“Alkisah tentang
dia dan penyair tua” kakekku Amien sobirin
Rio perdana
dewan daru
Semua
terlihat tabu, bayangan dari semua bayangan nampak samar. Dari matanya, pria
berbadan besar dengan sebilah parang yang ia pegang. Batinnya mengkerucu .
Nampak geram ranah wajahnya memandang semua yang ada. Pohon –pohon dihadapannya
nampak redup merunduk . Langit yang mulanya biru bening, kini berlarut mendung.
Angin sepoi meniup dedaunan kering yang menggelayuti ranting. Berterbanganlah
dedaunan itu, hingga jatuh menyusur tanah. Semua tampak takut ,sangat takut.
Ada bu Ririn dan ada pula Pak Karen, mereka lari terpontang-panting. Benar
memang benar. Dia sangat marah ,sangat marah.
Mata
kakek semakin nanar menatapku. Aku pun membalasnya dengan tatapan yang sama
juga. “Aku penasaran “, gumamku dalam pikiran. Test cest dengan menguap bacaan basmallah.
Alkisah pun dimulai. Sambung kakek bercerita. Langkah kaki yang mulanya gontai,
berubah seketika menjadi cepat. Pandangannya menatap ke arah ontel yang ada di
depannya. Ontel itu pun dinaikinya cepat. Bah , pria berbadan besar itu tak
peduli ontel itu milik siapa. Wajahnya semakin merah ,tanda kemarahannya yang semakin
meronta-ronta. Iya itulah dia, bukan Amien namanya, jikalau tidak membuat onar
semua.
Tentu
kali ini Amien masih berkutat dengan ontel yang ada di depannya tadi. Amien
mengayuh ontelnya cepat. Ranah wajahnya semakin merah,dengan sebilah parang yang
kini berpindah di stang sebelah kiri ontelnya. Sungguh dia semakin geram. Arah
tujuannya masih menjadi misteri, belum jelas entah kemana. Terlihat sorotan
matanya mencari. “Dimana dia ?’’, hatinya saraya bertanya. Namun entah pada
siapa. “loh yo bener”,ujar salah satu
orang yang melihat Amien, seperti sudah mengira-ngira. Mata di sepanjang jalan
laju ontel Amien tak henti-henti menyorotnya bak pemeran utama. Ada yang
terheran-heran menatap Amien . Ada yang bingung tak tau. Ada pula yang ciut
tanda tak suka melihat polah tingkah Amien.
Gemercik air hujan seketika itu membasahi jalan. Sudah disangka memang,
langit yang mulanya mendung kini menumpahkan air bahnya. Sungguh nyali Amien
tak surut. Masih diayuhnya kencang ontel yang ia naiki. Tak ada lagi mata yang
mengawasinya tajam. Hanya ada suara hujan dan nafas Amien yang terengah-engah.
Matahari benar-benar tak nampak ,tertutup awan mendung. Amien tak tau ini
siang,sore, atau apa. Tiba -tiba sebuah suara terdengar. Suara yang menyeru
umat islam untuk berserah diri dan memanjatkan do’a pada Tuhannya. Amien
berhenti, dia berbalik arah menuju suara panggilan itu. Namun sungguh apa yang
dilakukan Amien masih menjadi misteri yang belum bisa dimengerti.
Rintik
hujan tak kunjung reda. Begitupun Amien, kemarahannya tak henti-hentinya juga.
Sesaat lagi Amien sampai pusat suara panggilan yang ia dengar tadi. Brukk.. !!
dihempaskannya ontel yang ia naiki dengan keras. Entah apa yang dia pikirkan.
Amien kemudian mengangkat parangnya dan hendaknya berteriak. Namun sayang
iqomah surau menyelanya. Sungguh kali
ini Amien semakin geram dan hilang kesadaran.
Angin
riyuh bertiup kencang kearah semak samping jalan, tempat Amien berdiri.
Pandangan Amien pun berpaling ke arah semak itu seketika. Apa yang terjadi .
Sesosok lelaki tua berambut putih berdiri diantara gebyuran hujan. Emosi Amien
kali ini berbalik keheranan. Matanya penasaran, namun ia merasa ragu untuk
mendekat. Siapa dia, terlihat aneh tak seperti orang biasanya. Apa yang
dilakukannya. Apa dia gila. Begitulah kirannya pikir Amien sesambil melihat
lelaki tua itu. Lelaki tua yang pakaiannya usut berkerut layaknya seorang
pengemis.
Lelaki tua
itu seperti memanggil Amien, meski tak sedikit pun suara mencuat dari
mulutnya. Amien merambah mendekat. Dorrr..
kurang lebih tiga kali suara itu terdengar. Sebuah gemuruh petir
menyambar-nyambar ditengah pekatnya awan mendung. “Wahai orang-orang yang
beriman.!!”, seru lelaki tua itu seperti melantunkan puisi. Amien kembali
terheran-heran tak karuan. Namun amarahnya kembali datang dan memuncak.
Inginnya menebas kepala lelaki tua itu, dengan sebilah parang yang ia pegang.
Tapi Amien tak bisa. Itu tentu, karena lelaki tua itu bukanlah orang yang
diincarnya.
“Wahai
engkau orang-orang yang beriman, lelaki tua itu kembali mengulangi seruannya.
Jikalau engkau dalam hidupmu yang penuh takdir dan masih menjadi misteri.
Engkau menjumpai sebuah batu dan batu itu menyandungmu. Dan apabila engkau
kesakitan dan merasa sangat sakit olehnnya. Janganlah engkau tendang dia.
Jangan engkau lempar dia. Jangan pula engkau pukul dia. Sungguh janganlah
engkau aniaya dia,karena itu perkara yang buruk bagimu dan akan menyakitimu
sendiri. Maka eluslah batu itu dengan lembut. Cintai dan do’akanlah dia.
Kembalilah pada tuhanmu. Sungguh itu terbaik bagimu. Itulah perkara yang
terbukti oleh Rasulmu Muhammad SAW. Sungguh itu terbaik,maka lakukanlah.
Begitulah lantunan syair lelaki tua itu, lantunan yang membuat Amien risi.
Amien
tercengang dan sedikit melempar pandang kearah surau. Pandangannya pun tak
lepas dari lelaki tua yang ada di depannya. Hujan kini sudah reda. Namun sekali
lagi amarah Amien masih meronta-ronta. Langkah kaki lelaki tua itu perlahan
pergi meninggalkan Amien. Masa bodoh
Amien tak lagi peduli. Dia pergi mendekat kearah Surau. Mungkin apa yang menjadi misteri akan
terungkap kali ini. Amien melangkah dan langkahnya perlahan masuk ke area
Surau. Sontak matanya tertuju pada seorang pria berkulit kuning langsat yang
ada depannya.
Amien
berteriak kencang dan mengacung-acungkan parang yang ia pegang.” Hai karto”,
teriaknya keras merebah keseluruh penjuru Surau. Karto yang kala itu berdiri
didepannya pun terperanjat. Amien menghantamkan parangnya kearah Karto. Karto
menghindar hingga terpontang-panting. Kali ini Amien benar-benar hilang
kesadaran. Pak Bukori keluar dari surau, inginnya melerai dan menikam tangan
Amien. Pak Husen,Pak RW,dan Ustadz Usman ikut membantu. Parang yang dipegang
Amien terlepas. Karto tercengang hambar dan lari menjauh. Aduh, sungguh malang
nasib Pak Husen. Ia terkena pukulan tangan Amien yang kala itu terlepas dari
pegangannya. Amien mengejar karto. Keadaan semakin kacau, sangat kacau.
Karto
berlari kencang sesambil menghindari
hujanan batu yang dilempar Amien. Pak Bukori,Pak Husen,Pak RW, dan
Ustadz Usman ikut mengejar. Karto berlari ke area pepohonan bambu yang mengarah
ke area persawahan. Belumnya sampai kesana. Ia terkena lemparan batu dari Amien
. Amien pun bergegas menghajarnya. Empat orang yang ingin melerai kembali
memegangi Amien. Karto kembali lari. Lagi-lagi Pak Husen menjadi korban pukulan
Amien. Amien terlepas lagi dan kembali mengejar karto yang lari kedalam area
pepohonan bambu.
Carang-carang tajam itu menggores kulit karto. Karto tak peduli inginnya
lepas dari kejaran Amien. Amien yang mengejar pun tergores carang-carang bambu.
Namun ia tak peduli inginnya menangkap dan menghajar karto. Keempat orang tadi,
entah kemana. Tak terlihat mereka memasuki area pepohonan bambu. Mungkin mereka
mencari jalan pintas atau mungkin mereka ingin menyerah tak sanggupnya melerai
Amien. Brukk.. suara itu terdengar. Karto berhenti lari dan berbalik arah. Apa
dia bodoh, disana ada Amien yang ingin menghajarnya. Kenapa dengannya, terlihat
ia menghampiri Amien. Sungguh itu ironis dan tak disangka. Amien terjelembup
dalam lubang yang dipenuhi carang – carang tajam.
Matanya
terbangun disebuah tempat yang sangat asing baginya. Disisi kirinya,Amien
melihat mereka yang merintih kesakitan. Menelan panasnnya bara api dan besi
yang dilelehkan. Disebelah kanannya ia melihat mereka yang tersenyum bahagia
dengan hidangan enak dimeja, dibawah rimbun pohon tepatnya. “ Apa ini, dimana
aku ?”,Amien bertanya-tanya. Sebuah cahaya terang muncul dan memalingkan
pandangan Amien. Dia terperanjat, lelaki tua itu, penyair tua yang melantunkan
syair itu, ada disini. Dan siapa dia pria tampan yang ada disampingnya. Amien
geram ingin menghajar lelaki tua itu. Namun Amien binggung dan tak berdaya.
“Sungguh apa yang menjadi firman Tuhanmu. Allah SWT itu benar adanya dan itu sudah terbukti oleh
Rasulmu Muhammad SAW. Maka lakukanlah dan bersabarlah engkau”. Ujar lelaki tua
itu menatap mata Amien yang layu. .
Dia
merintih kesakitan, matanya sedikit demi sedikit mulai terbuka. Amien kini
mulai sadar dari tidur panjang yang ia alami. Apa lagi yang terjadi,semua yang
dialami Amien nampak aneh bagi orang yang tak tau. Amarah Amien berubah tak
nampak. Duduklah disamping Amien, Karto , Pak bukori , Pak husen , Pak RW, dan
Ustadz -Usman ditambah lagi dengan istrinya Julaeha. “Maaf ya min !!”, kata
Karto lembut memandang Amien. Amien mengeluarkan tetes air mata. Ustadz Usman
berkata sabar padanya, begitu pula dengan yang lain. Amien seketika itu
menyesal, sangat menyesal. Saat itu juga Amien menilik kebelakang. Apa yang
dikatakan penyair tua itu. Penyair tua yang pernah ia jumpai.
Kakek
menepuk pundakku keras. Plokkk…. Aku
tercengang bimbang memikirkan apa yang diceritakan Kakek. Usut punya usut yang
menjadi penyebab kemarahan Amien adalah Karto yang bermulut pedas. Karto
menghina Amien, karena kulit Amien yang berwarna hitam lekat. Dia juga bercerita pada tetangga bahwa Amien
adalah keturunan seorang budak yang hina dina. Sungguh itu membuat Amien
sebagai penduduk baru dikampungnya, terusik dan marah.
Tidak
lain dan tidak bukan seorang Amien yang tidak sabaran itu adalah kakekku
sendiri. Sebuah fakta tentang dia dan penyair tua menjadi alkisahnya. Kini kakekku memiliki nama
Amien sobirin. Dimana dia harus bersabar menjalani hidup yang berat. Kehidupan
yang terbilang sulit untuk dijalani. Menjalani hidup dengan sebuah kelumpuhan,
karena kesalahannya sendiri. Kelumpuhan karena ketidak sabarannya menghadapi
cobaan. Kini kakekku Amien sobirin percaya bahwa apa yang menjadi firman Allah
SWT adalah benar adanya dan yang dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW adalah
baik perkaranya.
Dari alkisah yang diceritakan kakekku
. Mungkin aku bisa mengambil sebuah hikmah. Bahwa pada dasarnya manusia
diciptakan untuk bersabar. Bersyukur dengan apa yang telah ada. Kita harus bisa
bersabar dikala cobaan datang. Jangan sampai kita tidak bersabar, hingga kita harus dipaksa bersabar dalam sebuah
akhir,dimana sebuah akhir itu adalah penyesalan yang menyakitkan. Sungguh
Rasullullah adalah inspirasi dan impianku. Begitu juga dengan kakekku Amien
sobirin. Sungguh kesabaran adalah hal yang patut diteladani dari semua perkara
yang patut diteladani darinya, Rasullulah Muhammad SAW. Dan ingatlah !!
kesabaran itu yang akan membawa kita pada sebuah kebahagiaan yang indah dan tak
disangka-sangka.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "“Alkisah tentang dia dan penyair tua” kakekku Amien sobirin - Rio Perdana Dewan Daru - Lomba Menulis Cerpen"