Cahaya di SMK
Kartini
“Vir,
Vir ... Vira. Kakak yang itu cakep,
ya? Pakaiannya rapi, wajahnya bersih, berkacamata lagi. Pasti pintar deh.” Sambil terus memperhatikan
laki-laki yang sedari tadi membolak balik buku.
“Yang
mana sih, Kar?” Vira terus memperhatikan
di sekeliling lapangan.
“Itu,
yang duduk di gazebo, yang lagi baca buku.”
“Kamu
suka, ya?” goda Vira.
“Emm, entahlah. Hanya terpesona saja.”
“Hey!
Kalian yang berdua di sana. Apa yang kalian bicarakan? Sini, maju ke depan!”
Bentakan Kak Dita mengagetkan kami. Karena asyik bercerita, kami sampai lupa
sedang mengikuti MOS.
Kali
ini hukuman apa lagi yang kami peroleh? Maklum pertama kali masuk SMK kami
terlalu asik memperhatikan kakak kelas yang keren-keren hingga kami berdua
selalu mendapat teguran.
“Lagi-lagi
kalian berdua. Sebagai hukuman, tali rapia ini kalian ikatkan di rambut.”
“Tapi
Kak, talinya kepanjangan dan tuh nyentuh tanah
lagi.” Ucapku.
“Hukuman
tetap hukuman, tak ada bantahan!” Tiba-tiba kakak kelas yang sedari tadi
membaca kini beralih memperhatikan kami yang berdiri di tengah lapangan.
Bagaimana aku harus menyembunyikan
wajah ini? Pasti di matanya aku sudah berkesan buruk, ucapku
dalam hati. Aku hanya dapat membalikkan badan agar tak terlihat olehnya.
Setelah
peristiwa hukuman konyol itu dan MOS pun berakhir. Kini kami dapat menjalankan
aktivitas SMK yang sebenarnya. Walaupun masih terasa canggung karena banyaknya
murid baru tapi aku dan Vira tetap bisa mendapatkan banyak teman. Aku dan Vira
bisa dibilang mudah bergaul dan tidak memilih-milih teman dalam bergaul,
menurut kami semuanya sama.
Sore
ini kami akan mengikuti bina Islam. Ekstrakulikuler yang wajib diikuti siswa
baru setiap jumat. Semenjak pandangan pertama dengan Kakak kelas di gazebo itu
aku semakin semangat untuk sekolah dan mengikuti apapun kegiatannya. Aku hanya
berharap dapat bertemu lagi dengannya. Sebelum bina Islam dimulai ada beberapa
kata sambutan yang akan disampaikan oleh pembina dan ketua Rohis.
“Selanjutnya
adalah sambutan dari ketua Rohis, kepada Faizal Fathurahman dipersilakan,” ucap
MC yang diiringi tepuk tangan dari semua murid.
Betapa
terkejutnya aku. Kakak kelas di gazebo itu ternyata ketua Rohis. Dia semakin
membuatku kagum, pasti dia pintar agama juga. Setelah aku tahu dia bergabung di
Rohis setiap ada kegiatan agama aku selalu hadir hanya untuk melihatnya.
Hari
ini, cuacanya sedikit mendung dan gerimis tak henti-hentinya. Tapi hujan tak
akan menghalangiku untuk ke sekolah sore ini. Ini kali ke lima bina Islam,
walaupun telat tapi aku harus tetap datang. Kulihat di kejauhan teman-teman
sudah berkumpul di dalam aula. Dengan tergesa-gesa dan berlari, Brugg! Aku terpeleset karena lantai
koridor kelas yang sedikit basah bekas hujan. Kerudungku terjatuh karena memang
hanya kuselempangkan saja.
“Kamu
tidak apa-apa?” tanya seseorang di belakangku.
Setelah
aku berbalik, betapa terkejutnya aku plus
membuat jantungku berdebar. Di hadapanku Kak Faizal, yah, dia di hadapanku
sangat dekat. Sangat jelas!
Aku
terperangah tak mengeluarkan sepatah kata pun.
“Haloo?
Apa kamu baik-baik saja?” tanya Kak Faizal sekali lagi sambil melambaikan
tangannya di wajahku ke kiri ke kanan.
“Oh,
iya, iya, Kak. Saya baik-baik saja.” Tingkahku tak karuan, grogiku nampak
sekali.
“Mencari
ini?” Kak Faizal sudah memegang kerudungku yang terjatuh.
Tiba-tiba
saja tangannya membentangkan kerudung itu di kepalaku, memasangkannya dengan
apik dan menjepitnya dengan bros.
“Berkerudung
itu bukan hanya diselempangkan saja, tapi harus benar-benar menutupi. Tuh, ‘kan, kamu lebih cantik mengenakan kerudung?
Seorang wanita harus bisa menjaga dan melindungi kecantikannya. Jangan sampai
kecantikanmu itu dinikmati banyak mata, dan akan lebih baik lagi jika
kecantikanmu itu kamu perlihatkan hanya untuk seorang saja.”
“Maksudnya,
Kak?” Aku sungguh bingung dengan pernyataan Kak Faizal.
“Nanti
kamu juga akan mengerti. Oh ya, bros itu milik salah satu murid yang tertinggal
di tempat wudhu, kamu simpan saja.” Kak Faizal pun berlau pergi, kuperhatikan
punggungnya hingga dia menghilang dari pandanganku.
Di
rumah aku terus memikirkan kejadian sore itu. Pernyataan Kak Faizal benar-benar
membuatku bingung. Apakah itu pujian atau sindiran? Tapi dia bilang aku lebih
cantik mengenakan kerudung. Bergegas aku menuju kamar dan memperhatikan diriku
mengenakan kerudung di depan cermin. “Jika Kak Faizal menganggap aku cantik
mengenakan kerudung, besok aku juga akan mengenakan kerudung ke sekolah,”
Batinku.
Di
sekolah, teman satu kelas terus memperhatikanku. Maklum, hal baru akan selalu
mendapat perhatian.
“Wah,
wah, dapat hidayah dari mana, nih?”
ucap Vira menggodaku.
“Ada
deh.”
Di
kejauhan aku melihat Kak Faizal bersama teman-temannya, dia pun melihatku.
Mengangguk sekilas kemudian pergi tanpa senyum.
“Pelit
sekali dengan senyum, senyum ‘kan
juga ibadah!” gerutuku.
“Senyum
juga bisa jadi malapetaka jika diberikan pada orang yang salah. Apa arti sebuah
senyuman jika mengotori iman?” kata Kak Dita yang datang tiba-tiba. Belakangan
ini aku mulai akrab dengan Kak Dita dan ternyata Kak Dita tidak segalak yang
kelihatannya. Orangnya baik, ramah dan ternyata Kak Dita juga berteman dengan
Kak Faizal.
“Eh,
Kak Dita apa kabar?”
“Alhamdulillah baik, Kakak tahu kalau
kamu suka ‘kan sama Kak Faizal?” ucap
Kak Dita dengan nada menggoda.
Aku
hanya dapat tersenyum.
“Iya
nih, Kak. Semenjak MOS itu, Kartini
sudah tergila-gila dengan Kak Faizal,” tambah Vira.
Kami
pun tertawa bersama. Setelah asyik bercerita aku pun memberanikan diri untuk
bertanya kepada Kak Dita soal kejadian sore itu yang masih membuatku bingung.
Kak Dita mendengarkan dengan seksama.
“Sebenarnya
tujuan Kak Faizal adalah agar kamu bisa berhijab dengan baik. Kata-katanya itu
adalah sindiran yang disampaikan dalam bentuk pujian agar kamu tidak
tersinggung. Lagi pula menutup aurat ‘kan wajib bagi setiap muslim? Tapi
berhijab juga harus dengan niat yang benar. Jika kamu berhijab hanya karena
seseorang, suatu saat kamu akan mudah untuk melepaskannya. Tapi niatkanlah
hanya karena Allah. Sekarang Kakak tanya sama kamu, kamu suka sama Kak Faizal?”
Aku
terdiam sesaat.
“Iya
Kak, saya suka sama Kak Faizal.”
“Tapi
Kak Faizal itu orang baik. Laki-laki yang baik pasti memilih wanita yang baik
pula. Mana mungkin dia memilih wanita yang menjaga kehormatan dirinya saja
tidak bisa? Kasarnya seperti itu. Tapi Kakak tidak bermaksud mengatakan bahwa kamu
tidak baik, buktinya sekarang kamu sudah mengenakan kerudung. Tapi yang harus
diperbaiki adalah niatnya. Bukankah kamu ingin bersama laki-laki yang baik?
Maka kamu harus jadi wanita yang baik pula. Seperti yang dijelaskan dalam Q.S
An-Nur:26, kamu buka sendiri deh apa
isinya.”
“Kakak
kok tahu banyak soal agama? Kakak bergabung di Rohis juga, ya?” tanyaku, karena
sedikit penasaran.
“Bergabung
di Rohis bukan patokan kamu paham agama atau tidak. Yang penting adalah
belajar.”
“Berarti
selama ini saya bodoh sekali, ya Kak. Saya pikir Kak Faizal suka sama saya,
tapi ternyata kata-katanya hanya bentuk peringatan untuk mengingatkan saya.
Karena sesama muslim harus saling mengingatkan.”
“Alhamdulillah jika kamu mengerti,” ucap
Kak Dita sambil memegang pundakku.
“Kak,
saya mau bergabung di Rohis untuk belajar agama lebih banyak lagi dan ingin
menjadi orang hebat. Apa bisa?”
“Tentu
saja bisa. Betul apa yang kamu katakan orang yang ingin bergabung di Rohis
bukanlah orang yang hebat tetapi orang yang ingin menjadi hebat. Kita akan
belajar sama-sama.”
Semenjak
itulah, aku bergabung bersama Kak Dita dan Rohis sehingga aku dalam melakukan
kehidupan sehari-hari dengan ikhlas dan semua ini dengan ridho Allah Swt.
Saling mengingatkan dan belajar agama bersama.
Dulu
aku berharap masuk SMK agar mendapatkan pacar, tapi yang kudapat lebih baik
dari itu. Aku mendapatkan cahaya baru yang lebih berharga dan di SMK –lah
kudapat hijab pertamaku. [ ]
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
1 Comments for "Cahaya di SMK - Kartini - Lomba Menulis Cerpen"
isinya biasa dan nggak ada konflik yang seru