir membuatku bisa menjadi apa yang dia inginkan. Hingga suatu ketika aku sedang melakukan dinas malam. Aku dikejutkan dengan seorang pasien yang menderita kanker hati. Bukan karena penyakitnya yang aku kejutkan. Lantaran karena seorang pasien ini yang merupakan orang yang sangat berarti dalam perjalanan hidupuku hingga aku bisa menjadi seorang dokter. Ya, ia adalah Natan, motivatorku. Aku tak kuasa melihatnya menderita karena penyakit kanker hati yang ia derita. Tanpa pikir panjang. Aku melakukan tugasku sebagai seorang dokter.

Setelah kurang lebih satu jam berlalu dalam ruangan operasi. Akhirnya aku berhasil melakukan operasi pada pasien teristimewaku. Saat ia membuka matanya. Matanya yang berkaca-kaca dan tersenyum padaku.

“Terima kasih buk dokter. Buk dokter telah menyelamatkan nyawa satu orang”.

“Selalu ingat Allah. Ingat kak, Allah lah yang punya kuasa atas nyawa seseorang. Dokter hanya perantara bagi umatnya”. ( Balasku padanya dengan senyum)

“Buk dokter masih ingat kata-kata itu?”. (Tanyanya padaku)

Aku hanya membalas dengan senyum hangat padanya sang direktur. Direktur? ya, dia sekarang adalah seorang direktur di sebuah perusahaan.

Waktu berlalu menjalankan roda kehidupan. Sekarang ia telah menikah dan memiliki dua orang anak. Tepatnya sepasang orang anak. Isterinya adalah seorang pengusaha juga. Hingga saat ini ia telah memiliki perusahaan sendiri. Aku sampai saat ini masih dengan profesi yang sama. Masih dengan status yang sama. Belum menikah. Aku masih menikmati pekerjaanku saat ini. Ya, pekerjaan bukan profesi. Profesiku adalah seorang dokter namun, pekerjaanku adalah motivator. Aku belajar menjadi motivator darinya.  

Suatu hari ketika aku sedang berdiri di depan jiwa yang membanjiri podium. Ketika itu pula aku mengadakan reuni dengan teman-teman masa puber. Melihat teman-temanku yang telah menjadi orang semua. Ya karena sebelumnya kami belum sepenuhnya menjadi orang. Raka telah menjadi chef handal di Negeri orang di Singapura. Putra telah menjadi manager di sebuah perusahaan. Agustina, Frizka, Sari dan Siska telah menjadi designer ternama. Motivatorku tetap menjadi motivator. Ia juga hadir dalam acara tersebut. Ia mendekatiku serta teman-temanku dan lagi-lagi memberikan motivasi.

“Lulusan apapun kalian jika selalu ingat Allah maka, kesuksesan mudah kalian raih walau dengan jalan yang berbeda”.

Mungkin itu adalah motivasi terakhir yang ia ucapkan padaku dan teman-temanku. Mengapa? karena pada saat ini 20 Januari 2009 adalah proses pemakamannya. Ia telah dipanggil oleh sang Pencipta menuju Syurga-Nya. Aku dan teman-temanku terkejutnya bukan main. Seorang motivator yang selalu ada ketika aku susah maupun senang sekarang pergi. Ia meninggal karena serangan jantung. Bukan penyakit penyebabnya tapi Tuhan lah yang punya kehendak atas nyawa seseorang. Menangis? ya, kami semua menangis tiada henti melihat seorang manusia dibungkus dengan kain putih, tetapi apa boleh buat. Semua telah terjadi.

Lupakan? melupakan orang yang berjasa tak mudah bagiku. Hingga suatu ketika aku mengingat kepergian sang motivator di lorong rumah sakit. Aku dikejutkan dengan seorang anak remaja  yang menegurku dengan ramah.

“Buk dokter, jangan nangis dong. Semua ada jalannya. Selalulah ingat Allah buk”. (Ujarnya padaku)

Aku spontan melihat anak itu karena teringat kata-kata yang ia ucapkan. Seraya aku menjawab.

“Maaf, anda siapa ya? saya seperti mengenal kata-kata itu”.

“Perkenalkan buk, saya Arif hidayat puteranya Natan”.


Mendengar hal itu aku menangis bahagia. Aku kagum dengan motivatorku sampai detik ini juga. Ia selalu ada sampai saat ini. Natan tidak pernah hilang sekalipun ia telah pergi untuk selamanya. 
0 Comments for "Sosok yang Tak Pernah Hilang - Viviean Anneesa - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top