“Hari masih ada Boi!”
Febby Alianti Putri
Kicauan
burung kini berubah profesi sebagai penyair dalam kesendirianku sore ini. Dia
membuatku terlarut dalam iramanya yang pelan. Mengingatkanku pada gadis
pujaanku, Si laras yang kini sudah tiada meninggalkanku sendiri. Aku termenung!
Pikiranku hampa seakan-akan ini beban berat yang kualami selama hidupku. Sudah
2 tahun aku menjalin cinta dengannya. Dan satu tahun lagi kami akan berencana
lanjut ke jenjang pernikahan. Ia memiliki rupa yang menawan dan budi yang baik
hati. Tak sampai hati aku melepaskannya begitu saja. Dia sangat sempurna di
mataku. Aku tetap dalam kesunyianku, berasa hidup didunia sendiri, aku tak
menghiraukan orang lain yang berada disekitarku. Mengingat-ingat kenagan
indahku bersama si larasati.
Aku sedari tadi mendangar sahutan si
jono, teman karibku yang sudah berulang-ulang memanggil namaku. Aku sudah
mengetahui maksudnya, dia meminta
bantuan kepadaku untuk membuatkannya nasi goreng. Dia seorang anak kota yang
sangat manja. Mencoba-coba hidup di desa. Dan ujung-ujungnya menyusahkanku
saja.
“Boiga” Sahutnya kembali terdengar
di telingaku. Aku memejamkan mataku. Ingin sekali rasanya memplester mulutnya
untuk tidak berteriak-teriak dari dapur. Aku
sedang ingin sendiri bersama angin dan renungan.
Tiba-tiba
kicauan burung tak lagi terdengar. Renunganku terhenti dan aku melihat sangkar
burung cendet yang menjadi instrumen sudah tak berada di atasku. Malahan
sangkarnyapun tak ada. Lalu aku berdiri dan berbalik kebelakang karna penasaran
dengan hilangnya cendet itu.
Baru aku melangkahkan kaki dan
menaikkan sedikit kepalaku yang berjam-jam tertunduk, Si jono anak kota itu
telah berada diambang pintu sambil memegang sendok goreng. Gayanya seperti bos
disebuah restoran saja. Dengan clemek penuh dengan saus merah serta tangannya
yang terlipat itu membuatku heran dengan sikapnya saat ini. Tumben dia
mau memasak
“Ada apa lagi dengan kau boiga?”
tanyanya dengan logat batak yang pelan seperti tampak kasihan denganku. “Cendet itu sudah kutaruh didalam” lanjutnya
sambil memalingkan muka sebagai simbol cendet itu berada di dalam. Aku kembali
duduk seperti sedia kala. Lalu, jono mendekatiku sambil menaruh sendok goreng
diatas meja sebelahku.
“Kau masih mengingatnya?” Tanya jono
kembali. Aku tak menjawab sepatah katapun pertanyaannya. “Sampai kapan kau
seperti ini?”
kesalnya membentakku tiba-tiba. Aku menaikkan alis sebagai tanda kebingunganku
kepada sikapnya yang spontan itu.
“Tak usah kau urus lamunanku ini.
Urusi saja nasi goreng kau tu dulu. Udah berbau sampai kesini” Jawabku datar
tanpa menatapnya. Mataku masih terfokus dengan batang pohon kelapa yang
letaknya di depan beranda rumah.
“Ya Tuhan! Aku lupa mematikan
apinya!” jono dengan gesitnya berlari. Dan dengan gesitnya kembali lagi. Aku
tak mengharapkan dia datang kembali menganggu renunganku. Tapi, aku tak ingin
bertengkar dengannya saat ini. Bathinku sudah tertekan atas kepergian si laras.
Ditambah lagi dengan kekesalanku dengan sikap anak manja ini.
“Boiga, sampai kapan kau seperti
ini? Ikhlaskan sajalah kepergiannya itu. Buka hatimu kembali. Perjalanan kau
masih panjang. Jangan kau terus menyesalkan takdir tuhan boi” ujarnya
menasehatiku
“Sudahlah jon. Aku tidak ingin
berdebat denganmu saat ini. Aku ingin sendiri di senja ini. Menghitung terbenamnya
matahari hingga fajar melengkap” Jawabku pelan
“Saat ini? Saat ini kau bilang?”
Tanyanya dengan suara yang sedikit mengeras dari sebelumnya “Sudah berhari-hari
kau berdebat denganku dengan masalah yang sama. Sampai berbuih mulutku ni
menasehati kau. Tak pernah kau dengarkan omonganku. Kau hanya terus mengikuti
hati kau tu yang sudah tertutup dengan si Laras itu” Ujarnya yang mungkin
sedikit kesal dengan prilakuku akhir-akhir ini
Aku hanya menghebuskan nafas dan
menundukkan kepala
“Sekarang, ayolah kau ikut aku.
Selagi senja masih ada dan matahari belum tenggelam. Mari lekas kau ikuti
langkah aku” Ajaknya menarik tanganku.
Ia menutup pintu dengan rapat, lalu
berjalan kedepan. Keluar perkarangan rumah. Ntah mengapa, aku menuruti
langkahnya. Aku heran, kenapa aku bisa menuruti perkataannya
“kau mau ajak aku kemana jo?”
Tanyaku memulai pembicaraan di perjalanan mengikuti langkah kaki jono
“Ke suatu tempat” jawabnya dengan
senyuman sumringah. Dia merangkul pundakku dan memukulnya kuat “Kau ikuti saja
aku”
Setelah lama berjalan. Akhirnya,
langkah jono berhenti. Langkahkupun berhenti “Apakah ini tempatnya?” Tanyaku
yang masih heran
“Iya. Disinilah tempatnya. Aku
mengajakmu kesini, karna kau bilang, kau ingin menghitung terbenamnya matahari
bersama senja. Kata orang banyak, senja terindah itu adalah senja yang terletak
di garis pantai. Makanya ku ajak kau kesini” jelasnya yang membuatku bingung
melihatnya. Sejak kapan dia megetahui
ada pantai disekitar sini. Dia baru saja kubawa ke kampung halamanku sekitar 2 minggu yang lalu.
“Boiga” panggilnya “Sekarang, coba
arahkan matamu ke hamparan laut bebas didepanmu”. Suruhnya. Aku lalu
menghadapkan mataku kedepan melihat hamparan laut bebas yang tidak ada simbol
sama sekali. “Apa yang kau lihat?” Tanyanya pelan sambil tersenyum padaku.
“Apa maksud kau jo? Aku tidak
melihat apapun disini. Disini sepi, sunyi, tak ada satupun orang, ombaknyapun
tak ada menghempas dari tadi. Hanya air yang tenang.” Jawabku frontal
Jono hanya tersenyum lalu memukul
pundakku “Beginilah kau sekarang!” ujarnya mengalihkan mataku ke arahnya. Namun
dia melangkahkan kakinya satu langkah didepanku. Aku menatapnya sedikit heran.
“Beginilah kau sekarang! kau terlarut dalam ketenangan, kesunyian, dan
kesendirian. Tak ada hal yang kau tampakkan. Kau hanya merenung tiada henti”
jawabnya
“ Tak ada satupun orang yang
mengunjungi pantai ini. Kau tau kenapa? Karna tak ada hal yang menarik disini
bukan? Ombak yang menghempas tak ada. Tak ada yang berisik disini. Hanya
ketenagan air yang sangat pelan terdengar disini” lanjutnya kembali ke tempatku
“Apakah kau mau seperti pantai ini?
Tak ada yang ingin bersama kau? Kau masih mengharapkan si laras itu. Sampai
kapanpun si laras itu takkan hidup kembali” nasehatnya
Aku mulai mencerna omongannya. Memang benar apa yang
dibilang oleh jono. Seorang anak manja yang tiba-tiba seperti inspirator bagiku
saat ini. Aku kemudian duduk di pasir-pasir pinggiran pantai dan merenung kembali. Sampai
kapan aku seperti ini? Jono memang benar. Aku harus merelakan kepergian
laras.Dia memang menjadi pujaan hatiku. Tetapi, mungkin tuhan terlalu sayang
kepadanya. Aku harus merelakannya demi tuhan. Banyak hikmah dibalik ini semua.
Aku harus percaya dengan takdir tuhan.
“Hai jo!” sapaku akrab yang mungkin membuatnya sedikit
heran. “Tak inginkah kau mencari karang-karang disekitar pinggiran pantai ini!
Aku mendengar dari banyak orang kalau pantai ini banyak karang-karang
dipinggirnya” ujarku lalu berdiri dengan senyum yang sangat lebar
Jono kaget dengan sikapku, lalu dia tertawa “Boigo!! Kau
telah sadar” teriaknya
“Apa-apaan kau ini! Jadi, dari dulu aku koma? Memanglah kau ini! Bentakku lalu
berlari mengutip karang satu persatu. Dan jonopun mengikutiku mengutip
karang-karang disini.
Senja menjadi saksi kebahagiaan kami berdua. Matahari
kini mulai tenggelam. Aku dan jono menghitung detik-detik tenggelamnya matahari
layaknya anak-anak kecil yang percaya akan ini. Renungan tak lagi ada. Fajar
mulai melengkap. Angin laut telah terasa disekujur tubuhku. Ini hari yang
sangat menyenangkan. Sahabatku, yang dulu sangat menjengkelkan. Kini berubah
menjadi mario teguh bagiku. Aku akan menikmati setiap hariku seperti dulu
dengan candaan serta tawaan yang menghiasi rumah kos kami berdua.
Hari
ini, esok, dan selamanya ......
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "Hari masih ada Boi! - Febby Alianti Putri - Lomba Menulis Cerpen"