-->

GADIS BELIA TANPA LELAH - Suci Rahmadhani Putri - Lomba Menulis Cerpen


 GADIS BELIA TANPA LELAH
 Suci Rahmadhani Putri

Terkadang aku heran dengan kehidupannya. Diluar terlihat indah, tersusun rapi dengan bungkusan yang sangat menawan. Namun didalam kenyataannya sangat abstrak, berantakan, dan yang pasti menyimpan kisah-kisah yang buruk dan menyakitkan baginya. Ntah bagaimana caranya untuk menyembunyikan semuanya, namun semua orang mengenalnya dengan gadis periang.
Namanya Nazwa Maharani. Nama panggilannya Wawa. Ia adalah adikku. Anak ke-2 dari Ibu dan Ayah. Ia adalah anak bungsu. Umurnya baru 9 tahun, namun kenyataannya 10 tahun. Umurnya sengaja diperkecil karena tubuhnya yang tak mau berisi dari dulunya hingga saat ini. Ntah apa yang membuatnya seperti itu, yang jelas semenjak ia dilahirkan kehidupannya penuh dengan perjuangan yang besar, hingga saat inipun masih seperti itu.
“ Wawa, awas! Kalau nggak bisa jalan jangan dipaksain, nanti wawa ja..”
Belum sampai aku mengingatkannya, ia sudah terjatuh dahulu. Dengan posisi tertelungkup. Aku sangat cemas melihatnya. Dia terjatuh, dan saat ini Ibu dan Ayah tidak ada dirumah, mereka pergi ke sawah orang lain untuk mencari uang untuk pengobatan adik. Sebelum pergi tadi, Ibu sempat berpesan untuk menjaga dan mengawasi adik lebih maksimal lagi dari biasanya, karena semalam ia mimisan dan kakinya sudah mulai lumpuh. Dan ternyata yang dikhawatirkan Ibu itu terjadi. Apa yang harus kulakukan Ya Allah? Aku bingung. Aku segera berlari kearah gadis mungil yang sudah menderita sedari Ibu melahirkannya itu. Mulutnya sudah bergelimangan darah yang berasal dari hidungnya.
            “Kak, darahnya semakin banyak kak. Ibu dimana?”
Untuk sementara, aku hanya terdiam dengan pertanyaan adikku tadi. Sembari menyumbat hidungnya sementara dengan bajunya, aku menghela nafas. Air matapun mulai bergenangan dimataku, mendengarkan suara lirihnya menahan sakit yang ada di tubuhnya.
Aku berlari menyusuri semak-belukar yang ada dibelakang rumah, untuk mengambil daun sirih. Ayah berkata bahwa daun sirih dapat memberhentikan mimisan. Aku semakin cepat berlari menyusuri jalan yang berlumpur itu tanpa menggunakan alas kaki. Aku sudah tak peduli lagi dengan apa yang terjadi disekujur badanku, yang terpenting sekarang adalah keselamatan adikku.
Akhirnya sampailah aku ditempat yang kutuju. Aku segera menarik beberapa lembar daun itu dan berlari cepat kedalam rumah kembali. Kulihat ada beberapa lumpur melekat dikakiku, namun aku tak memperdulikannya.
“lepaskan bajunya wa! Sini kakak pasangkan daun sirihnya ke hidung wawa, semoga saja mimisannya berhenti, tahan dulu sakitnya ya wa”.
            “kak, sakit kak.” Ia masih terlihat kesakitan menahan sakitnya memasukkan daun sirih itu ke hidungnya.
            Aku segera menggendongnya menuju kamar. Dan menyuruhnya untuk beristirahat segera. Aku melihat guratan kelelahan yang ada di wajahnya. Bukan hanya kali ini saja ia mengalami hal seperti ini. Namun hampir setiap hari hidupnya selalu begini. Dipenuhi dengan perjuangan, bahkan perjuangannya untuk hidup normal seperti oranglain saja sangat sulit.
“kak, besok wawa sekolah ya kak? Wawa juga mau main-main seperti yang lain. Makan sama-sama seperti teman-teman, dan tentunya bisa belajar bersama kak.”
“iya wa. Kalau kamu sehat, kakak, Ibu dan Ayah pasti membolehkanmu sekolah kok dik. Kakak juga mau melihat kamu bermain-main seperti teman-teman sebayamu, berlari bersama, senam bersama, dan tertawa bersama”.
“wawa sayang kakak.” Ia menciumi keningku,dan memelukku dengan erat.
Ternyata darah mimisannya sudah berhenti, Alhamdulillah Ya Allah. Terima kasih engkau telah mendengar do’aku.
“sekarang wawa istirahat ya dik. Nanti sore kakak akan mengajakmu bermain sebentar diluar rumah.”
“iya kak. Wawa mau main-main sama kakak. Nanti kita main ke tepi sungai ya kak.”
“ok sayang. Sekarang pejamkan matanya dan tidur ya, nanti kalau sudah jam 4 kakak bangunkan. Sekarang baru jam 1 siang, jadi wawa punya waktu 3 jam untuk beristirahat.”
***

            Ia adalah seorang gadis yang sangat luar biasa menurutku. Diumurnya yang masih kecil, ia sudah bisa menahan dan menjaga dirinya agar tampak sehat, padahal tidak. Berbeda dengan anak kecil lainnya yang lebih mengutamakan bermain dibandingkan tetap berada didalam rumah.
            Ia tak memiliki teman yang banyak. Mungkin hanya satu atau dua orang saja yang mau berteman dengannya, itupun hanya untuk sebentar saja. Tapi jiwanya sangat kokoh, diusianya yang baru seumuran jagung ini, ia dapat mengendalikan emosinya.
            Suatu ketika, ia diperbolehkan Ibu dan Ayah bermain ke rumah anak tetangga untuk bermain-main. Alhamdulillah pada saat itu, kondisinya sehat. Aku sengaja mengikutinya dari belakang, takut terjadi apa-apa dengannya.
            “wa, main cip dor yuk!”, ajak temannya.
Ia hanya mengangguk saja.
Mungkin karena sangat bersemangat sekali, ia sampai lupa pada kondisinya saat itu, dan tiba-tiba saja ia terjatuh. Ingin sekali aku membantunya untuk berdiri, namun karena penasaran bagaimana respon teman-temannya, aku terpaksa diam.
            Anehnya, teman-temannya tak memperdulikannya sama sekali. Saat itu ia bermain bersama 2 orang temannya. Jangankan untuk membantunya berdiri, menghiraukan keadaannya saja mereka tak mau.
            Kali ini aku tak tinggal diam. Aku segera berlari kearahnya, dan membawanya pulang ke rumah. Andai saja mereka bukan anak kecil, aku pasti akan memarahinya. Segera kubantu ia berdiri, dan menggendongnya kembali ke rumah.
***
            Aku sering menangis memperhatikan wajahnya. Goresan penat dan letih selalu ada. Namun, ia mampu menyembunyikan dengan senyuman lebar, seperti halnya anak-anak lainnya. Ia mampu tertawa, walau kadang ia terbenam dalam rasa sakit yang membuatnya tak mampu mengerjakan apa-apa lagi.
            Penyakitnya berbeda dengan penyakit anak-anak kecil lainnya. Semenjak 2 bulan ia dilahirkan, Rumah Sakit sudah menjadi langganannya. Selang infus sudah jadi temannya. Dan infus sudah menjadi makanannya. Andai saja Allah mau menukarkan sakitnya itu dengan kesehatanku, aku ikhlas.

***
            Saat itu umurnya baru 5 tahun. Ibu sedang memasak di dapur, Ayah sedang mencari makanan sapi dibelakang rumah, dan aku sedang mengerjakan tugas sekolah di kamar. Tiba-tiba saja kami dikejutkan dengan suara piring yang pecah. Aku, Ibu dan Ayah segera berlari menuju sumber suara itu. Ternyata itu adalah adikku.
            “Astaghfirullahal’adzim”, ucapku.
            Ibu segera mengangkat dan menggendong adik, sedangkan Ayah segera menyalakan mesin motor. Ia terbaring lemah ditangan Ibu, tanpa suara dan kata-kata sedikitpun.
“Ibu dan Ayah akan membawa adikmu ke Rumah Sakit. Jaga rumah dahulu. Nanti sesegera mungkin Ayah akan menjemputmu. Matikan api di dapur segera”.
            Terlihat wajah Ibu sangat cemas, sedangkan Ayah lebih cemas dari  Ibu. Mereka segera membawanya menuju rumah sakit. Dan aku hanya tertinggal dengan derasnya air mata yang mengalir dari dua bola mata ini. Hari itu memang kondisinya kurang sehat, dan tanpa sepengetahuan kami ia mengambil air minum sendiri. Dan karena sudah tak sanggup lagi, ia terjatuh dan langsung pingsan disekitar rak piring itu dengan pecahan kaca disampingnya. Beruntungnya pecahan kacanya tak mengenainya.
            10 menit kemudian Ayah datang untuk menjemputku. Kini wajah Ayah terlihat lebih cemas dari awal tadi. Aku tak berani bertanya kepada Ayah apa yang terjadi. Aku segera berlari kearah motor Ayah, dan naik keatasnya.
            Ternyata benar, suasananya sangat menegangkan dan mencemaskan disana. Bidan-bidan rumah sakit itu mengelilinginya. Ia masih tanpa suara, dan tak membuka mata. Air mataku kembali mengalir deras. Ya Allah bantu dia, berilah pertolongan padanya. Umurnya baru 5 tahun, lancarkanlah prosesnya Ya Allah.
            Tampak terlihat dari luar bidan sedang berusaha mengobati keadaannya saat itu. Aku memeluk Ibu dan menangis sekencang-kencangnya dipangkuan Ibu. Ayah hanya menunduk ditempat duduknya. Sedangkan Ibu berusaha menenangkanku, walaupun ternyata mata Ibu sudah bengkak.
“ Kita berdo’a saja ya nak. Do’akan tak terjadi apa-apa dengan adikmu. Ibu yakin, ia adalah anak yang kuat”.
Akhirnya bidan itupun memperbolehkan kami masuk. Aku sangat bersyukur atas
Semuanya. Karena menurut pengakuan bidan-bidan itu, ia tak apa-apa hanya kelelahan saja. Alhamdulillah Ya Allah. Aku segera memeluk tubuhnya yang terbaring lemah itu, dan menciumi keningnya. Gadis belia berumur 5 tahun itu, masih tampak tersenyum
***
            Sekarang adalah hari Ulang tahunnya yang ke-9. Aku sengaja tak memberitahunya kalau akan ada pesta untuk ulang tahunnya saat ini. Aku menyebarkan undangan ulang tahunnya kepada teman-teman sebayanya dan teman-temanku. Ini adalah ideku dan Ibu untuk hari ulangtahunnya saat ini.
            Ibu sengaja menggendongnya kebelakang rumah, dan aku mempersilahkan teman sebayanya dan teman-temanku untuk masuk. Ibu memberi isyarat untukku agar dalam hitungan ke 3 kami menyanyikan lagu selamat ulangtahun untuknya. Dan kamipun menyanyikannya.
            Ibu membawanya ketengah-tengah kami. Ia tampak terlihat senang dan bahagia melihat semuanya. Untuk kali ini, ia memiliki banyak teman yang peduli kepadanya, walaupun itu hanya hari ini saja. Namun ia sangat terlihat berbahagia.
“ makasih semuanya. Wawa sayang kalian. Kalau tiap hari seperti ini, pasti wawa akan lebih senang lagi.”
            Semuanya tertawa melihat dan mendengarnya berbicara seperti itu. Kini semua larut dalam suka cita. Aku berada dibalik kerumunan orang banyak itu, dan berdo’a didalam hati.

            “ selamat ulangtahun Nazwa Maharani. Gadis kecil yang selalu kuat dan tabah. Gadis belia tanpa lelah yang mengajarkanku bagaimana caranya menjadi seorang remaja yang berjiwa kuat. Gadis yang selalu mengajakku untuk tersenyum dalam kesakitan. Gadis yang selalu bersemangat walau tubuhnya tidak sanggup lagi untuk menahan sakit. Gadis belia yang selalu membuat orang-orang disekitarnya tertawa, bukan menimbulkan iba jika berada disampingnya. Untuk tahun ke-9 mu ini dik. Kakak berharap kamu tak lagi berhubungan dengan yang namanya selang infus  dan rumah sakit. Kamu tak bermain-main lagi dengan yang namanya obat. Sekarang kakak ingin melihatmu tersenyum tanpa ada sakit lagi dijiwa dan badanmu. Kakak ingin melihatmu semakin riang dari dirimu yang sebelumnya. Kakak yakin, ini semua adalah cobaan Allah terhadapmu yang nantinya dibalik semua ini, Insya Allah terdapat keindahan nikmat Allah yang tiada taranya. Kakak berjanji akan selalu menjagamu, malaikat yang hadir didalam kehidupan Ibu dan Ayah. Kekasih yang hadir dan selalu membuat kakak tersenyum ini, akan selalu kakak sayangi. Dan kakak akan selalu berada disampingmu dik, karena kakak akan menjadi pelindung hidupmu sampai kapanpun. Ingat selalu dik, jadilah gadis yang selalu tersenyum. Jadilah gadis yang tak pernah menyerah. Dan tentunya jadilah gadis belia tanpa lelah, yang membuatmu menjadi gadis yang berbeda dari gadis seumuranmu lainnya, dengan perjuangan luar biasa yang membuat orang-orang disekitarmu bangga.”
0 Comments for " GADIS BELIA TANPA LELAH - Suci Rahmadhani Putri - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top