Senyum Terakhir
Reia
VIRA
MAULISA DEWI
Satu
bulan telah berlalu, Reia gadis manis yang menderita tumor otak harus berbaring
di rumah sakit. Sebenarnya ia sangat ingin pergi ke sekolah dan bertemu
teman-temannya, namun kondisinya sangat mengkhawatirkan. Bahkan tiga hari terakhir,
keadaannya semakin memburuk.
“Mama..”,
panggil Reia lemah.
“Iya,
sayang. Apa kamu perlu sesuatu?”, tanya Mamanya dengan penuh kasih sayang.
Reia
menggelengkan kepalanya, lalu ia tersenyum kecil memandang wajah cantik Mamanya.
“Ma, selama ini aku banyak salah dengan Mama. Maukah Mama memaafkan semuanya?”,
tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
Mendengar
perkataan anaknya, Mama sangat terkejut. Oh Tuhan, apa yang akan terjadi pada
anakku, kenapa ia berkata seperti itu. “Kenapa kamu bicara seperti itu, sayang?
Bukankah kamu tahu ketulusan Mamamu?”, tanya Mama yang sekuat tenaga menahan
air mata.
Lagi-lagi
Reia mengawalinya dengan senyuman, “Tidak, Ma. Tiba-tiba kalimat itu ingin
kutanyakan pada Mama”, jawab Reia lemah.
Mama
mengelus lembut rambut putri semata wayangnya itu. Dengan penuh ketulusan, ia
menjawab pertanyaan Reia. “Bahkan sebelum kamu menanyakannya, Mama sudah
memaafkannya Reia”. Reia hanya kembali tersenyum.
Setelah
kejadian itu, Mama selalu berfirasat buruk terhadap keadaan Reia. Ia takut akan
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada anaknya. “Pa, kenapa firasat Mama
tidak baik ya?”, tanya Mama pada suaminya saat Reia tertidur. “Mama bicara ini
apa?”, Papa berkata dengan nada sedikit keras.
“Sssttttt..
jangan keras-keras nanti Reia bangun”, ucap Mama lirih.
“Sudahlah,
Ma. Jangan berpikir yang tidak-tidak, kita berdo’a semoga anak kita cepat
sembuh dan kembali seperti biasanya”, Ayah mulai tenang. Sementara Mama hanya
terdiam.
Semakin
lama ia di rumah sakit, keadaannya justru semakin memburuk. Orang tua Reia
semakin cemas dengan kondisi anak semata wayang mereka. “Ibu dan Bapak kami
harap untuk selalu memohon kepada Sang Pencipta. Mengingat kondisi Reia yang
terus memburuk, sekarang Reia sedang koma”, kata dokter yang baru saja
memeriksa kedaan Reia setelah tiba-tiba ia merasakan kepalanya sangat sakit dan
kemudian tak sadarkan diri.
Mama
Reia tak henti-hentinya menangis di depan tubuh anaknya yang tengah tertidur
dalam. Sementara ayahnya lebih tegar dan berusaha menenangkan istrinya. “Ma,
makanlah dulu. Sejak tadi malam perutmu belum kau isi”, ucap Ayah. Mama tak
pedulikan apa yang dikatakan suaminya, ia terus saja mengusap rambut Reia dan
memegang tangannya.
“Jika
Mama terus-terusan begini, Ayah yang semakin gelisah. Pikirkan juga
kesehatanmu, Ma”, Ayah semakin terlihat khawatir melihat keadaan istrinya.
Sudah
tiga hari Reia koma dan belum sadarkan diri. Dokter dan perawat keluar masuk
kamar Reia, namun mereka selalu mengatakan hal yang sama kalau keadaan Reia
belum ada perubahan. Jam dinding menunjuk pukul 13.25, saat Mama memegang
tangan Reia, ia merasakan tangan anaknya bergerak. “Reia.. Reia.. kamu sadar
nak”, ucap Mama seraya mengusap air matanya. “Ayah, lihat anak kita..”, panggil
Mama saat Reia berusaha membuka matanya. Ayah segera mendekati Reia.
“Ma..”,
satu kata pertama yang Reia ucapkan dengan sangat lemah. “Iya, sayang. Mama di
sini bersama Ayah”, jawab Mama. Reia membalas dengan senyuman. Dokter segera
datang setelah Ayah memanggilnya. “Permisi, Bu. Biarkan saya memeriksanya
sebentar. Anda bisa tetap di sini”, kata dokter. Lalu Mama bangkit dari
duduknya dan menyaksikan dokter yang sedang memeriksa anaknya.
“Kondisi
Reia sangat lemah, sebenarnya ia sedang berada di....”, dokter menggantung kalimatnya.
“Maksud,
dokter?”, tanya Ayah serius.
“Maaf,
Pak. Saya terpaksa mengatakannya kepada Bapak kalau kondisi Reia sudah tidak
memungkinkan”, kata dokter pelan.
Mendengar
kata dokter tersebut, Mama berlari menuju samping Reia yang sedang terbaring lemah
tak berdaya. “Kamu pasti bisa, sayang. Bertahanlah, percaya sama Mama”, ucap
Mama disertai isak tangis.
Reia
tak mengeluarkan sepatah katapun selain satu kata sebelumnya, memanggil
mamanya. Di kamar Reia, kedua orang tuanya dibalut rasa sedih yang mendalam
melihat anaknya terbaring lemah dengan mata berkaca-kaca. “A-aa-a-yah..
Maa-aa-maa..”, ucap Reia terbata-bata. “Iya, sayang”, jawab Mama dan Ayah
bersamaan. Mereka menantikan kata-kata yang akan keluar dari mulut kecil
anaknya. Namun apa yang terjadi bukanlah Reia mengucapkan sepatah kata lagi,
melainkan ia tersenyum untuk yang terkakhir kalinya sebelum ia meninggalkan
kemegahan kehidupan dunia yang fana ini. Seketika tangis Mama pecah dan Ayah
yang berusaha tegar segera memanggil dokter.
“Reia...
Sayang, kenapa kamu pergi tinggalkan Mama, nak? Siapa yang akan menjadi permata
hidup Mama? Reiaaaa....”, Mama terus saja berteriak menolak keadaan.
“Sabar,
Ma.. Ini sudah menjadi takdir Reia, biarkan ia pergi dengan tenang. Mari kita
berusaha untuk mengikhlaskannya”, Ayah berusaha menghibur Mama meski ia juga
meneteskan air mata.
Akhirnya
dengan bujuk rayu suaminya, Mamanya Reia berangsur-angsur tenang. Masih di tepi
ranjang tempat berbaring Reia, Mama mulai melantunkan kalimat-kalimat do’a
untuk anak semata wayangyayang kini
telah almarhumah. Dengan tusukan duka yang dalam, Ayah masih memimpin istrinya
untuk tetap berdo’a kepada Sang Rahim untuk kebahagiaan Reia di alam sana.
Tiada seorang pun yang
bisa memutar balikkan takdir Allah. Sekalipun ia orang terhebat.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "Senyum Terakhir Reia - VIRA MAULISA DEWI - Lomba Menulis Cerpen"