MEMASANG BINTANG
Karya : Tengku Marni
Adriyah
Kak
temi. Begitu biasa kami memanggilnya. Perempuan manis, wanita baik hati,
tetangga pengertian dan ibu yang sempurna. Kak temi tidak diberi kesempatan
menjadi istri yang sholehah,karena ketika dia sedang mengandung anak ketiganyan
7 bulan, sang suami sudah berpulang ke Rahmatullah, tanpa pesan, tanpa salam
perpisahan apalagi harta warisan.
Sttt…tapi
hal ini jangan sampai terdengar sama kak Temi ya, dia marah besar.dia pasti
bilang “ ada kok warisan yang dia tinggalkan, tiga anak gadisku itu ya warisan”.
kalo melihat lengkungan bibirnya, kalian pasti
bilang saya berdusta, “ wong kak temi senyum kok dibilang marah”, sttt….liat
matanya saudara-saudara, kilatan fenomena Aurora di daerah kutub, tau kan kalian
fenomena Aurora?. Fenomena dimana langit bercahaya warna-warni didaerah kutub
seperti mempunyai lidah, dan lidah itu seperti menjulur-julur mau memeluk bumi.
Mungkin kalo kejadian itu terjadinya di kampung kita, mesjid-mesjid setiap
dusun sudah penuh, 80 persen pria dewasa dan wanita dewasa tidak henti-hentinya
sholat taubat. Tapi untuk orang – orang diluar negeri sana, mereka sengaja
datang ke kutub untuk melihat kejadian itu. Suatu pemandangan yang luar biasa
indah, kejadian alam yang sebagian orang sangat dinantikan, tapi sangat
menakutkan bagi sebagian lain.nah, itu dia, kilatan mata kak temi lebih
mengerikan daripada kilatan aurora. Tapi aku sering sengaja memancing kilatan
Aurora di mata kak Temi, karena setelah kilatan itu hilang, semangat kak temi
akan naik beratus kali lipat.
Gelap. Tadi
malam Cuma bulan sabit yang berkunjung, sisa-sisa sinarnya bahkan tak mampu
menyinari pucuk daun. Sebagian orang masih memeluk mimpi, sebahagian lagi baru
akan bermimpi, tapi di dalam gelap, Kak Temi sedang berusaha mewujudkan mimpi.
Dari atas pohon
jambu biji,si Jago sudah pasang kuda-kuda, biasa, mau pamer suara sekaligus melaksanakan tugas
desa, membangunkan warga untuk sholat subuh dan siap-siap bekerja. Beres, kata
kak Temi. Tumis pakis, goreng ikan asin, plus menu special nan nikmat , telur
bebek yang diracik dengan tambahan irisan bawang merah, cabe kecil,asam sunti
(asam belimbing wuluh yang telah dikeringkan), dan sedikit taburan irisan daun
kunyit sebagai penghilang bau amis pada masakan, dadar gurih namanya. sttt… itu
resep turun temurun keluarga kak Temi, semua
menu itu sudah tersusun manis diatas meja makan yang terbuat dari 4 bilah papan
sisa, di paku mati ke dinding dapur.
Subuh. Embun mulai
menguap, gontai dan malas. Tapi dirumah
kak Temi, inilah waktu yang paling sibuk. si Sulung sedang membereskan rumah,
anak keduanya yang masih SMA kelas 3, sibuk menyiapkan bekal makan siangnya, di
sekolahnya sudah diadakan les sore khusus. Sementara si bungsu yang masih kelas
9, bertahan di meja makan sampai kedua kakaknya berteriak, “jangan badan aja
yang dibesarin,Cita-cita juga harus besar”.
si bungsu senyum malu-malu. Dia memang agak berbeda dari kedua kakaknya.
Cita-citanya jadi tukang jual tebu, dengan alasan supaya gratis minum tebu.
Maklum si bungsu ini belum pernah dapat penataran cita-cita, sementara kakaknya
sudah lebih dulu ikut penataran cita-cita, dan nara sumbernya adalah kak Temi. Si
Sulung sedang menunggu hasil seleksi tulis, sekolahnya mengirimkan permohonan
beasiswa ke salah satu Universitas terbaik di negeri ini, prestasi belajar si
Sulung memang selalu membanggakan sejak ia kecil.
Lalu dimana kak
Temi pagi- pagi begini?
Suara tangisan
bayi terdengar di rumah wak minah, rumah itu sedang diselimuti suasana bahagia,
anak tertuanya yang tinggal di pulau Jawa baru saja melahirkan putra
pertamanya. Wak Minah kena Syndrom, ketakutan jadi nenek. Tidak berani
memandikan bayi : takut tergelincir, takut terkena luka di pusat, takut bayi
menangis, takut ini, takut itu. Pagi itu kak temi mengambil alih semua tugas
ibu dan nenek. Mulai dari mengurut si bayi, memandikan bayi,ia selalu sebagai
orang pertama yang menciumi bayi di pagi hari setelah mandi pagi tentunya. Selesai
mengurus bayi, biasanya Kak Temi mengurus ibunya, mengurut, membuatkan jamu,
melumuri tubuh ibu yang melahirkan dengan parem. Rutinitas yang sama setiap
hari, dimulai pukul enam sampai pukul 8.00 wib.
“ ngurut nandi
neh mi?” Tanya Wak Minah,sembari meletakkan teh manis dan lontong di depan kak
temi.
“arek nang omah Lek Kiman ndesek,omongne mau
bengi masuk angin, trus omah Lek Sadi, bojone ,tibo. Terkilir sikelne. Eneng
papat iki, tapi seng loro, agak awan aelah”
Kak Temi kembali
mengayuh sepedanya, biasanya selesai memandikan bayi, ia akan ke polindes sebentar.
Mengobrol dengan bidan dan perawat disana. Ada saja hal- hal yang ia ingin tau,
dan ada saja berita-berita kesehatan yang ia ingin dengar. Sang bidan pun
biasanya memanfaatkan kedatangan Kak Temi
“ jangan lupa ya kak Temi, bilang sama yang
punya anak bayi, ada imunisasi hari rabu”. Kak Temi akan bahagia sekali
menerima amanat itu, dia akan merasa bahwa ia bisa sangat bermanfaat untuk
orang lain.
“udah keluar
hasil ujian Anis, kak Temi’ .
“belum, minggu depan katanya”.
“salut kami sama
kak Temi ini, anak perempuan semua, dan semuanya harus sekolah, anak kami aja
dua ngak sekolah kak Temi, ngak tamat SMP”. Kata petugas kebersihan polindes.
“ kalau dia ngak
sekolah Kak Leha, mau jadi apa?, hidup ini kan baru hidup namanya kalau sudah
ada gunanya untuk orang lain”.
“ oya Tak temi.
Besok pagi jangan lupa datang kerumah anak Wak Goyah, anaknya baru operasi
cesar, kusuk belakang aja ya!”. Kak Temi menganguk cepat, wajahnya cerah, dia
sangat senang mendengar berita kelahiran. Setiap kelahiran bayi sepertinya
adalah energy baru. Kembali kak Temi mengayuh sepedanya.
“wak temi” tegur
si Zol ketika kak Temi lewat depan rumahnya, kak Temi tersenyum, hatinya miris,
bulan lalu istri Zul melahirkan, bayinya sudah meninggal tiga hari dalam kandungan,
ketika petugas Puskesmas menyiapkan ambulans, Zol menangis meminta tolong
istrinya diupayakan normal, dia tidak punya uang ke RS. Dengan bantuan Bidan,
dan ibu yang melahirkan, Kak Temi mengeluarkan bayi laki-laki yang membusuk itu. Persoalan lain
muncul, bilal laki-laki tak sanggup memandikan bayi itu, kemudian atas
kesepakatan keluraga dan perangkat desa,Kak Temi memandikan bayi itu dan
mengkafani mengikuti arahan bilal mayit. Seminggu kak Temi tidak nafsu makan.
Hasil ujian Anis
keluar dia diterima di salah satu sekolah tinggi Negara yang kata guru sekolah
anis, sekolah keuangan. Bulan depan Anis berangkat, Kak Temi harus menyediakan
uang 10 juta, untuk tiket pesawat, dan biaya administrasi. Kata gurunya ini
pembayaran pertama sekaligus yang terakhir, Karena sesudah itu dana beasiswanya
akan keluar.
Dini hari, di
sajadah, kesah kak Temi melimpah ruah, senyumnya yang melebar tadi siang dan
anggukan bersemangatnya ketika mendengar berita kelulusan, bahkan ketika buk guru
berkata kak Temi harus menyediakan 10 Juta dia masih tersenyum, senyum itu kini
patah. Tiba-tiba saja dia begitu merindukan almarhum suaminya,dia rindu kata
“sabar” yang kerap terucap dari bibir suaminya, dia butuh kata “ Allah pasti
menolong kita” yang selalu menyejukkan hatinya.
Di pangkuan malam, tangisnya
merayap,mengendap, menyentuh pipinya yang tak mulus lagi.
“Mak, kalau
memang mamak ngak sanggup, Anis biar di rumah aja, nanti Anis ikut kursus
menjahit”. Kak Temi mengeleng sambil menyuapkan nasi di mulutnya.
“Mak, Lia dan Sanah
kan harus sekolah juga, biar Anis bantu-bantu kak Ibeth jahit baju, sekalian
Anis belajar mak” Kak Temi mengeleng, lalu bergegas pergi kerumah wak Usuf,
anaknya tadi malam jatuh dari kereta.
“Mak, udahlah
mak, udah seminggu ini mamak diam aja, ngak selera makan. Anis takut mamak
sakit,Anis ngak papa lho mak kalau ngak jadi kuliah”.
“Kau kuliah,
tugasmu cuma belajar, mamak masih sanggup menyediakan uang itu Nis, mamak Cuma perlu
waktu, kau berdoa aja, Inn Sya Allah, minggu depan uang itu sudah ada, kau
berangkat ke Jawa”.
Siang ini senyum
kak Temi kembali melebar. Tak berhenti dia bersyukur, dia sangat bersyukur kenal
dan berteman dengan perempuan-perempuan muda yang bekerja di Polindes, di SD
dekat rumahnya, guru anak-anak perempuanya, di kantor camat tempat biasa dia mengusuk. Karena mereka semua dia
jadi punya keinginan menyekolahkan anak-anaknya. Kak Temi Cuma tau lagu Ibu
Kita Kartini, tapi dia tidak tau siapa itu ibu kita Kartini, yang dia tau ibu
Tin, istri Presiden Suharto.
Semalam Anis
berangkat, ditemani gurunya yang kebetulan mau melihat anaknya yang sudah lebih
duluan kuliah ditempat yang sama. Uang untuk Anis didapat dari pinjaman koperasi
desa ditambah hasil penjualan seluruh
emas milik kak temi dan Anis. Sepanjang hari kak temi menangis. Dia Cuma ingin
anaknya sekolah, jadi wanita pintar . Dia ingin Anis jadi seperti guru-guru
muda yang dia jumpai setiap hari, tak pernah lelah, tak pernah menghitung
rupiah, yang mereka tau anak-anak Indonesia harus sekolah. Atau seperti bidan
dan perawat desa yang selalu mengajaknya ngobrol setiap hari, selalu bisa
kompromi dengan penyakit, selalu menenangkan jantung yang berpacu tidak karuan,
bergantian dinas malam, bahkan kadang harus mengesampingkan keluarga. Atau
seperti perempuan-perempuan di kantor-kantor desa, yang pagi sudah berdandan
rapi, cantik dan wangi,lalu mengerjakan tumpukan-tumpukan kertas yang entah
kapan habisnya, sebagian lagi, bertahan seharian mengerjakan tugas di depan
computer.
Tapi Ia juga
ingin anak-anaknya menjadi wanita ikhlas, wanita hebat, wanita bersemangat.
Seperti mpok karni tukang Sayur yang setiap
hari menyampaikan makna satu ayat kepada langganannya. Seperti Wak pon dan
kawan-kawannya, yang setiap jam enam pagi sudah memeluk rumputan sawit,
berebutan memukul embun, untuk memupuk, membersihkan rumput, atau kegiatan
berkebun lain sesuai perintah si Mandor.
Kak Temi sering
melihat bintang dimalam hari dan ia begitu terkagum-kagum, ia ingin menjadikan
anaknya seperti bintang, walaupun kadang orang tak sempat memandanginya, namun
terangnya tetap bisa dirasakan. Ia ingin sekali memasang bintang lebih dan
lebih banyak. Agar semua orang bisa menikmati Sinarnya.
Tujuh tahun kemudian
Hari ini kantor Camat
sibuk dan ramai, penyambutan camat baru bertepatan dengan perayaan hari kartini,
para staff dan warga lebih bersemangat, karena camat barunya merupakan putri
daerah, masih muda, cantik dan sudah pasti pintar.
Suasana hening, camat baru sampai ke kalimat
penutupan “Terima kasih untuk upacara penyambutan ini, selamat hari Kartini,
untuk semua perempuan Indonesia, Kartini memang telah lama mati, tapi
semangatnya terus ada di hati perempuan Indonesia. Semua kita adalah Kartini,
apapun pekerjaannya, bagaimanapun latar belakang keluarganya. Terimakasih untuk
semua kartini yang ada disini, kartini-kartini yang melahirkan generasi muda,
mengurus, menjaganya dan terlebih penting menjadikan anak-anaknya menjadi
generasi yang bermanfaat.
Ada air di sudut
mata kak Temi, tapi senyumnya sangat lebar. Perempuan yang berdiri
di podium itu, anak ketiganya. Ia telah memasang satu bintang lagi
Note :
Asam Sunti :
belimbing wuluh yang telah dikeringkan biasa digunakan masyarakat Aceh
ngurut nandi neh
: memijat dimana lagi
arek nang omah lek kiman ndesek,omongne mau
bengi masuk angin, trus omah lek sadi,
bojone tibo, terkilir sikelne. Eneng papat iki, tapi seng loro, agak
awan aelah
(dirumah lek Kiman dulu, tadi malam katanya dia masuk angin, terus rumah
lek Sadi, istrinya jatuh, terkilir
kakinya. Ada empat ini. Tapi yang dua, siang nanti saja)
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "MEMASANG BINTANG - Tengku Marni Adriyah - Lomba Menulis Cerpen"