-->

Keluarga Cemar(A) - Mia Lativah - Lomba Menulis Cerpen

Keluarga Cemar(A)
Mia Lativah

            Apa yang bisa diharapkan dari keluarga cemara ? nama itu hanya julukan kosong belaka bagiku.
“Harta yang paling berharga adalah keluarga, Istana paling indah adalah keluarga, Puisi yang bermakna adalah keluarga, Mutiara tiada tara adalah keluarga,” kutipan dari sinetron Keluarga Cemara itu seringkali ayah gunakan saat berpidato di hadapan wartawan ‘dulu’.
Dilihat dari segi manapun keluarga kami tak akan pernah sama dengan sinetron yang tayang selama hampir 8 tahun. Mengingat usia kejayaan keluarga yang dikepalai oleh seorang politikus Rahardja Kusuma hanya bisa bertahan selama 5 tahun saja. Tanpa ada perubahan berarti bagi kota dan warga Bandung. Ayahku, mantan walikota Bandung, kini menjadi pengangguran sejati dengan tagihan dari beberapa debt collector semenjak keluar dari penjara selama 5 tahun akibat korupsi yang pernah ia lakukan di kala menjabat. Umurku sudah 22 tahun saat ayahku keluar dari penjara. Akulah yang setiap hari menjenguknya dipenjara. 1 tahun setelah itu, ibuku harus mendekam di penjara selama 1 tahun atas kasus penipuan penjualan barang palsu dengan harga tinggi di pusat perbelanjaan yang sudah ia pimpin selama hampir 7 tahun. Ada rasa malu saat mengakuinya. Sama seperti dalam sidang ayah dulu, ibu tak menyangkal atau membenarkan. Dia terus menatapku dengan perasaan bersalah teramat dalam.
Selang beberapa bulan, kakakku satu – satunya Riyan Rahardja dicari oleh pihak kepolisian setempat untuk dimintai keterangan perihal perjudian di Bar kawasan Kebun Teh Bandung. Seakan berkunjung ketempat hiburan, aku kembali mengantar keluargaku ke kantor polisi yang sudah kuanggap sebagai rumah kedua. Berulangkali aku menyuruhnya untuk mengatakan bahwa dia tak mungkin melakukan perbuatan maksiat itu. Tapi, dia hanya termenung dengan wajah pucat di kursi bagai beralas duri itu. Hilang sudah seorang Riyan ‘enerjik, ceria, dan usil’. Lagi – lagi aku terdiam pasrah seakan menunggu giliran nasib buruk apa lagi yang akan kuterima dari keluarga ini.
Aku tak marah atau membalas orang – orang yang kini menjuluki keluargaku sebagai ‘Keluarga Cemar(A)’. Menurut mereka huruf ‘A’ yang dicetak besar dan tebal menandakan betapa tingginya nilai keburukan tercela keluargaku di mata masyarakat Bandung.
“Miss. Raya,” panggil bosku di Kafe Holland tempatku bekerja. “Kau dapat telpon dari guru  sekolah adikmu, Reno.”
“Ah, ya bos. Terimakasih,” kuterima telpon dari bosku dengan perasaan tak enak. Kulihat Sofie dengan senang hati menggantikan posisiku seraya mengacungkan tangan tanda ‘Ok’.
Aku menjauh dari Kafe dan berbicara sesopan mungkin berharap tak ada kejadian yang menimpa adikku. Sayang, harapan itu pupus setelah guru Reno mulai mengomel tak tentu arah di seberang sana. “Astagaa.. ini adalah no ke 5 yang kuhubungi. Sebenarnya ada berapa pekerjaan yang kau jalani sih ? bukankah ayah kalian sudah keluar dari penjara ? kenapa adikmu ini tak mau memberikan nomor telpon ayahnya ? ya ampuuun.”
Aku meringis maklum. “Maafkan saya bu, ngomong – ngomong ada apa ibu menelpon saya ?”
“Astaga lihat. Sombong sekali nada bicaramu ini. kakak dan adik sama saja,” kurasa tak ada yang salah dalam pertanyaanku barusan. Sepertinya perlakuan baik tidak bisa selalu dapat kuterima dari setiap orang. Kukepalkan tanganku sekedar untuk meredam amarah yang siap meledak sewaktu – waktu. “Bawa adikmu ini dalam waktu kurang dari satu jam sebelum kami benar – benar mengeluarkannya dari sekolah !”
Ancaman itu sukses membuatku segera pergi setelah meminta ijin terlebih dulu dari bosku. Dari caranya menarik bibir ke atas sebelah aku yakin gajiku akan dipotong 10% di akhir bulan nanti. Arrrghh... aku tak perlu menebak kasus apa yang melibatkan adikku karna ini bukan kali pertama aku dipanggil menghadap kepala sekolah semenjak ayah kami di penjara. Kuharap setidaknya wajahmu masih bisa kukenali, dik. Batinku setengah bercanda.
“Kak Raya,” ucap Reno lirih menahan nyeri dari lebam di seluruh wajahnya. Bersyukur luka di wajahnya tak separah dua remaja yang duduk menciut ketakutan di samping guru – penelepon – tadi. Tanpa sadar aku tersenyum miris yang kemudian dianggap telah melecehkan 2 korban murid lainnya. Haaah... aku merasa tersinggung sekali. Guru ini tak sebaik penampilannya. Selalu mencari – cari kesalahan.
“Maaf jika ada yang tersinggung atas kelakuan saya,” Reno siap protes jika kakinya tak segera kuinjak. Maaf. “Bisa tolong anda jelaskan alasan dari pemandangan tak menyenangkan ini,” pintaku yang dijawab dengan ketus oleh guru di depanku.
“Kenapa tak kau tanyakan pada adikmu sendiri.”
Perlakuan ini. Lagi. Lagi. Dan lagi. Aku memejamkan mata sejenak membiarkan amarahku sirna. Ya, aku punya banyak cara untuk menahannya agar tidak keluar dan memperburuk keadaan. Dengan tenang aku mulai bicara. “Maaf, saya tidak tahu kejahatan apa yang telah saya atau keluarga saya perbuat pada anda pribadi. Sehingga saya harus mendapatkan ketidakadilan disini.”
Guru itu hanya melongo tanpa kuberi kesempatan untuk berucap.
“Saya tahu adik saya terlibat perkelahian. Yang ingin saya dengar adalah alasan dari kejadian itu dari sudut pandang seorang guru yang saya yakin akan bersikap objektif terhadap murid manapun. Sesungguhnya saya yakin adik saya tak akan memancing perkara sepele seperti ini di saat dirinya bersekolah dengan jalur beasiswa. Tapi sekali lagi saya katakan, kepercayaan saya terhadap seorang ‘Guru’ lah yang membuat saya mengajukan pertanyaan itu.”
Sidang kecil itu berakhir skors masing – masing 3 hari. Perjalanan pulang dengan berjalan kaki selama 15 menit itu kami lalui dengan diam. Tak tahan dengan suasana canggung itu aku iseng mencubit tangannya.
“AWWH. Kau pikir itu lucu !” geramnya sedikit membentak antara kesal dan kaget. Aku tertawa melihat tingkah remaja SMA yang sangat menggelikan itu.
“Ya. Lucu sekali,” ujarku disela – sela tawa. “Perlu kupinjami cermin agar bisa berkaca ? lihat wajahmu itu seperti Hulk versi ceking kau tahu ? haha...”
Wajah Reno berubah sendu. “Perkelahian tadi. Aku hanya membela diri. Bukan aku yang pertama me–”
“Ya aku tahu,” potongku. Karna aku pernah mengalami hal sama sepertimu. Dibully, diejek, diasingkan. Bedanya, aku bisa menahan dan melalui itu semua.
“Kalau begitu, cepatlah menikah,” tiba - tiba ucapannya benar – benar mengejutkan. Sungguh.
“Hah ! Lihat siapa yang bicara. Kau pikir siapa yang akan memberimu uang saku jika aku menikah nanti, hah ?”
“Aku bisa kerja sambilan.”
“Cih. Simpan saja kalimatmu itu untuk 3 tahun mendatang. Dasar bocah sok dewasa.”
“Kakak juga kerja saat masih SMA.”
“Itu karna aku wanita. Dan karna aku kuat.”
Adikku tertawa mengejek. “Laki – laki lebih kuat dari wanita tahu.”
“Ckckck. Lelaki kuat tak mungkin merengek saat wajahnya babak belur.”
“Hei. Aku tak pernah merengek.”
“Kau selalu merengek.”
“Tak pernah.”
“Iya kau merengek. Bocah sok dewasa.”
Sudah lama sekali rasanya tak berdebat seperti ini. lelahku langsung hilang seketika. Jika saja Kak Riyan ada bersama kami. Perdebatan 3 bersaudara akan sangat menyenangkan seperti dulu.
Sesampainya di rumah aku menemukan pemandangan tak biasa. Gerobak 3 roda bertuliskan ‘Bubur Ayam Keluarga Cemara’ berada di pekarangan rumah kecil kami. Di samping roda belakang terlihat ayah sedang memasang pedal. Seakan tersadar buru – buru ayahnya berdiri memamerkan hasil karyanya.
“Bagaimana Raya, Reno. Baguskan ?”
“Ayah, apa ...”
“Maafkan ayah kalian yang jahat ini. ayah ingin memperbaiki semua kesalahan ini. sekarang, hanya ini sisa kemampuan ayah. Mari kita buat rumah indah dan nyaman untuk ibu dan kakak kalian keluar nanti.”
Aku terharu. Kudengar Reno terisak memeluk ayah. Tanpa banyak bicara, Ayah memukul kaki Reno. Seperti biasa jika ketahuan berkelahi Ayah akan memukul kaki kami meski pelan. Seperti itulah Ayah. Tugasku bertindak sebagai ayah dan ibu sementara bagi Reno sudah selesai.
“Bagus kok Yah. Hanya hurufnya saja yang perlu dirubah sedikit.”
Seseorang menyeruak mengejutkanku. “Kak Riyan. Ini kan baru 1 bulan kok sudah..”
Kak Riyan melotot kesal. “Jadi kau tidak senang kakak gantengmu ini sudah keluar ? Ya Tuhaaaan. Sepertinya aku tak diharapkan lagi di sini.”
“Bukan itu maksudku. Tunggu, kakak tidak kabur dari penjara kan ?”
Dia mulai memainkan bola matanya. Kulihat Reno dan ayah memasang wajah kecewa. Entah kenapa aku jadi ingin tertawa. “Hah. Biar kujelaskan. Ada saksi yang membuktikan aku tak bersalah karna memang aku tidak berjudi. Aku hanya berada di tempat yang salah waktu itu. Jadi sebagai permintaan maaf, pihak kepolisian mencoret catatan kriminal sepihak itu dan aku dinyatakan bersih dari semua tuduhan. Itulah sebabnya aku ada di sini sekarang. Kau tak senang ? hah ? tak senang ? tak senang ? kakakmu ini tak bersalah.”
Mendengar semua penjelasannya membuatku marah. Aku memukulnya seraya menangis. “Kenapa dulu kakak tak mengatakan apapun saat aku meminta untuk menjelaskan yang sebenarnya ? Kenapa kakak menerima semua tuduhan itu ? Kenapa ?”
“Karna percuma saja aku mengatakan hal itu jika tak ada satu pun yang bisa membuktikan aku tak bersalah. Malam itu aku pergi ke Kawasan Kebun Teh karena aku rindu saat keluarga kita masih baik – baik saja. Pesta kebun.” Jeda sesaat. “Aku ingin mengulang masa itu.”
Meski umurnya sudah hampir berkepala tiga kelakuannya masih saja kekanakan.
“Whoaaa... ada monster Hulk dari mana ini ?” lihat saja.
Sore itu, kami menghabiskan waktu dengan bercanda dan berdebat. Mengulang masa itu. Tak hanya diulang, aku ingin meneruskan dan menciptakan moment – moment indah bersama kalian. Keluarga Cemaraku. Menunggu ibu 5 bulan kedepan bukan hal sulit lagi.
Riyan menyerahkan sebuah brosur Universitas Swasta yang bisa masuk di hari Weekend. Sehingga aku bisa tetap bekerja dan kuliah. Dia ingin aku mendapatkan pengalaman kuliah seperti impianku dulu. Meski bukan di Universitas ternama, begitu ucapnya.  
Tilulilulit.. tilulilulit... tilulilulit...
Dering alarm telepon mengingatkanku akan tugas pekerjaanku selanjutnya, Menjaga Warnet.
Kak Riyan memegang tanganku. “Pilihlah satu pekerjaan yang cocok denganmu dan mulai lah untuk membiasakan diri dengan pelajaran lagi, Raya.”
“Yayaya.. aku tau. Tapi sekarang aku harus tetap bekerja seperti sebelumnya. Datang dengan baik, pergipun harus dengan kesan baik pula kan ?” aku senang karna Kakakku mulai menjadi seperti dulu lagi.
“Hooo... lihat anak kecil yang sudah dewasa ini. Kau mengenal dia, Hulk ?” yang dipanggil Hulk hanya mencibir kesal. Hihihi... dasar.
Di pekarangan, aku menatap kembali gerobak buatan ayah. Tulisan di kaca kini ada sedikit perubahan. Huruf ‘A’ di akhir Cemara diganti dengan gambar pohon Cemara. Keluarga Cemar(A). Aku tak tahu apa makna dari pohon cemara itu sendiri. Julukan apapun, Selama kami bahagia dengan sebutan itu bagiku tak masalah. Bukankah kita sendiri yang menjalani dan menikmatinya ?

Kini, tak ada rasa beban saat aku melangkahkan kakiku keluar. Keindahan dan kenyamanan pohon cemara seolah membutakan mataku dari segala kesedihan.
0 Comments for "Keluarga Cemar(A) - Mia Lativah - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top