Diary Sari
Arum
Putri Sukmasari
Bekasi, April 2010.
Malam ini langit ditemani
bulan tanpa bintang. Mungkinkah hanya sementara? Seperti kegelisahan hatiku
setelah pengumuman kelulusan dari SMA ku tadi pagi. Aku ingat dulu pernah
memaksa ibu, Mas Putra dan Mas Tama untuk menyekolahkanku di SMA padahal mereka
ingin aku bersekolah di SMK. Alasannya karena lulusan SMK sudah dibekali
keterampilan untuk masuk ke dunia kerja, sedangkan lulusan SMA harus kuliah
terlebih dahulu sementara finansial keluarga kami tidak mendukung. Terlebih
lagi semua keluargaku adalah lulusan SMK. Huh, memangnya mereka pikir hanya
lulusan SMK saja yang bisa bersaing di dunia kerja? Memangnya aku tidak malu
untuk membebankan biaya pendidikanku kepada mereka lagi setelah aku memasuki
usia dewasa nanti? Jujur aku gelisah mengenai kemungkinan yang bisa terjadi
kelak, tetapi prinsip tetap kupegang erat. Aku memang anak bungsu, tapi aku
tidak manja. Hari ini aku hanya lulusan SMA, tapi suatu saat aku akan
mematahkan paradigma-paradigma yang salah tentang anak bungsu dan lulusan SMA.
Tangerang, Agustus 2010.
“Sari, kamu lulusan SMA
jurusan IPA? Kenapa tidak kuliah?” itu pertanyaan yang sering kudengar dan
hanya kujawab dengan senyuman. Bagiku saat ini, yang terpenting adalah bekerja
dan memberi kebanggaan bagi keluargaku meskipun lewat jalan pendidikan yang
berbeda. Satu atau dua tahun bekerja sebelum melanjutkan kuliah kurasa bukan
hal yang buruk. Tidak mudah memang. Jika bukan karena kehendak Tuhan, tentu
pekerjaan ini pun takkan kudapat. Meski hanya menjadi kasir minimarket di luar
kota kelahiranku. Aku, Sari Agustina. Usiaku baru genap 17 tahun hari ini. Anak
bungsu. Yatim. Tinggi kurang dari 155 cm. Berjilbab dan berkacamata. Lulusan
SMA biasa dengan nilai rata-rata ijazah dibawah 7. Apa yang bisa diharapkan dari
gadis sepertiku?
Bekasi, November 2010.
Dengan ijazah SMA yang
pas-pasan dan pengalaman yang minim, ternyata aku dapat bersaing dengan lulusan
S1 di sebuah lembaga bimbingan belajar. Aku diterima menjadi tentor tetap
dengan income yang lumayan. See? Kita semua mampu jika kita mau
berusaha dan yakin.
Bekasi, Mei 2011.
Uang yang kukumpulkan
sepertinya sudah cukup untuk biaya awal masuk kuliah tahun ini. Yah, untuk
tahun-tahun selanjutnya kurasa tidak akan ada masalah, bukankah Tuhan pasti
memberi jalan dalam menuntut ilmu? Aku bisa kuliah sambil tetap bekerja atau
mencari beasiswa. Tapi ibuku menyarankan agar uang itu digunakan untuk membayar
uang muka sepeda motor baru terlebih dahulu. Untuk urusan kali ini aku tidak
bisa menolak karena pada dasarnya aku bukan pemberontak. Keluargaku juga bukan
otoriter, hanya saja prioritas kami dari segi pendidikan seringkali berbeda. Tapi,
semua akan indah pada waktunya bukan?
Jakarta, Oktober 2011.
Aku meninggalkan
murid-muridku di lembaga bimbingan belajar dan bekerja di sebuah perusahaan
swasta di ibukota. Teman sekantorku kerap berkata “Sari, kamu masih mau kuliah?
Mau cari apa lagi? Kerja dimana pun sama saja, Sar. Zaman sekarang ini lulusan
sarjana malah banyak yang pengangguran”. Aku tidak menyalahkan argumennya yang hampir
senada dengan pendapat keluargaku, tetapi aku juga memiliki argumen sendiri.
Saat ini aku bekerja untuk kuliah dan kelak aku kuliah bukan untuk mencari
kerja, melainkan untuk menuntut ilmu. Pekerjaan dan kelayakan hidup memang
tidak selamanya bergantung pada tingginya jenjang pendidikan seseorang, tetapi
lebih kepada kemauan individu itu sendiri untuk selalu memantaskan dan
memperbaiki diri. Namun, bukankah hasil tidak akan mengkhianati proses?
Jakarta, Januari 2012.
Perpaduan antara terik
matahari dan polusi dari asap kendaraan maupun pabrik membuat sakit di kepalaku
bertambah. Di saat seperti ini, aku sering melamunkan sosok bapak yang sedang
menatapku dari surga. Memberiku semangat melalui ilusi senyuman yang kuciptakan
sendiri. Sepertinya anak perempuanmu ini harus berjuang lebih keras untuk bisa
mendapat pendidikan setinggi-tingginya seperti yang kau amanatkan sebelum
kepergianmu 8 tahun lalu, Pak. Seandainya bapak masih ada disini, tentu semua
tidak akan sesulit ini. Setidaknya, Bapak akan menyemangatiku kan?
Jakarta,
Juni 2012.
Senja
masih sama, menyisakan jingga pada langit yang semula menyala. Begitupun aku
dan prinsipku, masih menyelaraskan harapan pada kenyataan. Dua bulan lalu, Mas
Tama menyarankanku untuk membeli sebuah laptop, aku masih ingat ucapannya “Mahasiswa
itu pasti butuh laptop, Sar. Kalau sekarang belum punya, kamu mau beli kapan?
Kerja sambil kuliah mungkin cuma cukup untuk biaya per semester saja”. Aku mengangguk
lemah sembari mengiyakan saran mas ku untuk membeli laptop. Meskipun kutahu
nantinya akan kugunakan untuk keperluanku sendiri, tapi butiran air tak
berhenti mengalir membentuk sungai di pipiku yang semakin kurus. Aku frustasi
menghadapi fakta bahwa mungkin saja aku memang tidak ditakdirkan untuk kuliah.
Sejak dua bulan lalu tubuhku begitu ringkih dan mudah sakit.
Bekasi,
Juli 2013.
Aku
melewati kampus saat berangkat kerja dan mataku menatap nanar pada calon
mahasiswa baru yang sedang menjalani masa OSPEK. Sementara aku harus bekerja
untuk membayar cicilan motor dan laptop, membiayai hidup dan merawat ibuku yang
mulai sakit-sakitan karena tidak dapat memenuhi impianku untuk kuliah. Mungkin
seharusnya sudah kuhapus impian ini sejak dulu. Maafkan Sari, Pak.
Bekasi,
Februari 2014.
Kunikmati
panorama fajar dari balik jendela kamarku. Bulan yang pemalu dan akhirnya
menjauh dari mentari pagi. Akankah realita selalu jauh dari asa?
Bekasi,
Maret 2015.
Rintik
hujan seolah menghapus semua pilu perjuanganku selepas masa SMA. Setahun aku
tak menulis diary karena disibukkan
oleh pemulihan kondisi kesehatan ibu dan fokus bekerja sampai akhirnya semua berangsur
membaik. Keluarga yang selama ini tak kurasa mendukung, ternyata jauh lebih
besar pengaruhnya dalam dunia pendidikanku. Mereka menyarankanku untuk kuliah
di kota kelahiran ibuku tahun ini. Dari mereka, aku belajar untuk memanage waktu dan keuangan di tengah
situasi yang sulit. Belajar untuk bekerja keras dan memegang teguh prinsip.
Bahkan sekarang aku sudah memiliki motor dan laptop, serta akan kuliah dengan
hasil jerih payahku sendiri. Terpaut lama memang, namun sesal tiada kurasa
karena ketika lulus nanti aku akan menjadi sarjana yang telah memiliki banyak
pengalaman. Sungguh kebahagiaan yang tak terkira.
Yogyakarta,
September 2015.
Angin
kota pelajar di hari pertama aku menyandang gelar mahasiswa meniupkan semangat
baru. Bersyukurlah kalian yang mendapat status mahasiswa tanpa melalui proses
panjang sepertiku. Bersyukur lebih dari sekedar ucapan, tapi melalui tindakan.
Lakukan yang terbaik sebagai ungkapan terima kasih pada Tuhan atas pemberian
kesempatan yang tidak dimiliki semua insan, juga pada keluarga sebagai
perantaranya. Ini bukan akhir, tapi awal dari lembaran kisahku yang akan
kutulis pada diary berbeda. Kelak
ketika aku dan kita semua telah sukses. Semoga.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "Diary Sari - Arum Putri Sukmasari - Lomba Menulis Cerpen"